27 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pengakuan Mantan Kepala Sekolah yang Dipecat Bupati Dairi

Saya Heran, Kenapa Seperti Ini Jadinya…

Setahun telah berlalu, kasus pemutasian besar-besaran terhadap kepala sekolah dan pengawas sekolah di Kabupaten Dairi, masih menyisakan cerita pahit bagi mereka yang dimutasikan, salah satunya Martalena Sibayang (51).

Dia adalah satu diantara ratusan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Dairi yang dipecat sebagai kepala sekolah (Kepsek) oleh Bupati Dairi, Kanjeng Raden Adipati (KRA) Johnny Sitohang Adinegoro.

Pemecatan di periode 2010-2011 itu, dinilai Martalena tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, karena dirinya dipecat sepihak, sehingga melanjutkan kasus pemecatan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

“Saya tidak terima pemecatan sepihak itu, karena saya tidak pernah mendapatkan teguran apapun atau sanksi atas kesalahan yang saya lakukan selama bertugas menjadi kepala sekolah. Keputusan Bupati ini jelas telah bertentangan dengan aturan yang berlaku,” ungkap Martalena didampingi kuasa hukumnya Dedi Cahyadi serta dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB) dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), kemarin (12/2).
Menurut Martalena, dirinya mengalami pemecatan pada gelombang ke empat. Gelombang pertama ada sekitar 100 orang, gelombang ke dua dan ketiga juga sama, dan gelombang terakhir di awal tahun 2011, 120 orang termasuk dirinya. Awalnya, banyak PNS yang tak terima dan bahkan sempat dibentuk Forum Transparansi Guru, karena ada sekitar 25 guru yang ingin berjuang.

“Bersama dengan saya, sebenarnya kami ada empat orang yang dipecat yakni, Antajulin Tarigan, kepsek yang jadi guru biasa, Muhammad Karo Sembiring, pengawas sekolah yang jadi guru biasa, Nelson Bancin, kepsek yang juga jadi guru biasa. Tapi di tengah proses perjuangan untuk menuntut kesemena-menaan Bupati, dua di antara kami (Muhammad Karo Sembiring dan Antajulin Tarigan) diberikan kembali jabatannya, makanya saya menggugat sendiri ke ranah hukum,” terang Martalena.

Dikatakan Martalena, awalnya dia menjadi guru di SDN No. 035950 Silencer, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, sejak 30 November 1984. Mulai 9 November 2007, dipercaya sebagai Kepala Sekolah Negeri No.030325 Simanduma UPT Bina Pendidikan Dasar, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi berdasarkan SK Bupati Dairi No.682A Tahun 2007 tertanggal 10 November 2007.

Namun, pada 27 Januari 2011, Bupati Dairi menerbitkan surat keputusan pemberhentian, pengangkatan, mutasi jabatan kepala sekolah dan pemgawas sekolah di lingkungan Pemkab Dairi No. 821.23/29/I/2011 atas nama Martalena Sibayang.
Dalam surat itu, Martalena dimutasikan sebagai guru biasa di SD No.034792 Simartugan Jehe.

“Pemberhentian ini tidak beralasan. Karena dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2010 Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah seharusnya diberhentikan dengan alasan seperti masa tugas berakhir, telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru, diangkat pada jabatan lain, dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat, dinilai berkinerja kurang, berhalangan tetap, tugas belajar sekurang-kurangnya enam bulan dan meningal dunia, tapi tak ada satupun alasan dari yang disebutkan dalam aturan itu saat pemberhentian saya,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, selama bertugas menjadi kepala sekolah, dia tidak pernah sekalipun mendapatkan surat teguran ataupun peringatan serta pemberian sanksi dari pihak manapun yang dikarenakan kesalahan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala sekolah. Anehnya, meskipun SK pemberhentian dan mutasinya sudah dibuat Bupati Dairi pada 27 Januari 2011, namun hingga 7 Februari 2011 Martalena masih belum mendapatkan salinan SK tersebut.

Tak terima dengan kebijakan sepihak itu, Martalena lantas mengadukan kasusnya ke DPRD Dairi, 8 Maret 2011.  Dalam Rapat itu, bupati tidak hadir hanya diwakilkan Kepala Dinas Pendidikan Dairi Pasder Berutu, dan beberapa SKPD.
“Saya taunya dari isu yang beredar. Pada 7 Februari saya mengirimkan surat ke bupati  Dairi mengenai informasi pergantian jabatan kepala sekolah di SD Negeri No. 030325 Simanduma. Tapi saya nggak dapat jawaban apapun,” ucapnya.

Dari hasil rapat itu, katanya, DPRD Dairi mengeluarkan surat pada 16 Maret 2011 yang ditandatangani Wakil Ketua DPRD yang isinya tidak menemukan adanya kesalahan dilakukan Martalena Sibayang. “Setelah rapat itu, barulah SK saya keluar tanggal 24 Maret 2011,” ujarnya.

