26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Saya Sedih, Kok Pengelola Anggaran tak Ada Jadi Tersangka…

Kesaksian RE Siahaan di Pengadilan Tipikor Medan

Setelah sekian lama mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Medan, akhirnya mantan Wali Kota Pematangsiantar RE Siahaan, membeber seluruh kronologis kejadian saat sidang lanjutan, Selasa (14/2).

Sidang yang dipimpin Jonner Manik SH, jaksa penuntut umum (JPU) Irene Putrie SH, RE Siahaan menerangkan, sewaktu dirinya menjabat sebagai Wali Kota Pematangsiantar, segala kebutuhan urusan dinas ataupun pribadi, diurus oleh ajudan dan protokoler.

“Kalau urusan dinas ke Jakarta, saya naik pesawat Garuda kelas biasa. Semua akomudasi ini diurus oleh ajudan dan protokoler pemerintah. Semua anggaran dinas itu dari APBD Pemko Pematangsiantar,” ujar RE Siahaan membuka kesaksian.

Di hadapan majelis, dia juga menyatakan, dalam kasus ini harta kekayaannya sudah ada yang dijual. “Salah satunya mobil sedan Honda Jazz saya. Sedangkan kebun sawit seluas 200 hektar yang disebutkan punya saya, itu milik istri dan keluarga,” ujar terdakwa.

RE Siahaan juga membantah mengenai adanya kwitansi pengeluaran dana untuk dirinya. Bahkan, ia baru pertama kali melihat kwitansi tersebut di KPK.
Terdakwa juga menyebut kwitansi yang ditunjukkan KPK pada dirinya, berbeda dengan kwitansi yang diperlihatkan saksi sebelumnya.

“Saya pernah usulkan diperiksa di laboratorium mengenai kwitansi itu, tapi jawaban KPK, nanti di pengadilan,” ungkapnya.
Yang menandatangani pengeluaran anggaran untuk DPR, lanjutnya, adalah Asisten I,II dan III. Tidak ada anggaran Bansos ke DPR, kalaupun ada harus ada nota dinas.

Bukan itu saja, RE Siahaan juga mencoba menyampaikan keluh kesahnya di depan peradilan, bahwa ia pernah minta panggilan klarifikasi atas dirinya.
“Pemanggilan sebagai tersangka oleh KPK tanpa adanya pemanggilan sebagai saksi. Saya juga sudah mencoba layangkan surat ke kode etik KPK untuk melakukan pengembangan soal dana bansos. Bahkan saya sudah melaporkan ke Polres soal bansos ini,” tegasnya.

Sementara itu, ketika majelis hakim Jonner Manik menyinggung mengenai kaitan kas daerah dengan menggunakan cek kuasa APBD dan wali kota, terdakwa mengatakan, kalau tidak menggunakan cek kuasa maka pihak bank akan menolak.

“Saya tidak mengetahui asisten I membagi-bagikan uang kepada anggota DPRD. Saya tidak pernah tahu soal ini. Yang menjadi pertanyaan saya kok tidak ada bukti tapi jadi tersangka dan ditahan. Kok pengelola anggaran tidak ada jadi tersangka. Ini yang membuat saya sedih. Saya terpaksa belajar. Kok Dinas PU-nya aman-aman saja. Benar tidak ada kerugian di bansos, tapi di PU ada kerugian negara. Kalau memang ada kerugian silahkan dikembangkan, kok terus langsung ke wali kotanya,” curhat terdakwa pada hakim.

Terdakwa juga mengaku tidak mengetahui adanya pemotongan 20 persen di dinas PU. “Tapi sejak awal saya sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ucapnya.(rud)

Kesaksian RE Siahaan di Pengadilan Tipikor Medan

Setelah sekian lama mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Medan, akhirnya mantan Wali Kota Pematangsiantar RE Siahaan, membeber seluruh kronologis kejadian saat sidang lanjutan, Selasa (14/2).

Sidang yang dipimpin Jonner Manik SH, jaksa penuntut umum (JPU) Irene Putrie SH, RE Siahaan menerangkan, sewaktu dirinya menjabat sebagai Wali Kota Pematangsiantar, segala kebutuhan urusan dinas ataupun pribadi, diurus oleh ajudan dan protokoler.

“Kalau urusan dinas ke Jakarta, saya naik pesawat Garuda kelas biasa. Semua akomudasi ini diurus oleh ajudan dan protokoler pemerintah. Semua anggaran dinas itu dari APBD Pemko Pematangsiantar,” ujar RE Siahaan membuka kesaksian.

Di hadapan majelis, dia juga menyatakan, dalam kasus ini harta kekayaannya sudah ada yang dijual. “Salah satunya mobil sedan Honda Jazz saya. Sedangkan kebun sawit seluas 200 hektar yang disebutkan punya saya, itu milik istri dan keluarga,” ujar terdakwa.

RE Siahaan juga membantah mengenai adanya kwitansi pengeluaran dana untuk dirinya. Bahkan, ia baru pertama kali melihat kwitansi tersebut di KPK.
Terdakwa juga menyebut kwitansi yang ditunjukkan KPK pada dirinya, berbeda dengan kwitansi yang diperlihatkan saksi sebelumnya.

“Saya pernah usulkan diperiksa di laboratorium mengenai kwitansi itu, tapi jawaban KPK, nanti di pengadilan,” ungkapnya.
Yang menandatangani pengeluaran anggaran untuk DPR, lanjutnya, adalah Asisten I,II dan III. Tidak ada anggaran Bansos ke DPR, kalaupun ada harus ada nota dinas.

Bukan itu saja, RE Siahaan juga mencoba menyampaikan keluh kesahnya di depan peradilan, bahwa ia pernah minta panggilan klarifikasi atas dirinya.
“Pemanggilan sebagai tersangka oleh KPK tanpa adanya pemanggilan sebagai saksi. Saya juga sudah mencoba layangkan surat ke kode etik KPK untuk melakukan pengembangan soal dana bansos. Bahkan saya sudah melaporkan ke Polres soal bansos ini,” tegasnya.

Sementara itu, ketika majelis hakim Jonner Manik menyinggung mengenai kaitan kas daerah dengan menggunakan cek kuasa APBD dan wali kota, terdakwa mengatakan, kalau tidak menggunakan cek kuasa maka pihak bank akan menolak.

“Saya tidak mengetahui asisten I membagi-bagikan uang kepada anggota DPRD. Saya tidak pernah tahu soal ini. Yang menjadi pertanyaan saya kok tidak ada bukti tapi jadi tersangka dan ditahan. Kok pengelola anggaran tidak ada jadi tersangka. Ini yang membuat saya sedih. Saya terpaksa belajar. Kok Dinas PU-nya aman-aman saja. Benar tidak ada kerugian di bansos, tapi di PU ada kerugian negara. Kalau memang ada kerugian silahkan dikembangkan, kok terus langsung ke wali kotanya,” curhat terdakwa pada hakim.

Terdakwa juga mengaku tidak mengetahui adanya pemotongan 20 persen di dinas PU. “Tapi sejak awal saya sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ucapnya.(rud)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/