Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang setiap tahun diselenggarakan umat Islam di seluruh dunia, seharusnya mempunyai pengertian dan penghayatan mendalam serta mendasar terhadap kualitas dan kuantitas amalnya. Lalu, dibandingkan dengan kita untuk periode waktu yang sama.
Antara lain dengan membaca serta merenungi riwayat hidupnya, sejak lahir tanpa ayah sampai wafat dengan tenang, plus dampak perjuangan dan kepribadiannya terhadap umat manusia sampai kini.
Dengan demikian, kita bisa mengukur, berapa jauh selisih substansi amal beliau dengan amal kita, baik dalam bentuk “habluminallah”, “habluminannas”, maupun “habluminallam”. Ini untuk menoleh masa lalu sebagai langkah menghadapi masa depan, sampai bisa diketahui, mana saja perbuatan yang perlu “dihilangkan atau diwujudkan” dan “ditambah atau dikurangi”.
Ummat Islam dari masa ke masa sudah sepakat, amal merupakan puncak ketaqwaan dan keimanan manusia terhadap Allah. Artinya, tiada yang mampu menumbangkan substansi amalnya. Bila selisih amalnya dengan amal kita semakin besar, berarti semakin banyak kita melalaikan seruannya: berbuat ma’ruf dan mencegah mungkar.
Jadi, peringatan Maulid merupakan momentum untuk membuat target keinsafan dari kemungkaran dan peningkatan untuk kema’rufan, untuk berbagai aspek.
Tetapi ini sulit telaksana tanpa itikad dan antusias untuk mengoreksi segala perbuatan yang sudah dilaksanakan serta tercatat dalam lembar kehidupan kita melalui catatan “Rakit dan Atid”. Apalagi bila menjadikan Maulid hanya sekedar upacara belaka.
Banyak perilaku fantastis yang dapat dipetik dari riwayatnya, seperti ketabahan dan kesatriaannya menerima ujian dan cobaan terhadap penganiayaan fisik yang dilakukan manusia-manusia yang zalim.
Misalkan ketika pulang ke rumah, Nabi Muhammad SAW dihadang serta ditaburi pasir oleh orang Quraisy, sehingga badannya menjadi kotor. Tetapi ketika sang anak menangis sambil membersihkan debu, bukan “rasa dendam” yang beliau perlihatkan, tetapi “sikap sabar”. Anaknya dihibur dengan pernyataan, “Sesungguhnya Allah akan selalu membela dan melindungi ayah”.
Apalagi ketika hijrah ke Thaif yang ketika itu beliau disambut penduduk dengan perbuatan yang sangat keji. Mereka mengeroyok dan mengejeknya dengan sadis.
Dari anak kecil sampai orang dewasa, menyerang beliau dengan batu sampai akhirnya mencucurkan darah. Itu dilakukan sambil melontarkan beragam kalimat cacian, seperti “sinting”, “dungu”, bahkan “gila”. Apakah ia dendam dan benci? Oh… tidak! Malah ketika malaikat menawarkan jasa, apakah kaum itu dihancurkan saja, ia menjawab, “Malah aku mengharap, semoga Allah menciptakan kaum penyembahNya dari keturunan mereka”.
Semua itu akan memberikan kita sketsa bahwa sikap dan reaksinya mencerminkan sosok manusia yang berpikir sangat positif serta berorientasi jangka panjang. Ini memang terbukti. Banyak dari mereka yang memusuhinya, tetapi karena hatinya luluh renyah melihat perilaku beliau, berbalik menjadi mengikutinya, malah di antaranya berlanjut menjadi sahabatnya, serta menjadi panglima untuk mencapai kemakmuran dan kejayaan Islam. Sekaligus tampak jelas pula, bagaimana Nabi Muhammad SAW mengenyampingkan “dendam” sambil memanfaatkan “sabar” untuk mengsukseskan perjuangan dan penyebaran syiar Islam.
Dengan memperingati Maulid, kita akan terangsang untuk lebih sering atau lebih bergairah untuk membaca riwayatnya. Soalnya sudah menjadi konsekwensi psikologis, deman suatu peringatan akan merangsang masyarakat untuk mengetahui nilai sejarah yang terkandung dari peringatan itu. Jadi untuk Maulid, cepat atau lambat, akan menyadarkan bahwa amal kita ternyata belum apa-apa dibandingkan dengan amal beliau. Bila kita mempunyai rasa malu, tentu akan semakin mendorong kita untuk lebih banyak berbuat amal.