Namun, surat keputusan DPRD Dairi itu tak mampu menjawab SK pemberhentian yang telah dikeluarkan oleh Bupati, sehingga Martelena mendaftarkan gugatannya ke PTUN Medan pada 25 April 2011. Setelah melalui persidangan, majelis hakim PTUN Medan memberikan putusan, mengabulkan seluruh gugatan dirinya, bahwa pemutasian dibatalkan. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp209.000.

“Tapi bupati kemudian mengajukan permohonan banding pada hari yang sama yakni 25 Juli 2011, dan berdasarkan hasil keputusan banding tanggal 27 Desember 2011, PTUN Medan lagi-lagi memenangkan saya sebagai penggugat. Saya heran, kenapa seperti ini jadinya. Saya sangat mengharapkan bupati Dairi dapat merealisasikan hasil PTUN Medan tersebut,” harapnya.

Menyikapi hal itu, Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi mengatakan, dari kasus tersebut telah terjadi pergeseran dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Sebab, segala sesuatunya sudah menjadi perilaku birokrasi penguasa dan hal ini muncul setelah otonomi daerah. “Kalau ada sesuatu yang tidak sepaham atau perbedaan pendapat, katakanlah paham politik, maka yang terjadi belakangan segala sesuatu terjadi tidak atas dasar ketentuan hukum berlaku, melainkan atas ketentuan penguasa,” kata Farid.

Di sisi lain, Farid juga mengendus adanya aroma politik birokrasi meskipun hal ini sulit dibuktikan, tapi kasus ini ada kaitannya dengan Pilkada Dairi 2013 mendatang. Di mana PNS yang ada di level menengah bawah menjadi korban, dan penguasa berupaya menyingkirkan orang yang tidak memilih pemahaman yang sama dengan pemerintahan berkuasa.

Sementara itu, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Khairiah Lubis, mengapresiasi perjuangan Martalena Sibayang untuk menuntut haknya. Oleh karena itu, FJPI terus mendukung baik dari pemberitaan di media juga dukungan moril. “Kita terus mendukung ibu Martalena dan akan melakukan upaya-upaya penguatan terhadapnya dengan menyurati Gubsu, Menteri juga anggota DPD RI asal Sumut, kita ingin pemerintah dapat serius menangani permasalahan ini,” tegas Khairiah.

Saya Heran, Kenapa Seperti Ini Jadinya…

Setahun telah berlalu, kasus pemutasian besar-besaran terhadap kepala sekolah dan pengawas sekolah di Kabupaten Dairi, masih menyisakan cerita pahit bagi mereka yang dimutasikan, salah satunya Martalena Sibayang (51).

Dia adalah satu diantara ratusan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Dairi yang dipecat sebagai kepala sekolah (Kepsek) oleh Bupati Dairi, Kanjeng Raden Adipati (KRA) Johnny Sitohang Adinegoro.

Pemecatan di periode 2010-2011 itu, dinilai Martalena tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, karena dirinya dipecat sepihak, sehingga melanjutkan kasus pemecatan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

“Saya tidak terima pemecatan sepihak itu, karena saya tidak pernah mendapatkan teguran apapun atau sanksi atas kesalahan yang saya lakukan selama bertugas menjadi kepala sekolah. Keputusan Bupati ini jelas telah bertentangan dengan aturan yang berlaku,” ungkap Martalena didampingi kuasa hukumnya Dedi Cahyadi serta dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB) dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), kemarin (12/2).
Menurut Martalena, dirinya mengalami pemecatan pada gelombang ke empat. Gelombang pertama ada sekitar 100 orang, gelombang ke dua dan ketiga juga sama, dan gelombang terakhir di awal tahun 2011, 120 orang termasuk dirinya. Awalnya, banyak PNS yang tak terima dan bahkan sempat dibentuk Forum Transparansi Guru, karena ada sekitar 25 guru yang ingin berjuang.

“Bersama dengan saya, sebenarnya kami ada empat orang yang dipecat yakni, Antajulin Tarigan, kepsek yang jadi guru biasa, Muhammad Karo Sembiring, pengawas sekolah yang jadi guru biasa, Nelson Bancin, kepsek yang juga jadi guru biasa. Tapi di tengah proses perjuangan untuk menuntut kesemena-menaan Bupati, dua di antara kami (Muhammad Karo Sembiring dan Antajulin Tarigan) diberikan kembali jabatannya, makanya saya menggugat sendiri ke ranah hukum,” terang Martalena.

