30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Promosi Wisata, Tinggalkan Majalah di Pesawat

Kadek Jango Pramartha, 10 Tahun Mempromosikan Budaya Bali lewat Majalah Kartun

Sebagai kartunis, Kadek Pramartha ingin total berkiprah. Salah satu karyanya adalah Bogbog. Itu adalah nama majalah kartun yang dia dirikan sejak 10 tahun lalu. Oleh Muri (Museum Rekor Indonesia), Bogbog disebut sebagai majalah kartun pertama yang berbahasa Inggris. Apa yang membuat majalah itu bertahan.

GUNAWAN SUTANTO, Denpasar

Sebuah majalah Bogbog volume 9 terbitan 2010 ditunjukkan Kadek kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang menemuinya di kantornya, sebuah ruko dua lantai di Jalan Veteran, Denpasar, Selasa lalu (22/3).
Dalam edisi tersebut, Bogbog dibuat dengan cover berisi komik setrip dengan cerita seorang bule asal Amerika yang jatuh cinta pada budaya Bali. Si bule itu memutuskan untuk tinggal dan membuka bisnis pariwisata di Pulau Dewata. Si bule yang dalam cerita komik tersebut diberi nama Mr Smith itu kemudian mempekerjakan dua warga Bali untuk membantu usaha pariwisatanya. Keduanya bernama Wayan Kari dan Desak Nyoman.

Dalam perjalanan usahanya, Smith pusing bukan main ketika para karyawannyan sering meminta libur. Mereka izin libur untuk mengikuti berbagai upacara adat di kampung masing-masing. “Nah, seperti itulah karya-karya kami,” ucap Kadek yang lebih akrab disapa Jango itu. Menurut dia, memang begitulah kondisi masyarakat Bali. Meski hidup di tengah globalisasi, sebagian orang masih memegang keteguhan adat.

Melalui Bogbog, Jango ingin mengangkat budaya-budaya Bali melalui bahasa yang universal. “Selain itu, kami ingin mengemas kritik sosial yang bisa dimengerti siapa saja, tapi membuat mereka yang membaca tetap tertawa,” ungkapnya.  Bagi Jango, kartun merupakan bahasa universal yang efektif untuk menyampaikan sebuah pesan.
Hal itu setidaknya dirasakan Jango saat mengenyam pendidikan di Univesity of Western Australia (UWA) pada 1993?1995. Di tengah kuliah tersebut, dia juga diminta menjadi asisten dosen oleh Carol Waren, antropolog yang biasa melakukan penelitian di Bali.

Ketika menjadi asisten dosen, Jango sering diminta memberikan materi kuliah. “Waktu itu bahasa Inggris saya masih parah, sehingga saya sering menggunakan bahasa kartun. Sering ketika saya menjelaskan melalui kartun, mahasiswa di kelas itu malah mengerti dan mereka menikmati dengan tertawa-tawa,” jelas pria 45 tahun tersebut. Dari situ, akhirnya dia yakin keahliannya menggambar selama ini sangat bermanfaat.

Sepulang dari Australia, Jango kemudian berupaya mewujudkan impiannya untuk membuat sesuatu dari keahliannya membikin kartun. “Saya ingin bagaimana kartun menjadi suvenir Bali yang cerdas,” ucap suami Putu Sefty Virgantini tersebut. Sejak muda Jango memang dikenal sebagai kartunis. Setidaknya belasan tahun dia tercatat sebagai kartunis lepas salah satu media di Pulau Dewata.

Sembari mengajak ke ruang workshop majalah Bogbog, dia mulai menjelaskan penerbitan majalah yang didirikan sejak 2001 tersebut. Sepulang dari Aussie, Jango tidak langsung membuat majalah Bogbog. Dia awalnya memilih berbisnis T-shirt untuk suvenir dengan berisi aneka desain kartun bermuatan kritik sosial serta globalisme Bali.
Melalui T-shirt itu, selain bisnis, ada sisi idealisme yang ingin dicapai Jango. Melalui kartun, dia dan kawan-kawannya ingin mengajak orang Bali serta masyarakat dunia melihat globalisme di Bali. Dia lantas menunjukkan sebuah kartun bertulisan gloBALIsme.

