26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Simulakrum Hukum

Oleh:
Januari Sihotang *)

Setiap kelompok kehidupan masyarakat membutuhkan kaidah sosial sebagai tatanan bertingkah laku. Itulah hukum. Sehingga sering terdengar ujaran ubi societus  ibi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Oleh karena itu, idealnya masyarakat harus iklas mengikatkan diri dalam hukum yang dibuatnya tersebut. Bukan paksaan. Kondisi seperti ini tercapai jika hukum yang ada sesuai dengan keyakinan, kebiasaan dan budayanya (filosopis, sosiologis, dan yuridis). Tujuannya tak muluk-muluk, demi ketertiban hidup.

Sayangnya, ternyata mewujudkan ketertiban hidup dengan hukum tidak sesederhana yang dibayangkan. Banyak faktor yang berpengaruh di luar hukum. Alih-alih menciptakan ketertiban, hukum malah sering menjadi sumber masalah. Apalagi perumusan hukum dewasa  ini lebih didominasi bumbu politik kepentingan daripada kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, ada kalanya manusia ingin keluar dari ikatan bernama hukum tersebut. Setidaknya, ada dua faktor yang menjadi pertimbangan, yakni:  Pertama,  hukum sudah tidak mampu menjamin apa yang seharusnya menjadi haknya. Ironisnya, justru hukum seringkali dinilai menjelma monster yang memangsa dan memasung hak dan kebebasan. Kedua, hukum tidak ampuh lagi menciptakan ketertiban dan kenyamanan hidup. Hukum pun dianggap gagal dan kehilangan wibawanya sebagai tools of social engineering (sebagai alat kontrol sosial).

Dalam kondisi seperti ini, sering timbul ide untuk merobohkan hukum (breaking the law). Timbul pertanyaan, benarkah kegagalan hukum menertibkan masyarakat disebabkan oleh hukum semata? Pertanyaan ini mengingatkan kembali penulis pada Satjipto Rahardjo yang menyatakan, bahwa seharusnya hukum yang mengabdi pada manusia, bukan manusia yang harus mengabdi pada hukum. Hukum bukan di atas perilaku, namun sebaliknya.

Senada dengan itu, Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum yang baik harus ditopang tiga nilai dasar, kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sayangnya, sangat sulit mewujudkan ketiga nilai dasar tersebut dalam satu rumusan norma. Yang sering terjadi justru tubrukan antara ketiganya. Kepastian hukum akan sering menyebabkan keadilan dan kemanfaatan tidak tercapai. Begitu juga sebaliknya. Selain itu, kepastian hukum sebagai sesuatu yang final akan menjadi problema karena selalu tertinggal dengan dinamika sosial kemasyarakatan.

Moral

Tak berlebihan jika penulis berpendapat bahwa mengagung-agungkan hukum adalah sesuatu yang salah. Paling tidak jika melihat kondisi hukum Indonesia saat ini. Sebab hukum juga bisa salah sehingga menjadi tidak seindah yang dibayangkan. Sekali lagi, hukum sangat penting sepanjang digali dan diserap dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan ditegakkan oleh penegak hukum yang bermoral. Moralitas penegak hukum sangat penting sebagai patologi alami dari institusionalisasi, sehingga nilai-nilai menjadi efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia (Philippe Nonet dan Philip Selznick; 1978).

Dengan moralitas, hukum akan mampu bergerak ke arah hukum punitif, yakni memasukkan suatu kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum. Hukum punitif tidak pandang bulu, status dan kedudukan. Oleh karena itu, penegakan moral yang tak kunjung berhasil akan sangat berpengaruh kepada alienasi dan ketidaktaatan.

Glendon Schubet sesungguhnya sudah sejak lama memperingatkan para penegak dan pemerhati hukum tentang pertimbangan-pertimbangan seorang hakim dalam mengambil putusannya. Seorang hakim akan lebih mengutamakan motivas-motivasi dibandingkan penalarannya. Sikap hakim demikian ditentukan terhadap pilihan-pilihan yang diyakininya yang pada umunya didasarkan pada pengalaman hidupnya.

