25 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Mulai 28 April, Jokowi Larang Ekspor CPO dan Migor

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Jokowi memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4). Hal itu ia putuskan dalam rapat bersama menterinya. “Dalam rapat, saya putuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 april 2022 sampai batas waktu yg ditentukan,” katanya Jumat (22/4).

Jokowi menyatakan keputusan itu dilakukan supaya pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah dan harganya murah. Harga minyak melesat sejak Agustus 2021 lalu dari yang awalnya hanya Rp14 ribu n

per liter menjadi Rp20 ribu. Sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng.

Pertama, meluncurkan minyak goreng kemasan sederhana Rp14 ribu per liter di ritel dan pasar tradisional secara bertahap pada Januari-Juni 2022. Total minyak goreng yang digelontorkan Rp2,4 miliar liter. Untuk menyediakan minyak goreng ini pemerintah menggelontorkan subsidi Rp7,6 triliun yang diambilkan dari dana perkebunan kelapa sawit

Kedua, menerapkan kewajiban bagi produsen memasok minyak goreng di dalam negeri (DMO) sebesar 20 persen dari total volume ekspor mereka dengan harga domestik (DPO) mulai 27 Januari lalu. Dengan kebijakan itu harga eceran tertinggi ditetapkan menjadi tiga. Yaitu; minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp14 ribu per liter. Harga mulai berlaku 1 Februari 2022.

Meskipun pemerintah sudah jungkir balik mengendalikan harga minyak goreng, yang terjadi malah sebaliknya; muncul masalah baru. Untuk kebijakan satu harga Rp14 ribu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menyebut kebijakan itu membuat masyarakat menyerbu minyak goreng di ritel.

Akibatnya, minyak goreng jadi langka di pasaran. Pun begitu dengan kebijakan DMO dan DPO.

Karena tak efektif, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru; mencabut harga eceran tertinggi minyak goreng premium dan menyerahkan harganya ke mekanisme pasar dan menaikkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah jadi Rp14 ribu per liter.

Setelah kebijakan itu dikeluarkan, harga minyak goreng kemasan melesat jadi sekitar Rp25 ribu per liter. Pun begitu dengan minyak goreng curah. Meski HET sudah ditetapkan Rp14 ribu per kg, sampai saat ini harga minyak goreng curah masih di atas Rp22 ribu per liter.

Di tengah masalah minyak goreng yang belum kelar itu, muncul masalah baru; korupsi fasilitas pembiayaan ekspor minyak sawit mentah. Kasus dugaan korupsi tersebut diungkap oleh Kejaksaan Agung.

Mereka telah menahan empat tersangka terkait kasus. Keempat tersangka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan berinisial IWW, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, General Affairs PT Musim Mas berinisial PT, dan Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan para tersangka ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Kejagung.

Pemerintah Diminta Tegas

Akibat penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung itu, pengusaha minyak goreng mengancam untuk menarik diri dari program minyak goreng subsidi. Terkait hal itu, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman meminta pemerintah untuk bersikap tegas atas ancaman tersebut. Salah satunya adalah dengan mencabut hak guna usaha (HGU) lahan perkebuban dan izin usaha perkebunan (IUP) dari pengusaha sawit yang mengancam boikot program minyak goreng subsidi.

“Haruslah disadari bahwa kebun sawit seluas 9 juta hektar milik swasta sebenarnya adalah milik negara, karena asalnya dari alih fungsi hutan atau pembebasan lahan atas izin pemerintah,” kata dia, Jumat (22/4).

Jadi, semestinya para pengusaha harus taat dan patuh aturan dalam menjalankan bisnisnya. Tidak dengan melakukan ancaman terhadap program yang dijalankan pemerintah. “Dalam program subsidi minyak goreng, pemerintah telah berbaik hati mengganti biaya sehingga pengusaha tetap untung, pengusaha tetap tidak merugi. Jangan air susu dibalas air tuba,” tutur dia.

Ketegasan juga perlu diperlihatkan pemerintah, khususnya pengusaha CPO nakal yang melakukan ekspor ilegal. Padahal, selama ini pemerintah telah memberikan fasilitas ekspor kepada pengusaha CPO sehingga mereka telah memperoleh keuntungan ratusan triliun sejak puluhan tahun yang lalu.