Mantan president of Indonesian Cartoonist Association itu menyatakan, majalah Bogbog awalnya dibuat atas kefrustrasian Jango dan beberapa temannya karena usaha T-shirt-nya gulung tikar lantaran terus melambungnya harga sewa stan di Kuta.

Dari situ, Jango memikirkan bagaimana agar idealismenya tetap bisa diwujudkan hingga akhirnya terpikirlah untuk membuat majalah kartun. Dimulailah penerbitan Bogbog pada 1 April 2001. “Kami sengaja pilih pas April Mop. Karena itu namanya Bogbog,” ucapnya.

Dalam bahasa Bali, bogbog berarti bohong. Menurut Jango, ada banyak filosofi dari kata bogbog. Salah satunya, dalam pandangan dia, selama ini banyak berita dan informasi bohong. Selain itu, nama bogbog sesuai dengan isi majalah. Yakni, hampir 99 persen berisi kartun dengan kisah fiktif.

Sejak awal penerbitan, segmen pasar yang dibidik majalah bulanan itu adalah turis asing. Tak heran, bahasa dalam Bogbog dibuat bilingual, yakni Inggris dan Indonesia. Awalnya, Bogbog dijalankan tiga kartunis. Selain Jango, ada Putu Adi Supardi dan Ceceriberu. Mulanya mereka bekerja tanpa memperoleh gaji. Baru setahun setelah berjalan mereka bisa menikmati hasilnya.

Kantor redaksinya pun awalnya menumpang di rumah Jango. Sekarang majalah tersebut sudah punya kantor mandiri di sebuah ruko dua lantai di Jalan Veteran, Denpasar. Jango mengakui, sebagian pendanaan majalah itu awalnya banyak disuplai sumbangan teman-temannya. Baik sesama kartunis maupun teman Jango di luar komunitas kartun. “Kan waktu itu belum dapat banyak iklan,” ucapnya.

Pada awal penerbitan, beberapa orang meragukan majalah tersebut bisa eksis. Namun, toh akhirnya majalah berdimensi 25 x 20 itu bisa bertahan hampir 10 tahun. “Keyakinan saya bukan pada banyaknya modal untuk menjalankan majalah ini, tapi pada energi positif yang kami punya,” jelasnya. “Perusahaan ini bukan padat modal, tapi padat kreativitas,” sambung bapak tiga anak tersebut.

Tiga edisi perdana majalah itu diterbitkan secara gratis. Sebenarnya Jango dan teman-temannya masih ingin menggratiskan majalah tersebut. Namun, kenyataannya, ketika dibagikan secara gratis, majalah itu malah tidak bisa sampai ke target market-nya. Yakni, wisatawan mancanegara (wisman). Sesampai di tempat distribusi, majalah itu langsung habis diserbu tukang parkir dan pelayan hotel atau restoran tempat majalah tersebut disebar.
Melihat kondisi itu, Jango mengaku senang sekaligus sedih. “Senangnya ya banyak yang tertarik. Tapi, masalahnya, majalah ini kan kami harapkan untuk mendukung pariwisata Bali. Otomatis harapannya yang membaca ya wisatawan,” jelasnya. Untuk harga, majalah tersebut dulu dibanderol Rp 5 ribu. Kini harga terakhir Rp8 ribu.
Untuk mempromosikan majalah itu, Jango punya strategi menarik. Yakni, dia sering meminta teman-temannya yang naik pesawat terbang untuk menaruh majalah tersebut di kursi penumpang.

“Saya minta kepada teman yang akan bepergian ke luar negeri atau daerah untuk meninggalkan majalah ini di kursi penumpang. Hasilnya ternyata efektif. Ada beberapa orang dari luar Bali yang menghubungi untuk berlangganan,” jelasnya. Kini, majalah tersebut beroplah sekitar 10 ribu eksemplar. Awalnya, tiras Bogbog hanya seribu eksemplar.
Dalam perjalanannya, majalah itu mengalami pasang surut. Puncaknya, penurunan oplah terjadi pascabom Bali. Kala itu memang terjadi penurunan jumlah wisatawan besar-besaran di Pulau Dewata. Bukan hanya Bogbog, dalam catatan Jango, setidaknya ada 10 majalah pariwisata terbitan Bali yang gulung tikar. “Syukurlah kami tidak sampai gulung tikar. Saya yakin itu semua berkat energi positif kami,” tegasnya.

