30.5 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Keluar dari Pakem karena Dibahas dengan DPR, Perppu Pemilu Jadi Preseden Buruk

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu menuai kritik. Pasalnya, model penyusunan perppu yang dibahas bersama dinilai keluar dari pakem penyusunan. Termasuk melebarnya norma-norma yang dibahas.

Kritik itu disampaikan anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. Titi menilai Perppu Pemilu sebagai anomali. Secara teori, perppu adalah jalan keluar dari kebuntuan atau kekosongan hukum yang darurat, sehingga presiden mengeluarkan keputusan hukum.

“Kok ini dibahas bersama antara pembentuk undang-undang pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR dengan melibatkan para pihak KPU,” ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (16/11). Seharusnya, lanjut Titi, perppu cukup diterbitkan sebagai hak prerogatif presiden. Kemudian, norma yang diatur sebatas pada kebutuhan saja.

Perempuan kelahiran Palembang itu menuturkan, konsep penyusunan regulasi melalui perppu namun dikonsinyasi sangat tidak lazim. “Ini preseden buruk jika kita ingin bicara pemilu sebagai tertib hukum,” ucapnya.

Di sisi lain, dengan desain penyusunan regulasi seperti itu, masyarakat sipil menjadi pihak yang tidak mendapat ruang untuk menyampaikan masukan. “Kalau masih sempat membahas bersama, kenapa tidak revisi Undang-Undang Pemilu saja,” imbuhnya.

Di luar pengaturan daerah otonomi baru (DOB), Titi menilai tidak ada kegentingan untuk mengatur norma lain. Termasuk penyerentakan rekrutmen KPU di daerah. Baginya, jika ingin diserentakkan, hal itu bisa dilakukan setelah tahapan pemilu dan pilkada selesai. “Caranya dengan memperpanjang masa jabatan sampai selesai seluruh tahapan pemilu, pilkada. Paling lama akhir 2025,” katanya. Setelah itu, baru dilakukan rekrutmen serentak untuk mempersiapkan 2029.

Desain tersebut dinilai lebih ideal. Selain hemat anggaran karena tak perlu memberi kompensasi pemberhentian lebih cepat, rekrutmen di luar tahapan tidak akan memecah konsentrasi.

Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti juga menilai perppu sudah keluar batas. Khususnya terkait norma nomor urut peserta pemilu. ’’Tidak ada kedaruratan dalam hal nomor urut itu,’’ terangnya.

Dia mengingatkan, sifat dasar penerbitan perppu adalah darurat. Jadi, tidak bisa mengatur aturan sesukanya dalam perppu. ’’Bukan materinya yang saya tidak setuju, tapi tidak ada dasar yang kuat,’’ jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia mengatakan, konsinyasi pembahasan perppu adalah inisiatif DPR. Dia beralasan bahwa Perppu Pemilu sangat krusial dan strategis. Jadi, sudah disepakati sebelum diajukan pemerintah. “Khawatir timbul masalah. Karena itu, kami bersama pemerintah mengambil inisiatif sebelum pemerintah mengajukan secara resmi,” tuturnya. Terlebih, tahapan pemilu bersifat statis dan pasti waktunya. (far/c18/bay/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu menuai kritik. Pasalnya, model penyusunan perppu yang dibahas bersama dinilai keluar dari pakem penyusunan. Termasuk melebarnya norma-norma yang dibahas.

Kritik itu disampaikan anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. Titi menilai Perppu Pemilu sebagai anomali. Secara teori, perppu adalah jalan keluar dari kebuntuan atau kekosongan hukum yang darurat, sehingga presiden mengeluarkan keputusan hukum.

“Kok ini dibahas bersama antara pembentuk undang-undang pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR dengan melibatkan para pihak KPU,” ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (16/11). Seharusnya, lanjut Titi, perppu cukup diterbitkan sebagai hak prerogatif presiden. Kemudian, norma yang diatur sebatas pada kebutuhan saja.

Perempuan kelahiran Palembang itu menuturkan, konsep penyusunan regulasi melalui perppu namun dikonsinyasi sangat tidak lazim. “Ini preseden buruk jika kita ingin bicara pemilu sebagai tertib hukum,” ucapnya.

Di sisi lain, dengan desain penyusunan regulasi seperti itu, masyarakat sipil menjadi pihak yang tidak mendapat ruang untuk menyampaikan masukan. “Kalau masih sempat membahas bersama, kenapa tidak revisi Undang-Undang Pemilu saja,” imbuhnya.

Di luar pengaturan daerah otonomi baru (DOB), Titi menilai tidak ada kegentingan untuk mengatur norma lain. Termasuk penyerentakan rekrutmen KPU di daerah. Baginya, jika ingin diserentakkan, hal itu bisa dilakukan setelah tahapan pemilu dan pilkada selesai. “Caranya dengan memperpanjang masa jabatan sampai selesai seluruh tahapan pemilu, pilkada. Paling lama akhir 2025,” katanya. Setelah itu, baru dilakukan rekrutmen serentak untuk mempersiapkan 2029.

Desain tersebut dinilai lebih ideal. Selain hemat anggaran karena tak perlu memberi kompensasi pemberhentian lebih cepat, rekrutmen di luar tahapan tidak akan memecah konsentrasi.

Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti juga menilai perppu sudah keluar batas. Khususnya terkait norma nomor urut peserta pemilu. ’’Tidak ada kedaruratan dalam hal nomor urut itu,’’ terangnya.

Dia mengingatkan, sifat dasar penerbitan perppu adalah darurat. Jadi, tidak bisa mengatur aturan sesukanya dalam perppu. ’’Bukan materinya yang saya tidak setuju, tapi tidak ada dasar yang kuat,’’ jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia mengatakan, konsinyasi pembahasan perppu adalah inisiatif DPR. Dia beralasan bahwa Perppu Pemilu sangat krusial dan strategis. Jadi, sudah disepakati sebelum diajukan pemerintah. “Khawatir timbul masalah. Karena itu, kami bersama pemerintah mengambil inisiatif sebelum pemerintah mengajukan secara resmi,” tuturnya. Terlebih, tahapan pemilu bersifat statis dan pasti waktunya. (far/c18/bay/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/