MEDAN, SUMUTPOS.CO – Praktisi Pertanian Sumatera Utara (Sumut), Jhon Sinaga memberikan pelatihan eco enzyme kepada ratusan stakeholder di Dinas Pertanian se kabupaten/kota di Sumatera Utara (Sumut), di Hotel Grand Kanaya, Jalan Darussalam Medan, Rabu (2/11).
Pelatihan tersebut digelar Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumut.
John yang merupakan pensiunan Dinas Pertanian Provinsi Sumut ini memaparkan cara dan manfaat menggunakan eco enzyme kepada tanaman, hingga mampu meningkatkan produktivitas hasilnya. Namun, di lapangan tidak juga menutup kemungkinan permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi.
Menurutnya selama ini, eco enzyme yang ditemukan oleh Dr Rosukon Poompanvong tidak memperjualbelikan eco enzyme, bahkan tidak juga mengurus Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau kepemilikannya. Namun diserahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), agar semua masyarakat dapat menggunakannya.
“Jika saat ini ditemukan ada jual belinya, paling sebagai pengganti bahan-bahan pembuatannya, seperti gula merah atau gula tebunya, itu merupakan hal biasa, tetapi yang kita sayangkan justru malah banyak yang memperjualbelikannya atau dibisniskan produk eco enzyme tersebut. Itu tidak benar. Selama ini kita hanya melakukan pelatihan atau berbagi ilmu terkait cara pembuatannya dan pengaplikasiannya ke tanaman,” ujarnya kepada Sumut Pos, saat ditemui usai acara pelatihan tersebut.
Apalagi, lanjutnya, selama ini banyak kesalahpahaman di lapangan, pupuk organik dianggap memberikan sumber hara atau sumber makanan kepada tanaman. “Itu salah. Bahkan diberikan eco enzyme nya bertruk-truk ke petani, itulah yang terjadi terhadap petani jeruk di Kabupaten Karo, sehingga terjadi permasalahan, akibat kompos yang mentah yang diberikan ke pohon jeruk, menyebabkan lalat buah cepat berkembang disitu, telur-telurnya cepat menetas. Inilah yang perlu kita luruskan, karena salah mengaplikasikannya,” tegasnya.
Seharusnya, sambung John, sebelum diaplikasikan harus difermentasi terlebih dahulu dan tanahnya dirombak sebelum ditanami, disitulah peranan eco enzyme ini. Inikan dikuasai mikroba laktat yang bisa mengurai semua mikroba tidak baik dalam kompos. “Nah setelah dilakukan proses-proses pengaplikasiannya, barulah diberikan ke tanaman,” imbuhnya.
John menceritakan awal mula eco enzyme diperkenalkan di Indonesia, dia menjelaskan, dari beberapa pelatihan eco enzyme yang dibiayai dari pihak luar, yakni Badan Zending dunia, di antaranya Australia, India dan Jerman yang berawal menangani Pulau Mentawai. Pulau ini sangat tertinggal, baik dari sisi fasilitas hingga infrastrukturnya, sehingga bahan pangan pokok sangat mahal.
“Makanya kita buat pelatihan di sana. Nah, sejak Mei 2022 hingga saat ini pertumbuhan tanamannya mulai bagus dan berkembang pesat berkat eco enzhyme ini,” bebernya.
Lalu, tambahnya, NGO tersebut menugaskan pihaknya kembali menangani Pulau Nias, yakni membuat pelatihan sejak 25-30 Oktober 2022 lalu, dengan fokus pada pisang kepoknya, sebab di sana sudah mulai menurun drastis. Saat diberikan pelatihan, para stakeholder dan Dinas Pertanian serta masyarakat sangat antusias mengikuti pelatihan tersebut.
“Mudah-mudahan pihak NGO tetap komit sehingga tetap berjalan. Dengan hadirnya Eco Enzyme Indonesia (EEI) disana, banyak mendapatkan pencerahan, sehingga tidak memperoleh pengetahuan dari yang salah, terutama di sosial media (Sosmed) dan di Youtube, hanya mengejar subscribe malah besalahan. Sekali dua kali ikut pelatihan, sudah membuat konten yang menjadikan masyarakat menjadi korban. Janganlah begitu, kasihan masyarakat jika melihat pengetahuan dari konten-konten yang keliru,” tandasnya. (dwi)