Waktu itu, semangat yang diusung awak Bogbog hanyalah bagaimana membuat Bali tetap tersenyum dan bangkit.Pascatragedi kelam tersebut, Bogbog hanya absen dua edisi alias dua bulan tidak terbit. Majalah itu tetap terbit setelah di-support materi oleh beberapa orang yang peduli terhadap seni dan Bali. Kini eksistensi Bogbog pun tetap terjaga. Majalah tersebut telah tersebar ke beberapa daerah di luar Bali. Bahkan, dalam catatan yang ditunjukkan Jango, ada beberapa universitas di Australia, Belanda, serta AS yang menjadi pelanggan tetap Bogbog.
Bahkan melalui brand Bogbog, beberapa orang dan instansi di Bali memberikan kepercayaan kepada Jango. Selain menjalankan usaha penerbitan, Bogbog kini kerap di-hire sebagai event organizer acara tertentu. “Tapi, even yang kami kemas tetap melibatkan kartun,” papar pria kelahiran 21 Desember 1965 tersebut.

Bahkan, Jango kini bisa mengembangkan bisnis T-shirt yang dulu gulung tikar karena tidak kuat menyewa stan. Dia mengaku saat ini belum berpikir untuk mengembangkan Bogbog dengan mengangkat budaya Indonesia secara umum. Sebab, menurut dia, untuk mengangkat budaya daerah lain, diperlukan pemahaman budaya tersebut. “Kalau budaya Bali kan saya memang sudah paham,” tegas pria asli Denpasar itu.

Meski begitu, kadang Jango masih kerap berkonsultasi dengan tokoh adat sebelum mengeluarkan kartun berisi kritik sosial seputar budaya Bali. Kini, Bogbog telah beberapa kali menjadi official magazine festival seni dan konferensi internasional yang diselenggarakan di Bali. Bahkan, pada 2003, majalah itu meraih penghargaan MURI sebagai majalah kartun pertama di Indonesia yang berbahasa Inggris dan berlatar belakang budaya Bali. (c5/kum)

Kadek Jango Pramartha, 10 Tahun Mempromosikan Budaya Bali lewat Majalah Kartun

Sebagai kartunis, Kadek Pramartha ingin total berkiprah. Salah satu karyanya adalah Bogbog. Itu adalah nama majalah kartun yang dia dirikan sejak 10 tahun lalu. Oleh Muri (Museum Rekor Indonesia), Bogbog disebut sebagai majalah kartun pertama yang berbahasa Inggris. Apa yang membuat majalah itu bertahan.

GUNAWAN SUTANTO, Denpasar

Sebuah majalah Bogbog volume 9 terbitan 2010 ditunjukkan Kadek kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang menemuinya di kantornya, sebuah ruko dua lantai di Jalan Veteran, Denpasar, Selasa lalu (22/3).
Dalam edisi tersebut, Bogbog dibuat dengan cover berisi komik setrip dengan cerita seorang bule asal Amerika yang jatuh cinta pada budaya Bali. Si bule itu memutuskan untuk tinggal dan membuka bisnis pariwisata di Pulau Dewata. Si bule yang dalam cerita komik tersebut diberi nama Mr Smith itu kemudian mempekerjakan dua warga Bali untuk membantu usaha pariwisatanya. Keduanya bernama Wayan Kari dan Desak Nyoman.

Dalam perjalanan usahanya, Smith pusing bukan main ketika para karyawannyan sering meminta libur. Mereka izin libur untuk mengikuti berbagai upacara adat di kampung masing-masing. “Nah, seperti itulah karya-karya kami,” ucap Kadek yang lebih akrab disapa Jango itu. Menurut dia, memang begitulah kondisi masyarakat Bali. Meski hidup di tengah globalisasi, sebagian orang masih memegang keteguhan adat.

