25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Petani Kirim Surat ke Jokowi, Minta Larangan Ekspor Sawit Dicabut

SUMUTPOS.CO – Asosiasi Petani Kelapa Sawit yang tergabung dalam Aspekpir Indonesia menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi surat tersebut meminta pemerintah segera mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya yang sudah berlaku sejak 28 April 2022.

“Hari Raya Idul Fitri kemarin tidak ada gejolak dan kelangkaan minyak goreng padahal kebutuhan meningkat tajam, artinya kebijakan pelarangan ekspor mampu mempengaruhi pasokan di dalam negeri. Karena tujuan sudah tercapai, maka saatnya pemerintah mencabut larangan ekspor CPO dan produk turunannya,” kata Ketua Umum Aspekpir Indonesia Setiyono.

Setiyono menjelaskan kebijakan itu sudah menghancurkan ekonomi petani sebagai komponen paling hulu dari rantai pasok minyak kelapa sawit.

Sejak larangan ekspor diberlakukan, yang pertama kali terdampak adalah petani.

“Kebijakan ini ibaratnya siapa yang berulah tetapi siapa yang harus menanggung. Petani sama sekali tidak tahu kenapa minyak goreng pernah langka, waktu itu petani juga sama dengan masyarakat Indonesia lainnya mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng. Kami tidak tahu siapa yang makan nangka tetapi sekarang tangan kami penuh getahnya,” tuturnya mengibaratkan.

Akibat larangan ekspor, kata Setiyono, saat ini tangki timbun pabrik kelapa sawit (PKS) tempatnya punya kontrak penjualan sudah dan hampir penuh. Mereka tidak bisa menjual CPO-nya pada industri olahan atau eksportir karena 70% pasarnya merupakan pasar ekspor.” PKS tempat kami menjual TBS (tandan buah segar) juga punya kebun sendiri sehingga dalam situasi seperti ini mereka memprioritaskan TBS dari kebun sendiri,” jelasnya.

Dikarenakan tangki sudah penuh, beberapa PKS disebut berhenti beroperasi dan tidak menutup kemungkinan jumlahnya terus bertambah. PKS yang masih beroperasi juga tidak menerima TBS petani mitranya yang sudah punya kontrak karena kondisi ini.

“Saat ini harga sarana produksi juga naik tinggi, sedang TBS tidak terjual sehingga petani sudah jatuh tertimpa tangga, temboknya rubuh menindih kami. Kelapa sawit secara teknis agronomis buah matang harus segera dipanen, kalau dibiarkan tidak dipanen maka tanaman akan rusak dan perlu waktu untuk memulihkannya,” jelasnya.

“TBS harus segera masuk pabrik, kalau tidak akan busuk dan CPO yang dihasilkan bermutu rendah. CPO yang terlalu lama disimpan di tangki timbun juga akan rusak sehingga tidak bisa memenuhi syarat untuk pangan,” tambahnya.

Dunia saat ini kekurangan minyak nabati dan Indonesia sebagai pemilik kebun kelapa sawit terbesar dinilai punya tanggung jawab memenuhi permintaan itu sebagai bagian dari masyarakat Internasional yang beradab. (dtc/ila)

SUMUTPOS.CO – Asosiasi Petani Kelapa Sawit yang tergabung dalam Aspekpir Indonesia menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi surat tersebut meminta pemerintah segera mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya yang sudah berlaku sejak 28 April 2022.

“Hari Raya Idul Fitri kemarin tidak ada gejolak dan kelangkaan minyak goreng padahal kebutuhan meningkat tajam, artinya kebijakan pelarangan ekspor mampu mempengaruhi pasokan di dalam negeri. Karena tujuan sudah tercapai, maka saatnya pemerintah mencabut larangan ekspor CPO dan produk turunannya,” kata Ketua Umum Aspekpir Indonesia Setiyono.

Setiyono menjelaskan kebijakan itu sudah menghancurkan ekonomi petani sebagai komponen paling hulu dari rantai pasok minyak kelapa sawit.

Sejak larangan ekspor diberlakukan, yang pertama kali terdampak adalah petani.

“Kebijakan ini ibaratnya siapa yang berulah tetapi siapa yang harus menanggung. Petani sama sekali tidak tahu kenapa minyak goreng pernah langka, waktu itu petani juga sama dengan masyarakat Indonesia lainnya mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng. Kami tidak tahu siapa yang makan nangka tetapi sekarang tangan kami penuh getahnya,” tuturnya mengibaratkan.

Akibat larangan ekspor, kata Setiyono, saat ini tangki timbun pabrik kelapa sawit (PKS) tempatnya punya kontrak penjualan sudah dan hampir penuh. Mereka tidak bisa menjual CPO-nya pada industri olahan atau eksportir karena 70% pasarnya merupakan pasar ekspor.” PKS tempat kami menjual TBS (tandan buah segar) juga punya kebun sendiri sehingga dalam situasi seperti ini mereka memprioritaskan TBS dari kebun sendiri,” jelasnya.

Dikarenakan tangki sudah penuh, beberapa PKS disebut berhenti beroperasi dan tidak menutup kemungkinan jumlahnya terus bertambah. PKS yang masih beroperasi juga tidak menerima TBS petani mitranya yang sudah punya kontrak karena kondisi ini.

“Saat ini harga sarana produksi juga naik tinggi, sedang TBS tidak terjual sehingga petani sudah jatuh tertimpa tangga, temboknya rubuh menindih kami. Kelapa sawit secara teknis agronomis buah matang harus segera dipanen, kalau dibiarkan tidak dipanen maka tanaman akan rusak dan perlu waktu untuk memulihkannya,” jelasnya.

“TBS harus segera masuk pabrik, kalau tidak akan busuk dan CPO yang dihasilkan bermutu rendah. CPO yang terlalu lama disimpan di tangki timbun juga akan rusak sehingga tidak bisa memenuhi syarat untuk pangan,” tambahnya.

Dunia saat ini kekurangan minyak nabati dan Indonesia sebagai pemilik kebun kelapa sawit terbesar dinilai punya tanggung jawab memenuhi permintaan itu sebagai bagian dari masyarakat Internasional yang beradab. (dtc/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/