MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumut Edy Rahmayadi telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) Sumut 2023 sebesar Rp2.710.493,93 atau naik 7,45 persen dibanding UMP 2022, Rp2.522.609,94. Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut belum memutuskan, apakah menerima atau menolak penetapan besaran UMP 2023 tersebut. Pasalnya, Apindo menolak dasar penentuan UMP tahun 2023 tersebut.
Sekretaris Eksekutif Apindo Sumut Bambang Hermanto, mengaku belum bisa mengomentari dan memberikan keterangan terkait penetapan UMP Sumut 2023 tersebut. “Apindo Sumut masih merapatkan di internal dulu. Jadi, belum bisa menyampaikan sikap Apindo dululah. Karena ini menjadi bahasan kita,” kata Bambang kepada wartawan, Selasa (29/11).
Menurut Bambang, pihaknya sudah memberikan saran dan rekomendasi kepada Ketua Dewan Pengupahan Sumut, Baharuddin Siagian saat rapat terkait besaran kenaikan UMP Sumut tahun 2023, beberapa waktu lalu. Saat itu, kata Bambang, Apindo meminta kepada Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu) untuk menetapkan UMP tahun 2023 merujuk dan mengacu pada Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. “Kita memberikan masukan, untuk penetapan UMP tahun 2023 tetap mengacu pada PP 36/2021 yakni dengan menetapkan UMP sebesar Rp2.619.354,46,” ungkap Bambang.
Dijelaskan Bambang, alasan mengapa penetapan UMP 2023 tetap mengacu pada PP 36/2021, yakni uji materi yang dilakukan Apindo Pusat ke Mahkamah Konsitusi (MK) terkait Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang menetapkan kenaikan upah minimum 2023 maksimal sebesar 10 persen. “DPN Apindo sedang mengajukan uji materi ke MK terkait Permenaker 18 tahun 2023,” katanya.
Bambang mengaku heran atas kebijakan pemerintah. Pasalnya, sudah ada PP 36/2021 untuk mengatur formulasi dalam menetapkan upah. Tapi kenapa pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Permenaker 18/2023. “DPN Apindo mempermasalahkan Permenaker itu. Kalau soal upah, sudah ada aturannya PP 36 Tahun 2021. Itu peraturan pemerintah, tapi tiba-tiba Menaker mengeluarkan Permenaker, secara hirarki ini bagaimana? Itu PP 36 peraturan pemerintah,” tegasnya lagi.
Pengusaha Ajukan Uji Materi
Sementara itu, pengusaha telah merealisasikan rencananya untuk melakukan uji materi atas Permenaker 18/2022 ke Mahkamah Agung (MA). Sepuluh asosiasi pengusaha yang terdiri dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Himpunan Penyewa dan Peritel Indonesia (Hippindo), Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjuk kantor hukum milik Denny Indrayana untuk mewakili mereka di proses hukum tersebut.
Permohonan uji materi ini telah didaftarkan pada Senin (28/11), bersamaan dengan batas waktu penetapan UMP oleh para gubernur. Dalam permohonan setebal 42 halaman tersebut, pengusaha turut menyertakan 82 alat bukti. “Permohonan keberatan tersebut telah dibayarkan biaya perkaranya, dan tinggal menunggu proses administrasi di MA, sebelum disidangkan,” ujar Denny dalam keterangan resminya.
Lebih lanjut, Denny memaparkan sejumlah dalil-dalil uji materiil dan formil mengapa Permenaker 18/2022 harus dibatalkan oleh MA. Salah satunya, Permenaker 18/2022 ini dinilai melanggar setidaknya enam peraturan perundangan. Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) 36/2021 tentang Pengupahan, Undang-Undang (UU) 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana terakhir kali diubah dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir kali diubah dengan UU 13/2022.