Melalui Bogbog, Jango ingin mengangkat budaya-budaya Bali melalui bahasa yang universal. “Selain itu, kami ingin mengemas kritik sosial yang bisa dimengerti siapa saja, tapi membuat mereka yang membaca tetap tertawa,” ungkapnya.  Bagi Jango, kartun merupakan bahasa universal yang efektif untuk menyampaikan sebuah pesan.
Hal itu setidaknya dirasakan Jango saat mengenyam pendidikan di Univesity of Western Australia (UWA) pada 1993?1995. Di tengah kuliah tersebut, dia juga diminta menjadi asisten dosen oleh Carol Waren, antropolog yang biasa melakukan penelitian di Bali.

Ketika menjadi asisten dosen, Jango sering diminta memberikan materi kuliah. “Waktu itu bahasa Inggris saya masih parah, sehingga saya sering menggunakan bahasa kartun. Sering ketika saya menjelaskan melalui kartun, mahasiswa di kelas itu malah mengerti dan mereka menikmati dengan tertawa-tawa,” jelas pria 45 tahun tersebut. Dari situ, akhirnya dia yakin keahliannya menggambar selama ini sangat bermanfaat.

Sepulang dari Australia, Jango kemudian berupaya mewujudkan impiannya untuk membuat sesuatu dari keahliannya membikin kartun. “Saya ingin bagaimana kartun menjadi suvenir Bali yang cerdas,” ucap suami Putu Sefty Virgantini tersebut. Sejak muda Jango memang dikenal sebagai kartunis. Setidaknya belasan tahun dia tercatat sebagai kartunis lepas salah satu media di Pulau Dewata.

Sembari mengajak ke ruang workshop majalah Bogbog, dia mulai menjelaskan penerbitan majalah yang didirikan sejak 2001 tersebut. Sepulang dari Aussie, Jango tidak langsung membuat majalah Bogbog. Dia awalnya memilih berbisnis T-shirt untuk suvenir dengan berisi aneka desain kartun bermuatan kritik sosial serta globalisme Bali.
Melalui T-shirt itu, selain bisnis, ada sisi idealisme yang ingin dicapai Jango. Melalui kartun, dia dan kawan-kawannya ingin mengajak orang Bali serta masyarakat dunia melihat globalisme di Bali. Dia lantas menunjukkan sebuah kartun bertulisan gloBALIsme.

Mantan president of Indonesian Cartoonist Association itu menyatakan, majalah Bogbog awalnya dibuat atas kefrustrasian Jango dan beberapa temannya karena usaha T-shirt-nya gulung tikar lantaran terus melambungnya harga sewa stan di Kuta.

Dari situ, Jango memikirkan bagaimana agar idealismenya tetap bisa diwujudkan hingga akhirnya terpikirlah untuk membuat majalah kartun. Dimulailah penerbitan Bogbog pada 1 April 2001. “Kami sengaja pilih pas April Mop. Karena itu namanya Bogbog,” ucapnya.

Dalam bahasa Bali, bogbog berarti bohong. Menurut Jango, ada banyak filosofi dari kata bogbog. Salah satunya, dalam pandangan dia, selama ini banyak berita dan informasi bohong. Selain itu, nama bogbog sesuai dengan isi majalah. Yakni, hampir 99 persen berisi kartun dengan kisah fiktif.

Sejak awal penerbitan, segmen pasar yang dibidik majalah bulanan itu adalah turis asing. Tak heran, bahasa dalam Bogbog dibuat bilingual, yakni Inggris dan Indonesia. Awalnya, Bogbog dijalankan tiga kartunis. Selain Jango, ada Putu Adi Supardi dan Ceceriberu. Mulanya mereka bekerja tanpa memperoleh gaji. Baru setahun setelah berjalan mereka bisa menikmati hasilnya.

Kantor redaksinya pun awalnya menumpang di rumah Jango. Sekarang majalah tersebut sudah punya kantor mandiri di sebuah ruko dua lantai di Jalan Veteran, Denpasar. Jango mengakui, sebagian pendanaan majalah itu awalnya banyak disuplai sumbangan teman-temannya. Baik sesama kartunis maupun teman Jango di luar komunitas kartun. “Kan waktu itu belum dapat banyak iklan,” ucapnya.

Pada awal penerbitan, beberapa orang meragukan majalah tersebut bisa eksis. Namun, toh akhirnya majalah berdimensi 25 x 20 itu bisa bertahan hampir 10 tahun. “Keyakinan saya bukan pada banyaknya modal untuk menjalankan majalah ini, tapi pada energi positif yang kami punya,” jelasnya. “Perusahaan ini bukan padat modal, tapi padat kreativitas,” sambung bapak tiga anak tersebut.

