26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pilih Margaret Mitchell atau Ayu Utami?

Oleh: Ramadhan Batubara

Setelah banyak yang terpesona dengan novel Gone with the Wind, penggemar Margaret Mitchell seakan kecewa. Bagaimana tidak, jurnalis cantik dari Atlanta Amerika Serikat, itu tak lagi melahirkan karya. Bahkan, hingga dia meninggalkan dunia setelah hidup selama 48 tahun.

BERBICARA tentang Margaret Mitchell maka akan tergambar dua sisi yang berlawanan. Pertama, sebagai novelis dia hebat hingga bisa menghasilkan novel yang luar biasa.

Kedua, sebagai novelis, dia dianggap mandul karena hanya menghasilkan satu karya saja. Bahkan, untuk pemikiran kedua, ada yang menganggap kalau sejatinya Margaret tak mampu menulis novel; Gone with the Wind dianggap kisah nyata yang dialami Margaret – tokoh Scarlett O’Hara tak lain adalah Margaret sendiri.

Soal keluarbiasaan Margaret tidak usah diperbincangkan lagi. Setidaknya, melalui Gone with the wind dia telah meraih Pulitzer pada 1937. Bahkan, novel yang terbit pada 1936 tersebut langsung difilmkan dua tahun kemudian. Ya, pada 1938, kisah ini diangkat ke layar lebar dan dibintangi oleh Clark Gable sebagai Rhett Butler dan Vivien Leigh sebagai Scarlett O’Hara. Film ini mulai diputar di Atlanta, Georgia pada 15 Desember 1939 dengan biaya produksi sekitar US$4 juta, dan hingga kini merupakan film dengan pemasukan terbesar sepanjang sejarah (sesuai perubahan inflasi).

Film ini mendapatkan 13 nominasi Oscar dan memenangkan delapan di antaranya.

Pertanyaannya, kenapa perempuan kelahiran 8 November 1900 itu tidak menghasilkan karya yang lain? Apakah dia sudah tak mampu lagi? Apakah dia sudah merasa puas dengan satu karya saja? Atau, dia ketakutan kalau karya keduanya tidak bisa mengimbangi karya pertama? Apapun jawabannya, pasti memiliki latar belakang sendiri. Yang jelas, dari salah satu literatur yang sempat saya baca, Margaret dikatakan tidak menulis novel lagi karena sibuk membalas surat pembaca alias surat penggemar.

Fiuh.

Saya jadi teringat dengan munculnya Saman karya Ayu Utami pada akhir 1990-an lalu. Novel ini memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Persis dengan Margaret, Ayu adalah seorang jurnalis juga. Dia sempat bekerja di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R.

Lalu, apakah Ayu bisa dianggap mengalahkan Margaret? Ups, jika ada yang mengatakan begitu, bisa mendidih darah penggemar Gone with the Wind. Alasan sederhana amuk para penggemar adalah Saman belum juga difilmkan. Dan, Saman belum juga dianggap sebagai karya terbaik di dunia.

Ingat kata ‘dunia’, bukan Indonesia.

Selain itu, sempat pula keluar rumor kalau Saman tidak murni karya Ayu; dalam proses pembuatannya dia dibantu para pendekar sastra yang ada di Komunitas Utan Kayu tempat Ayu bergiat. Selain itu, Ayu dianggap tidak melakukan observasi serius karena data yang ada dalam Saman tak lain adalah berita-berita yang dimuat di Majalah Tempo. Ayu dikabarkan hanya mengganti latar, seperti pertambangan di Sumatera Selatan yang sejatinya adalah pertambangan di Langkat Sumatera Utara.

Mungkin karena banyak yang menyangsikan keberhasilan Ayu, maka dia menelurkan novel berikutnya. Sebut saja novel Larung pada 2001 dan Bilangan Fu pada 2008. Hasilnya? Hm, seperti ‘ketakutan’ Margaret, dua novel Ayu itu seakan ditelan novel pertamanya.

Apakah ini berarti Margaret tak mau bernasib seperti Ayu (meski masa hidup Margaret jauh lebih dulu) hingga dia tidak menelurkan novel baru? Belum tentu bukan? Bisa saja benar apa yang dikabarkan kalau Margaret terlalu sibuk membalas surat penggemar.

Tapi, bukankah setelah Saman terbit, Ayu juga direpotkan dengan itu? Bahkan, Ayu juga disibukkan dengan seminar dan sebagainya. Hm, bagaimana jika Margaret dianggap tak mampu menulis novel karena Gone with the Wind tak lain adalah kisah hidupnya sendiri? Jawabnya, lalu bagaimana dengan Ayu yang dianggap banyak dibantu? Kehebatan Margaret adalah bagaimana dia bisa bertahan dari rongrongan.

Dia bertahan dengan satu novel saja. Sedangkan, Ayu, tergoda untuk membuktikan diri sebagai penulis andal. Hasilnya, Margaret tetap harum, sementara Ayu tergerus oleh karyanya sendiri. Ayolah, semua orang paham kalau Larung dan Bilangan Fu, tidak sehebat Saman. Dan, semua orang tahu kalau Gone with the Wind tidak punya lawan.

Di sinilah kelebihan seorang Margaret dibanding Ayu. Margaret jauh lebih dewasa menyikapi karyanya. Dia tidak peduli kalimat orang lain, baginya karyalah yang bicara, bukan ego penulis agar dibilang hebat. Hingga, kekuatan Gone with the Wind menjadi kekal. Sementara Ayu, hingga kini masih sibuk mencari Saman lain dalam hidupnya. Ya, sebuah siksaan yang hebat karena sebagian pecinta sastra mafhum seperti apa Saman tercipta.