Dikatakan Martalena, awalnya dia menjadi guru di SDN No. 035950 Silencer, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, sejak 30 November 1984. Mulai 9 November 2007, dipercaya sebagai Kepala Sekolah Negeri No.030325 Simanduma UPT Bina Pendidikan Dasar, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi berdasarkan SK Bupati Dairi No.682A Tahun 2007 tertanggal 10 November 2007.

Namun, pada 27 Januari 2011, Bupati Dairi menerbitkan surat keputusan pemberhentian, pengangkatan, mutasi jabatan kepala sekolah dan pemgawas sekolah di lingkungan Pemkab Dairi No. 821.23/29/I/2011 atas nama Martalena Sibayang.
Dalam surat itu, Martalena dimutasikan sebagai guru biasa di SD No.034792 Simartugan Jehe.

“Pemberhentian ini tidak beralasan. Karena dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2010 Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah seharusnya diberhentikan dengan alasan seperti masa tugas berakhir, telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru, diangkat pada jabatan lain, dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat, dinilai berkinerja kurang, berhalangan tetap, tugas belajar sekurang-kurangnya enam bulan dan meningal dunia, tapi tak ada satupun alasan dari yang disebutkan dalam aturan itu saat pemberhentian saya,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, selama bertugas menjadi kepala sekolah, dia tidak pernah sekalipun mendapatkan surat teguran ataupun peringatan serta pemberian sanksi dari pihak manapun yang dikarenakan kesalahan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala sekolah. Anehnya, meskipun SK pemberhentian dan mutasinya sudah dibuat Bupati Dairi pada 27 Januari 2011, namun hingga 7 Februari 2011 Martalena masih belum mendapatkan salinan SK tersebut.

Tak terima dengan kebijakan sepihak itu, Martalena lantas mengadukan kasusnya ke DPRD Dairi, 8 Maret 2011.  Dalam Rapat itu, bupati tidak hadir hanya diwakilkan Kepala Dinas Pendidikan Dairi Pasder Berutu, dan beberapa SKPD.
“Saya taunya dari isu yang beredar. Pada 7 Februari saya mengirimkan surat ke bupati  Dairi mengenai informasi pergantian jabatan kepala sekolah di SD Negeri No. 030325 Simanduma. Tapi saya nggak dapat jawaban apapun,” ucapnya.

Dari hasil rapat itu, katanya, DPRD Dairi mengeluarkan surat pada 16 Maret 2011 yang ditandatangani Wakil Ketua DPRD yang isinya tidak menemukan adanya kesalahan dilakukan Martalena Sibayang. “Setelah rapat itu, barulah SK saya keluar tanggal 24 Maret 2011,” ujarnya.

Namun, surat keputusan DPRD Dairi itu tak mampu menjawab SK pemberhentian yang telah dikeluarkan oleh Bupati, sehingga Martelena mendaftarkan gugatannya ke PTUN Medan pada 25 April 2011. Setelah melalui persidangan, majelis hakim PTUN Medan memberikan putusan, mengabulkan seluruh gugatan dirinya, bahwa pemutasian dibatalkan. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp209.000.

“Tapi bupati kemudian mengajukan permohonan banding pada hari yang sama yakni 25 Juli 2011, dan berdasarkan hasil keputusan banding tanggal 27 Desember 2011, PTUN Medan lagi-lagi memenangkan saya sebagai penggugat. Saya heran, kenapa seperti ini jadinya. Saya sangat mengharapkan bupati Dairi dapat merealisasikan hasil PTUN Medan tersebut,” harapnya.

Menyikapi hal itu, Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi mengatakan, dari kasus tersebut telah terjadi pergeseran dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Sebab, segala sesuatunya sudah menjadi perilaku birokrasi penguasa dan hal ini muncul setelah otonomi daerah. “Kalau ada sesuatu yang tidak sepaham atau perbedaan pendapat, katakanlah paham politik, maka yang terjadi belakangan segala sesuatu terjadi tidak atas dasar ketentuan hukum berlaku, melainkan atas ketentuan penguasa,” kata Farid.

Di sisi lain, Farid juga mengendus adanya aroma politik birokrasi meskipun hal ini sulit dibuktikan, tapi kasus ini ada kaitannya dengan Pilkada Dairi 2013 mendatang. Di mana PNS yang ada di level menengah bawah menjadi korban, dan penguasa berupaya menyingkirkan orang yang tidak memilih pemahaman yang sama dengan pemerintahan berkuasa.

Sementara itu, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Khairiah Lubis, mengapresiasi perjuangan Martalena Sibayang untuk menuntut haknya. Oleh karena itu, FJPI terus mendukung baik dari pemberitaan di media juga dukungan moril. “Kita terus mendukung ibu Martalena dan akan melakukan upaya-upaya penguatan terhadapnya dengan menyurati Gubsu, Menteri juga anggota DPD RI asal Sumut, kita ingin pemerintah dapat serius menangani permasalahan ini,” tegas Khairiah.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/