Tiga edisi perdana majalah itu diterbitkan secara gratis. Sebenarnya Jango dan teman-temannya masih ingin menggratiskan majalah tersebut. Namun, kenyataannya, ketika dibagikan secara gratis, majalah itu malah tidak bisa sampai ke target market-nya. Yakni, wisatawan mancanegara (wisman). Sesampai di tempat distribusi, majalah itu langsung habis diserbu tukang parkir dan pelayan hotel atau restoran tempat majalah tersebut disebar.
Melihat kondisi itu, Jango mengaku senang sekaligus sedih. “Senangnya ya banyak yang tertarik. Tapi, masalahnya, majalah ini kan kami harapkan untuk mendukung pariwisata Bali. Otomatis harapannya yang membaca ya wisatawan,” jelasnya. Untuk harga, majalah tersebut dulu dibanderol Rp 5 ribu. Kini harga terakhir Rp8 ribu.
Untuk mempromosikan majalah itu, Jango punya strategi menarik. Yakni, dia sering meminta teman-temannya yang naik pesawat terbang untuk menaruh majalah tersebut di kursi penumpang.

“Saya minta kepada teman yang akan bepergian ke luar negeri atau daerah untuk meninggalkan majalah ini di kursi penumpang. Hasilnya ternyata efektif. Ada beberapa orang dari luar Bali yang menghubungi untuk berlangganan,” jelasnya. Kini, majalah tersebut beroplah sekitar 10 ribu eksemplar. Awalnya, tiras Bogbog hanya seribu eksemplar.
Dalam perjalanannya, majalah itu mengalami pasang surut. Puncaknya, penurunan oplah terjadi pascabom Bali. Kala itu memang terjadi penurunan jumlah wisatawan besar-besaran di Pulau Dewata. Bukan hanya Bogbog, dalam catatan Jango, setidaknya ada 10 majalah pariwisata terbitan Bali yang gulung tikar. “Syukurlah kami tidak sampai gulung tikar. Saya yakin itu semua berkat energi positif kami,” tegasnya.

Waktu itu, semangat yang diusung awak Bogbog hanyalah bagaimana membuat Bali tetap tersenyum dan bangkit.Pascatragedi kelam tersebut, Bogbog hanya absen dua edisi alias dua bulan tidak terbit. Majalah itu tetap terbit setelah di-support materi oleh beberapa orang yang peduli terhadap seni dan Bali. Kini eksistensi Bogbog pun tetap terjaga. Majalah tersebut telah tersebar ke beberapa daerah di luar Bali. Bahkan, dalam catatan yang ditunjukkan Jango, ada beberapa universitas di Australia, Belanda, serta AS yang menjadi pelanggan tetap Bogbog.
Bahkan melalui brand Bogbog, beberapa orang dan instansi di Bali memberikan kepercayaan kepada Jango. Selain menjalankan usaha penerbitan, Bogbog kini kerap di-hire sebagai event organizer acara tertentu. “Tapi, even yang kami kemas tetap melibatkan kartun,” papar pria kelahiran 21 Desember 1965 tersebut.

Bahkan, Jango kini bisa mengembangkan bisnis T-shirt yang dulu gulung tikar karena tidak kuat menyewa stan. Dia mengaku saat ini belum berpikir untuk mengembangkan Bogbog dengan mengangkat budaya Indonesia secara umum. Sebab, menurut dia, untuk mengangkat budaya daerah lain, diperlukan pemahaman budaya tersebut. “Kalau budaya Bali kan saya memang sudah paham,” tegas pria asli Denpasar itu.

Meski begitu, kadang Jango masih kerap berkonsultasi dengan tokoh adat sebelum mengeluarkan kartun berisi kritik sosial seputar budaya Bali. Kini, Bogbog telah beberapa kali menjadi official magazine festival seni dan konferensi internasional yang diselenggarakan di Bali. Bahkan, pada 2003, majalah itu meraih penghargaan MURI sebagai majalah kartun pertama di Indonesia yang berbahasa Inggris dan berlatar belakang budaya Bali. (c5/kum)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/