30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

CERI Minta Penegak Hukum Bersikap Atas Peringatan Keras Ahok

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menilai pernyataan keras Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) terhadap Konsorsium Kontraktor EPC Kilang RDMP Balikpapan di berbagai media, mengindikasikan terdapat masalah dalam pelaksanaan pembangunan Kilang RDMP Pertamina Balikpapan.

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman.

“Ahok mengeluarkan pernyataan itu setelah berkunjung ke Kilang Balikpapan pada Senin 27 September 2021. Pernyataannya di akun Instagram @Basukibtp itu pun telah dikutip oleh banyak media,” ungkap Yusri dalam rilis yang diterima, Senin (4/10).

Pesan Ahok itu menurut Yusri sangat tegas. Pertama, agar konsorsium kontraktor EPC menyelesaikan pembangunan dengan kualitas yang ditentukan. Kedua, harus sesuai target. Proyek kilang RDMP harus selesai pada tahun 2024, meskipun perencanaan awal akan beroperasi pada tahun 2023. Ahok ingin proyek ini selesai dengan segala konsekuensinya, tapi harus tetap sesuai aturan dan asas keadilan.

“Pesan ketiga Ahok secara tegas melarang adanya biaya yang bisa merugikan Pertamina dan nilai keekonomian proyek ke depannya. Kekhawatiran ini didasari fakta dimana saat ini telah terjadi peningkatan nilai capital expenditure (capex) cukup signifikan,” bebernya.

Dirinya menduga, pernyataan keras Ahok itu dilandasi temuan terbaru dari lembaga pemeriksa BPKP yang baru selesai melakukan audit terhadap proyek RDMP Balikpapan.

Proses audit BPKP dimulai sekitar awal Maret 2021, pada pertengahan Juni 2021 ada tiga konsorsium yang pernah ikut tender kilang RDMP Balikapapan diundang resmi oleh pemeriksa BPKP untuk klarifikasi, kata Yusri berdasarkan informasi pejabat kilang Pertamina.

“Konon kabarnya hasil audit telah dipresentasikan kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina beberapa hari sebelum Ahok berkunjung ke kilang Balikpapan,” ungkap Yusri.

Lanjut Yusri, dari desas-desus di kalangan internal Pertamina, telah ditemukan tiga hal penting dari hasil audit yang bisa berujung ke proses pelanggaran hukum. Lebih jauh, bila cukup bukti hal ini dapat menjadi pertimbangan rekomendasi penghentian pekerjaan.

“Hal itu ditengarai lantaran telah terjadi advanced payment dan peningkatan nilai kontrak akibat banyak perubahan perintah kerja atau Change Order yang melebihi nilai yang diperbolehkan menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Fakta ini telah membuktikan adanya dugaan pelanggaran yang nyata dan sulit dibantah,” ulas Yusri.

Selain itu, kata Yusri lagi, hal krusial lain yang telah terjadi ketika proyek akan berjalan, pimpinan konsorsium SK Energi mengundurkan diri.

“Tetapi anehnya Pertamina saat itu menyetujui pergantian Hyundai EC sebagai pimpinan konsorsium. Padahal menurut aturan jika pimpinan konsorsium mundur, seharusnya Pertamina melakukan tender ulang,” terangnya lagi.

Informasinya, kata Yusri, berdasarkan pengalaman yang ada, Hyundai E&C secara administrasi saat itu belum memenuhi syarat sebagai pimpinan konsorsium untuk proyek sejenis itu.

“Hingga saat ini, akhir September 2021, kemajauan kerja proyek kilang RDMP Balikpapan baru sekitar 42 persen, jauh dari target semula yakni 84 persen, meskipun pandemi Covid 19 dipakai sebagai alasan pembenar,” tegasnya.

Pembiayaan untuk pembangunan kilang RDMP, menurut keterangan Yusri, sejak awal direncanakan dan dijalankan dengan Trustee Borrowing Scheme. Namun, karena peningkatan Capex yang di luar kewajaran telah mengakibatkan proyek hingga saat ini belum mendapatkan investor yang mau berinvestasi untuk proyek kilang ini.

“Mungkin para investor meyakini tingginya resiko proyek, sehingga terpaksa Pertamina membiayai sendiri, dan konon kabarnya Pertamina hanya sanggup membiayai hingga akhir 2021,” katanya.

Sehingga, kata Yusri lagi, wajar saja jika Ahok baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras. Proyek tidak boleh molor penyelesaiannya dan nilai proyek serta kinerja kilang yang dibangun harus menghasilkan nilai produk berkualitas dengan kapasitas sesuai perencanaan awal, sehingga efisiensi kilang dapat diperoleh.

“Ahok sebagai komisaris utama tentu mempunyai beban tanggungjawab yang besar agar proyek strategis nasional yang merupakan kebijakan Presiden Jokowi untuk menjaga ketahanan dan kemandirian energi nasional dapat direalisasikan segera,” ulas Yusri.