Rasa “hanya punya dosa sedikit” atau “bebas dari segala dosa” mungkin saja mengusik/menggoda kita. Ini jelas bisa membuat kita lupa diri, serta secara perlahan akan membuat kita mengurangi frekwensi penyebutan kalimat “istighfar”. Dengan peringatan Maulid, kita akan memperoleh informasi tentang kegiatan “istighfar” Nabi Muhammad SAW yang dilakukan kapan dan di mana saja.
Ingat, walaupun dijamin masuk surga, Nabi Muhammad SAW tetap “istighfar” dengan frekwensi yang sangat tinggi. Ini menandakan, ia tidak “angkuh”. Maksudnya, merasa “bebas dari dosa”, walaupun sebenarnya ia memang “bebas dari dosa”. Ia melakukan setiap hari bukan lagi puluhan kali, tetapi ribuan kali.
Bukan itu saja, dengan membaca sejarah Nabi Muhammad SAW, kita akan banyak mengetahui rahasia hidupnya yang bila diaplikasikan akan memberikan kredit point sangat bagi kebahagiaan dan kesejahteraan kita. Misalkan tentang kesehatan, ia hanya sakit dua kali saja dalam hidupnya. Di antaranya karena: “selalu bangun sebelum fajar”, “makan sebelum lapar dan stop sebelum kenyang”, “minum dari wadah yang tertutup”, “tidak mudah sugesti terhadap jasmani”, “bisa mengendalikan emosi”, dan “minum tanpa bernapas”.
Sampai kini masih banyak rahasia hidupnya yang belum mencapai popularitas yang maksimal. Artinya, hanya diketahui oleh kelompok minoritas dalam ummat Islam. Jadi logislah bila dikatakan, Maulid merupakan momentum yang tepat untuk mempopulerkan itu, sebagaimana aspek kesehatan. Soalnya berdasarkan kenyataan, di sekitar Maulid, sejarah hidupnya lebih menggema dan lebih apresiatif. Apalagi kini di mana media massa selalu terlibat memperingati Maulid, jauh sebelum dan sesudahnya, baik dalam bentuk berita maupun artikel, dengan beragam pengkajian dan penganalisaan.
Kini banyak ilmuwan, baik ummat Islam maupun non Islam, yang mempelajari rahasia hidupnya. Mereka sedikit-banyak mengakui, Nabi Muhammad SAW tidak saja sebagai sosok pribadi yang menyangkut keagamaan, juga keduniaan. Misalkan Napoleon Bonaparte, panglima perang dari Perancis, mengagumi kordinasi Nabi Muhammad SAW terhadap tubuhnya sampai dengan beberapa liter air saja dapat membersihkan rambut sampai kaki dengan sempurna dan merata. Ini jelas pekerjaan yang sulit dilakukan manusia kini, apalagi setiap hari, termasuk oleh mereka yang tinggal daerah tandus dan kering, seperti di jazirah Arab, tempat lahirnya.
Sedangkan Johann Wolfgang von Goethe, sastrawan legendaris dari Jerman, mengibaratkannya dengan keindahan sungai yang tidak pernah kering sebentar pun. Sejak lama ia terpesona dan terangsang untuk merenungi dan menghayati beragam rahasia hidupnya. Semua pujian ini dicurahkan melalui puisi, bahkan ia sudah membuat skenario drama yang berisikan penghormatan dan kekaguman kepada insan yang sangat mulia itu. Ia menganggap nuraninya termulia, ibarat mutiara dengan kualitas terbaik di samudra. Selanjutnya ia memujinya: “Dengan pakaian putih, seperti mutiara. Dengan pakaian merah, ibarat mawar”.
Sementara Annemarie Schimmel, penulis buku “Dan Muhammad adalah Utusan Allah”, menguraikan bahwa hubungan spritual-fisikal pada Nabi Muhammad SAW terdapat sistim pencerminan bolak-balik. (*)
Penulis bekerja di Reformasi Sains Matematika Teknologi