“Namun justru saat rakyat kesusahan akibat ulah nakal mereka, malah mengancam boikot program pemerintah sehingga semestinya pemerintah harus tegas mencabut semua fasilitas dan ijin ekport pengusaha yang nakal dan ancam program pemerintah,” imbuh Boyamin.

Lebih tegas lagi, pemerintah harus mengambil alih kebun sawit dari pengusaha nakal untuk dialihkan kepada rakyat (koperasi) atau BUMN PTPN. Pasalnya, pemberian izin alih fungsi hutan untuk dijadikan kebun sawit telah mendapat kecaman dari dunia internasional. “Dengan tuduhan perusakan lingkungan dan deforestasi (penghilangan hutan), sehingga tahun kemarin pemerintah telah berusaha memperbaiki citra dengan program hijau,” terangnya.

Akan tetapi, niat baik pemerintah untuk memperbaiki citra malah mendapat balasan ancaman boikot mundur subsidi. Atas hal ini pemerintah harus tegas mencabut HGU dan IUP pengusaha nakal. “Kemudian diserahkan kepada koperasi rakyat dan BUMN untuk menciptakan kedaulatan pangan sehingga tidak akan terulang mahal dan langka minyak goreng,” jelas dia.

Diharapkan Kejagung untuk mengembangkan penyidikan guna menambah jumlah tersangka, baik perseorangan dan perusahaan serta dilapisi pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Hal ini untuk menjawab tantangan dari ancaman boikot pengusaha sawit bahwa penegakan hukum adalah untuk keadilan seluruh rakyat dan penegakan hukum tidak bisa ditawar apalagi diancam,” tutup dia.

Sebelumnya, pengusaha sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga memprotes penetapan tersangka kasus ekspor CPO (minyak sawit) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Kemenperin. Ia pun mengancam Kemenperin, bahwa pelaku industri minyak goreng akan mundur dari program subsidi bila kasus tersebut tidak diselesaikan.

“Sekarang banyak PE disobekin oleh pengusaha, karena sudah tidak ada gunanya. Maka kita itu protes keras dan minta ke Kementerian Perindustrian supaya ini dibereskan. Kalau enggak, kami tidak akan menjalankan program pemerintah ini,” ucapnya. (cnn/jpc)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Jokowi memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4). Hal itu ia putuskan dalam rapat bersama menterinya. “Dalam rapat, saya putuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 april 2022 sampai batas waktu yg ditentukan,” katanya Jumat (22/4).

Jokowi menyatakan keputusan itu dilakukan supaya pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah dan harganya murah. Harga minyak melesat sejak Agustus 2021 lalu dari yang awalnya hanya Rp14 ribu n

per liter menjadi Rp20 ribu. Sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng.

Pertama, meluncurkan minyak goreng kemasan sederhana Rp14 ribu per liter di ritel dan pasar tradisional secara bertahap pada Januari-Juni 2022. Total minyak goreng yang digelontorkan Rp2,4 miliar liter. Untuk menyediakan minyak goreng ini pemerintah menggelontorkan subsidi Rp7,6 triliun yang diambilkan dari dana perkebunan kelapa sawit

Kedua, menerapkan kewajiban bagi produsen memasok minyak goreng di dalam negeri (DMO) sebesar 20 persen dari total volume ekspor mereka dengan harga domestik (DPO) mulai 27 Januari lalu. Dengan kebijakan itu harga eceran tertinggi ditetapkan menjadi tiga. Yaitu; minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp14 ribu per liter. Harga mulai berlaku 1 Februari 2022.

Meskipun pemerintah sudah jungkir balik mengendalikan harga minyak goreng, yang terjadi malah sebaliknya; muncul masalah baru. Untuk kebijakan satu harga Rp14 ribu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menyebut kebijakan itu membuat masyarakat menyerbu minyak goreng di ritel.

Akibatnya, minyak goreng jadi langka di pasaran. Pun begitu dengan kebijakan DMO dan DPO.

Karena tak efektif, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru; mencabut harga eceran tertinggi minyak goreng premium dan menyerahkan harganya ke mekanisme pasar dan menaikkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah jadi Rp14 ribu per liter.

Setelah kebijakan itu dikeluarkan, harga minyak goreng kemasan melesat jadi sekitar Rp25 ribu per liter. Pun begitu dengan minyak goreng curah. Meski HET sudah ditetapkan Rp14 ribu per kg, sampai saat ini harga minyak goreng curah masih di atas Rp22 ribu per liter.