Simulakrum

Mungkin terlalu utopis untuk menerapkan teori hukum murni ala Hans Kelsen. Namun, setidaknya seorang hakim dalam memutus perkara harus mampu terlepas faktor-faktor penekan di luar hukum seperti politik dan uang. Sebagai pengadil yang diberikan kebebasan menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding) sekaligus menciptakan hukum (judge made law), seharusnya hakim di Pengadilan Tipikor membuka mata dan nurani lebih lebar terhadap rasa keadilan masyarakat sehingga tidak semata-mata bersandar pada bukti-bukti di pengadilan. Jika hal tersebut konsisten dilakukan, niscaya tidak akan banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas.

Vonis terhadap AAL, Nenek Minah, Prita, pencuri pisang dan kaum lemah lainnya tentu tak boleh terulang lagi. Sebab sebagai kaum awam, mereka tidak paham hukum pembuktian dan upaya pledoi. Tidak mampu juga menyewa pengacara ternama. Oleh karena itu, pertimbangan terhadap alasan dan dampak terjadinya perbuatan pidana tersebut harus menjadi perhatian  utama hakim. Sayangnya, hal tersebutlah yang masih minim ditemukan di banyak diri hakim kita saat ini. Sehingga rasa keadilan seolah-olah hilang di negeri yang mengaku sebagai negara hukum ini.
Padahal, jika moral sudah mampu menjadi roh dalam setiap penegakan hukum, dengan sendirinya hukum akan mampu lepas dari jebakan kepastian legal formalistik. Tetapi hukum menjadi lebih responsif terhadap problem sosial melalui putusan-putusan hakim yang menjunjung tinggi kemanfaatan dan keadilan. Dengan begitu, hukum tidak divonis menjadi sebuah simulakrum. Hukum yang menyimpang, cenderung palsu (peudo), distortif dan penuh kepura-puraan. (*)

 (Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum USU Medan. Kini mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM dan staf peneliti Pusat kajian Konstitusi Fakultas Hukum UGM)

 

Oleh:
Januari Sihotang *)

Setiap kelompok kehidupan masyarakat membutuhkan kaidah sosial sebagai tatanan bertingkah laku. Itulah hukum. Sehingga sering terdengar ujaran ubi societus  ibi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Oleh karena itu, idealnya masyarakat harus iklas mengikatkan diri dalam hukum yang dibuatnya tersebut. Bukan paksaan. Kondisi seperti ini tercapai jika hukum yang ada sesuai dengan keyakinan, kebiasaan dan budayanya (filosopis, sosiologis, dan yuridis). Tujuannya tak muluk-muluk, demi ketertiban hidup.

Sayangnya, ternyata mewujudkan ketertiban hidup dengan hukum tidak sesederhana yang dibayangkan. Banyak faktor yang berpengaruh di luar hukum. Alih-alih menciptakan ketertiban, hukum malah sering menjadi sumber masalah. Apalagi perumusan hukum dewasa  ini lebih didominasi bumbu politik kepentingan daripada kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, ada kalanya manusia ingin keluar dari ikatan bernama hukum tersebut. Setidaknya, ada dua faktor yang menjadi pertimbangan, yakni:  Pertama,  hukum sudah tidak mampu menjamin apa yang seharusnya menjadi haknya. Ironisnya, justru hukum seringkali dinilai menjelma monster yang memangsa dan memasung hak dan kebebasan. Kedua, hukum tidak ampuh lagi menciptakan ketertiban dan kenyamanan hidup. Hukum pun dianggap gagal dan kehilangan wibawanya sebagai tools of social engineering (sebagai alat kontrol sosial).

Dalam kondisi seperti ini, sering timbul ide untuk merobohkan hukum (breaking the law). Timbul pertanyaan, benarkah kegagalan hukum menertibkan masyarakat disebabkan oleh hukum semata? Pertanyaan ini mengingatkan kembali penulis pada Satjipto Rahardjo yang menyatakan, bahwa seharusnya hukum yang mengabdi pada manusia, bukan manusia yang harus mengabdi pada hukum. Hukum bukan di atas perilaku, namun sebaliknya.