“Tampaknya Dewan Direksi Pertamina Holding dan Subholding PT Pertamina Kilang Internasional saat ini lagi pusing tujuh keliling mencari solusi dari temuan BPKP terbaru ini,” tutup Yusri. (rel/dek)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menilai pernyataan keras Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) terhadap Konsorsium Kontraktor EPC Kilang RDMP Balikpapan di berbagai media, mengindikasikan terdapat masalah dalam pelaksanaan pembangunan Kilang RDMP Pertamina Balikpapan.

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman.

“Ahok mengeluarkan pernyataan itu setelah berkunjung ke Kilang Balikpapan pada Senin 27 September 2021. Pernyataannya di akun Instagram @Basukibtp itu pun telah dikutip oleh banyak media,” ungkap Yusri dalam rilis yang diterima, Senin (4/10).

Pesan Ahok itu menurut Yusri sangat tegas. Pertama, agar konsorsium kontraktor EPC menyelesaikan pembangunan dengan kualitas yang ditentukan. Kedua, harus sesuai target. Proyek kilang RDMP harus selesai pada tahun 2024, meskipun perencanaan awal akan beroperasi pada tahun 2023. Ahok ingin proyek ini selesai dengan segala konsekuensinya, tapi harus tetap sesuai aturan dan asas keadilan.

“Pesan ketiga Ahok secara tegas melarang adanya biaya yang bisa merugikan Pertamina dan nilai keekonomian proyek ke depannya. Kekhawatiran ini didasari fakta dimana saat ini telah terjadi peningkatan nilai capital expenditure (capex) cukup signifikan,” bebernya.

Dirinya menduga, pernyataan keras Ahok itu dilandasi temuan terbaru dari lembaga pemeriksa BPKP yang baru selesai melakukan audit terhadap proyek RDMP Balikpapan.

Proses audit BPKP dimulai sekitar awal Maret 2021, pada pertengahan Juni 2021 ada tiga konsorsium yang pernah ikut tender kilang RDMP Balikapapan diundang resmi oleh pemeriksa BPKP untuk klarifikasi, kata Yusri berdasarkan informasi pejabat kilang Pertamina.

“Konon kabarnya hasil audit telah dipresentasikan kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina beberapa hari sebelum Ahok berkunjung ke kilang Balikpapan,” ungkap Yusri.

Lanjut Yusri, dari desas-desus di kalangan internal Pertamina, telah ditemukan tiga hal penting dari hasil audit yang bisa berujung ke proses pelanggaran hukum. Lebih jauh, bila cukup bukti hal ini dapat menjadi pertimbangan rekomendasi penghentian pekerjaan.

“Hal itu ditengarai lantaran telah terjadi advanced payment dan peningkatan nilai kontrak akibat banyak perubahan perintah kerja atau Change Order yang melebihi nilai yang diperbolehkan menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Fakta ini telah membuktikan adanya dugaan pelanggaran yang nyata dan sulit dibantah,” ulas Yusri.

Selain itu, kata Yusri lagi, hal krusial lain yang telah terjadi ketika proyek akan berjalan, pimpinan konsorsium SK Energi mengundurkan diri.

“Tetapi anehnya Pertamina saat itu menyetujui pergantian Hyundai EC sebagai pimpinan konsorsium. Padahal menurut aturan jika pimpinan konsorsium mundur, seharusnya Pertamina melakukan tender ulang,” terangnya lagi.

Informasinya, kata Yusri, berdasarkan pengalaman yang ada, Hyundai E&C secara administrasi saat itu belum memenuhi syarat sebagai pimpinan konsorsium untuk proyek sejenis itu.

“Hingga saat ini, akhir September 2021, kemajauan kerja proyek kilang RDMP Balikpapan baru sekitar 42 persen, jauh dari target semula yakni 84 persen, meskipun pandemi Covid 19 dipakai sebagai alasan pembenar,” tegasnya.

Pembiayaan untuk pembangunan kilang RDMP, menurut keterangan Yusri, sejak awal direncanakan dan dijalankan dengan Trustee Borrowing Scheme. Namun, karena peningkatan Capex yang di luar kewajaran telah mengakibatkan proyek hingga saat ini belum mendapatkan investor yang mau berinvestasi untuk proyek kilang ini.

“Mungkin para investor meyakini tingginya resiko proyek, sehingga terpaksa Pertamina membiayai sendiri, dan konon kabarnya Pertamina hanya sanggup membiayai hingga akhir 2021,” katanya.

Sehingga, kata Yusri lagi, wajar saja jika Ahok baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras. Proyek tidak boleh molor penyelesaiannya dan nilai proyek serta kinerja kilang yang dibangun harus menghasilkan nilai produk berkualitas dengan kapasitas sesuai perencanaan awal, sehingga efisiensi kilang dapat diperoleh.

“Ahok sebagai komisaris utama tentu mempunyai beban tanggungjawab yang besar agar proyek strategis nasional yang merupakan kebijakan Presiden Jokowi untuk menjaga ketahanan dan kemandirian energi nasional dapat direalisasikan segera,” ulas Yusri.

“Tampaknya Dewan Direksi Pertamina Holding dan Subholding PT Pertamina Kilang Internasional saat ini lagi pusing tujuh keliling mencari solusi dari temuan BPKP terbaru ini,” tutup Yusri. (rel/dek)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/