Di tengah masalah minyak goreng yang belum kelar itu, muncul masalah baru; korupsi fasilitas pembiayaan ekspor minyak sawit mentah. Kasus dugaan korupsi tersebut diungkap oleh Kejaksaan Agung.

Mereka telah menahan empat tersangka terkait kasus. Keempat tersangka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan berinisial IWW, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, General Affairs PT Musim Mas berinisial PT, dan Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan para tersangka ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Kejagung.

Pemerintah Diminta Tegas

Akibat penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung itu, pengusaha minyak goreng mengancam untuk menarik diri dari program minyak goreng subsidi. Terkait hal itu, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman meminta pemerintah untuk bersikap tegas atas ancaman tersebut. Salah satunya adalah dengan mencabut hak guna usaha (HGU) lahan perkebuban dan izin usaha perkebunan (IUP) dari pengusaha sawit yang mengancam boikot program minyak goreng subsidi.

“Haruslah disadari bahwa kebun sawit seluas 9 juta hektar milik swasta sebenarnya adalah milik negara, karena asalnya dari alih fungsi hutan atau pembebasan lahan atas izin pemerintah,” kata dia, Jumat (22/4).

Jadi, semestinya para pengusaha harus taat dan patuh aturan dalam menjalankan bisnisnya. Tidak dengan melakukan ancaman terhadap program yang dijalankan pemerintah. “Dalam program subsidi minyak goreng, pemerintah telah berbaik hati mengganti biaya sehingga pengusaha tetap untung, pengusaha tetap tidak merugi. Jangan air susu dibalas air tuba,” tutur dia.

Ketegasan juga perlu diperlihatkan pemerintah, khususnya pengusaha CPO nakal yang melakukan ekspor ilegal. Padahal, selama ini pemerintah telah memberikan fasilitas ekspor kepada pengusaha CPO sehingga mereka telah memperoleh keuntungan ratusan triliun sejak puluhan tahun yang lalu.

“Namun justru saat rakyat kesusahan akibat ulah nakal mereka, malah mengancam boikot program pemerintah sehingga semestinya pemerintah harus tegas mencabut semua fasilitas dan ijin ekport pengusaha yang nakal dan ancam program pemerintah,” imbuh Boyamin.

Lebih tegas lagi, pemerintah harus mengambil alih kebun sawit dari pengusaha nakal untuk dialihkan kepada rakyat (koperasi) atau BUMN PTPN. Pasalnya, pemberian izin alih fungsi hutan untuk dijadikan kebun sawit telah mendapat kecaman dari dunia internasional. “Dengan tuduhan perusakan lingkungan dan deforestasi (penghilangan hutan), sehingga tahun kemarin pemerintah telah berusaha memperbaiki citra dengan program hijau,” terangnya.

Akan tetapi, niat baik pemerintah untuk memperbaiki citra malah mendapat balasan ancaman boikot mundur subsidi. Atas hal ini pemerintah harus tegas mencabut HGU dan IUP pengusaha nakal. “Kemudian diserahkan kepada koperasi rakyat dan BUMN untuk menciptakan kedaulatan pangan sehingga tidak akan terulang mahal dan langka minyak goreng,” jelas dia.

Diharapkan Kejagung untuk mengembangkan penyidikan guna menambah jumlah tersangka, baik perseorangan dan perusahaan serta dilapisi pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Hal ini untuk menjawab tantangan dari ancaman boikot pengusaha sawit bahwa penegakan hukum adalah untuk keadilan seluruh rakyat dan penegakan hukum tidak bisa ditawar apalagi diancam,” tutup dia.

Sebelumnya, pengusaha sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga memprotes penetapan tersangka kasus ekspor CPO (minyak sawit) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Kemenperin. Ia pun mengancam Kemenperin, bahwa pelaku industri minyak goreng akan mundur dari program subsidi bila kasus tersebut tidak diselesaikan.

“Sekarang banyak PE disobekin oleh pengusaha, karena sudah tidak ada gunanya. Maka kita itu protes keras dan minta ke Kementerian Perindustrian supaya ini dibereskan. Kalau enggak, kami tidak akan menjalankan program pemerintah ini,” ucapnya. (cnn/jpc)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/