Senada dengan itu, Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum yang baik harus ditopang tiga nilai dasar, kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sayangnya, sangat sulit mewujudkan ketiga nilai dasar tersebut dalam satu rumusan norma. Yang sering terjadi justru tubrukan antara ketiganya. Kepastian hukum akan sering menyebabkan keadilan dan kemanfaatan tidak tercapai. Begitu juga sebaliknya. Selain itu, kepastian hukum sebagai sesuatu yang final akan menjadi problema karena selalu tertinggal dengan dinamika sosial kemasyarakatan.

Moral

Tak berlebihan jika penulis berpendapat bahwa mengagung-agungkan hukum adalah sesuatu yang salah. Paling tidak jika melihat kondisi hukum Indonesia saat ini. Sebab hukum juga bisa salah sehingga menjadi tidak seindah yang dibayangkan. Sekali lagi, hukum sangat penting sepanjang digali dan diserap dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan ditegakkan oleh penegak hukum yang bermoral. Moralitas penegak hukum sangat penting sebagai patologi alami dari institusionalisasi, sehingga nilai-nilai menjadi efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia (Philippe Nonet dan Philip Selznick; 1978).

Dengan moralitas, hukum akan mampu bergerak ke arah hukum punitif, yakni memasukkan suatu kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum. Hukum punitif tidak pandang bulu, status dan kedudukan. Oleh karena itu, penegakan moral yang tak kunjung berhasil akan sangat berpengaruh kepada alienasi dan ketidaktaatan.

Glendon Schubet sesungguhnya sudah sejak lama memperingatkan para penegak dan pemerhati hukum tentang pertimbangan-pertimbangan seorang hakim dalam mengambil putusannya. Seorang hakim akan lebih mengutamakan motivas-motivasi dibandingkan penalarannya. Sikap hakim demikian ditentukan terhadap pilihan-pilihan yang diyakininya yang pada umunya didasarkan pada pengalaman hidupnya.

Simulakrum

Mungkin terlalu utopis untuk menerapkan teori hukum murni ala Hans Kelsen. Namun, setidaknya seorang hakim dalam memutus perkara harus mampu terlepas faktor-faktor penekan di luar hukum seperti politik dan uang. Sebagai pengadil yang diberikan kebebasan menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding) sekaligus menciptakan hukum (judge made law), seharusnya hakim di Pengadilan Tipikor membuka mata dan nurani lebih lebar terhadap rasa keadilan masyarakat sehingga tidak semata-mata bersandar pada bukti-bukti di pengadilan. Jika hal tersebut konsisten dilakukan, niscaya tidak akan banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas.

Vonis terhadap AAL, Nenek Minah, Prita, pencuri pisang dan kaum lemah lainnya tentu tak boleh terulang lagi. Sebab sebagai kaum awam, mereka tidak paham hukum pembuktian dan upaya pledoi. Tidak mampu juga menyewa pengacara ternama. Oleh karena itu, pertimbangan terhadap alasan dan dampak terjadinya perbuatan pidana tersebut harus menjadi perhatian  utama hakim. Sayangnya, hal tersebutlah yang masih minim ditemukan di banyak diri hakim kita saat ini. Sehingga rasa keadilan seolah-olah hilang di negeri yang mengaku sebagai negara hukum ini.
Padahal, jika moral sudah mampu menjadi roh dalam setiap penegakan hukum, dengan sendirinya hukum akan mampu lepas dari jebakan kepastian legal formalistik. Tetapi hukum menjadi lebih responsif terhadap problem sosial melalui putusan-putusan hakim yang menjunjung tinggi kemanfaatan dan keadilan. Dengan begitu, hukum tidak divonis menjadi sebuah simulakrum. Hukum yang menyimpang, cenderung palsu (peudo), distortif dan penuh kepura-puraan. (*)

 (Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum USU Medan. Kini mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM dan staf peneliti Pusat kajian Konstitusi Fakultas Hukum UGM)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/