Lalu pilih mana, menjadi Margaret atau Ayu? (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Setelah banyak yang terpesona dengan novel Gone with the Wind, penggemar Margaret Mitchell seakan kecewa. Bagaimana tidak, jurnalis cantik dari Atlanta Amerika Serikat, itu tak lagi melahirkan karya. Bahkan, hingga dia meninggalkan dunia setelah hidup selama 48 tahun.

BERBICARA tentang Margaret Mitchell maka akan tergambar dua sisi yang berlawanan. Pertama, sebagai novelis dia hebat hingga bisa menghasilkan novel yang luar biasa.

Kedua, sebagai novelis, dia dianggap mandul karena hanya menghasilkan satu karya saja. Bahkan, untuk pemikiran kedua, ada yang menganggap kalau sejatinya Margaret tak mampu menulis novel; Gone with the Wind dianggap kisah nyata yang dialami Margaret – tokoh Scarlett O’Hara tak lain adalah Margaret sendiri.

Soal keluarbiasaan Margaret tidak usah diperbincangkan lagi. Setidaknya, melalui Gone with the wind dia telah meraih Pulitzer pada 1937. Bahkan, novel yang terbit pada 1936 tersebut langsung difilmkan dua tahun kemudian. Ya, pada 1938, kisah ini diangkat ke layar lebar dan dibintangi oleh Clark Gable sebagai Rhett Butler dan Vivien Leigh sebagai Scarlett O’Hara. Film ini mulai diputar di Atlanta, Georgia pada 15 Desember 1939 dengan biaya produksi sekitar US$4 juta, dan hingga kini merupakan film dengan pemasukan terbesar sepanjang sejarah (sesuai perubahan inflasi).

Film ini mendapatkan 13 nominasi Oscar dan memenangkan delapan di antaranya.

Pertanyaannya, kenapa perempuan kelahiran 8 November 1900 itu tidak menghasilkan karya yang lain? Apakah dia sudah tak mampu lagi? Apakah dia sudah merasa puas dengan satu karya saja? Atau, dia ketakutan kalau karya keduanya tidak bisa mengimbangi karya pertama? Apapun jawabannya, pasti memiliki latar belakang sendiri. Yang jelas, dari salah satu literatur yang sempat saya baca, Margaret dikatakan tidak menulis novel lagi karena sibuk membalas surat pembaca alias surat penggemar.

Fiuh.

Saya jadi teringat dengan munculnya Saman karya Ayu Utami pada akhir 1990-an lalu. Novel ini memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Persis dengan Margaret, Ayu adalah seorang jurnalis juga. Dia sempat bekerja di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R.

Lalu, apakah Ayu bisa dianggap mengalahkan Margaret? Ups, jika ada yang mengatakan begitu, bisa mendidih darah penggemar Gone with the Wind. Alasan sederhana amuk para penggemar adalah Saman belum juga difilmkan. Dan, Saman belum juga dianggap sebagai karya terbaik di dunia.

Ingat kata ‘dunia’, bukan Indonesia.

Selain itu, sempat pula keluar rumor kalau Saman tidak murni karya Ayu; dalam proses pembuatannya dia dibantu para pendekar sastra yang ada di Komunitas Utan Kayu tempat Ayu bergiat. Selain itu, Ayu dianggap tidak melakukan observasi serius karena data yang ada dalam Saman tak lain adalah berita-berita yang dimuat di Majalah Tempo. Ayu dikabarkan hanya mengganti latar, seperti pertambangan di Sumatera Selatan yang sejatinya adalah pertambangan di Langkat Sumatera Utara.

Mungkin karena banyak yang menyangsikan keberhasilan Ayu, maka dia menelurkan novel berikutnya. Sebut saja novel Larung pada 2001 dan Bilangan Fu pada 2008. Hasilnya? Hm, seperti ‘ketakutan’ Margaret, dua novel Ayu itu seakan ditelan novel pertamanya.

Apakah ini berarti Margaret tak mau bernasib seperti Ayu (meski masa hidup Margaret jauh lebih dulu) hingga dia tidak menelurkan novel baru? Belum tentu bukan? Bisa saja benar apa yang dikabarkan kalau Margaret terlalu sibuk membalas surat penggemar.

Tapi, bukankah setelah Saman terbit, Ayu juga direpotkan dengan itu? Bahkan, Ayu juga disibukkan dengan seminar dan sebagainya. Hm, bagaimana jika Margaret dianggap tak mampu menulis novel karena Gone with the Wind tak lain adalah kisah hidupnya sendiri? Jawabnya, lalu bagaimana dengan Ayu yang dianggap banyak dibantu? Kehebatan Margaret adalah bagaimana dia bisa bertahan dari rongrongan.

Dia bertahan dengan satu novel saja. Sedangkan, Ayu, tergoda untuk membuktikan diri sebagai penulis andal. Hasilnya, Margaret tetap harum, sementara Ayu tergerus oleh karyanya sendiri. Ayolah, semua orang paham kalau Larung dan Bilangan Fu, tidak sehebat Saman. Dan, semua orang tahu kalau Gone with the Wind tidak punya lawan.

Di sinilah kelebihan seorang Margaret dibanding Ayu. Margaret jauh lebih dewasa menyikapi karyanya. Dia tidak peduli kalimat orang lain, baginya karyalah yang bicara, bukan ego penulis agar dibilang hebat. Hingga, kekuatan Gone with the Wind menjadi kekal. Sementara Ayu, hingga kini masih sibuk mencari Saman lain dalam hidupnya. Ya, sebuah siksaan yang hebat karena sebagian pecinta sastra mafhum seperti apa Saman tercipta.

Lalu pilih mana, menjadi Margaret atau Ayu? (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/