Denny menegaskan, Permenaker 18/2022 telah menambah dan mengubah norma yang ada di PP 36/2021, yang jelas mengatur soal upah minimum. Artinya, Permenaker tersebut secara nyata bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi
Selain itu, lanjut dia, menteri ketenagakerjaan sejatinya tidak berwenang mengambil alih otoritas presiden untuk mengatur upah minimum yang sudah didelegasikan pengaturannya ke dalam PP 36/2021. Apalagi, pengubahan kebijakan melalui Permenaker 18/2022 ini dilakukan mendadak tanpa melibatkan stakeholder terkait, termasuk pembahasan dengan Dewan Pengupahan Nasional (depenas) dan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional. “Kesemuanya menyebabkan dilanggarnya prinsip kepastian hukum, sekaligus menghadirkan ketidakpastian yang memperburuk iklim investasi nasional,” paparnya.
Karenanya, para pengusaha ini meminta MA untuk menunda pelaksanaan Permenaker 18/2022 untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Mereka juga memohon agar segera memutuskan pengujian tersebut yang dinilai sangat penting bagi kelangsungan usaha di Indonesia.
Menurut Denny, pengajuan pembatalan Permenaker 18/2022 merupakan ikhtiar para asosiasi pengusaha untuk menegakkan prinsip keadilan dalam berinvestasi. Termasuk, dalam penentuan upah minimum yang harus menyeimbangkan kepentingan semua pihak, tidak terkecuali di antara pengusaha dan tenaga kerja. Sehingga, dapat tercipta kemitraan yang saling menghormati dan menguntungkan semua pemangku kepentingan.
UMP Sumbar Tertinggi
Para gubernur telah menetapkan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2023-nya. Di tengah ramainya penetapan tersebut, asosiasi pengusaha justru melancarkan aksinya untuk mengajukan uji materi atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 18/2022.
Adapun 33 provinsi sudah melaporkan besaran UMP 2023-nya. Yaitu, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Jogjakarta, Jawa Tengah, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Tersisa Papua Barat yang masih belum melaporkan besaran UMP 2023-nya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, dari 33 provinsi tersebut, UMP Sumbar mengalami kenaikan tertinggi yang mencapai 9,15 persen. Yakni, dari Rp 2.512.539 di tahun 2022 menjadi Rp 2.742.476 di tahun depan. Sedangkan, kenaikan terendah terjadi pada UMP Maluku Utara sebesar 4 persen, di mana UMP 2022 sebesar Rp 2.862.231 naik menjadi Rp 2.976.720 di 2023.
Seluruh penetapan UMP 2023 tersebut dilakukan sesuai Permenaker 18/2022. Penetapan ini, kata dia, merupakan bentuk dukungan semua pihak dalam menjaga daya beli masyarakat pekerja/buruh serta mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. “Kami mengucapkan apresiasi dan terima kasih setinggi-tingginya atas penetapan UMP tahun 2023 yang berjalan dengan kondusif,” ujarnya, kemarin (29/11).
Ia pun mengajak semua pihak untuk menaati dan mengimplementasikan keputusan gubernur terkait UMP tahun 2023 ini. Dia menekankan, bahwa formula yang diatur dalam Permenaker 18/2022 merupakan jalan tengah bagi pekerja/buruh maupun pengusaha. Hal ini pun terbukti dari rata-rata kenaikan UMP mencapai 7,5 persen di rentang Alpha 0,20 (tengah-tengah). “Karena selain daya beli, pada formula tersebut juga terkandung kontribusi ketenagakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
7 Desember, Giliran UMK Ditetapkan
Sementara, setelah UMK 2023 ditetapkan Gubsu Edy Rahmayadi, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sumut langsung menyampaikan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumut terkait UMP 2023 kepada pemerintah kabupaten/kota di Sumut. Pasalnya, SK UMP Sumut 2023 inilah yang akan dijadikan pedoman bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di masing-masing daerah.
“Iya, hari ini juga kita sampaikan ke Pemkab/Pemko di Sumut,” kata Kadisnaker Sumut, Baharuddin Siagian kepada Sumut Pos di sela acara Road to Hari Anti Korupsi Sedunia (Harkodia) 2022, di GOR Pemprov Sumut di Jalan William Iskandar/Jalan Pancing, Kabupaten Deliserdang, Sumut, Selasa (29/11) siang.
Tentunya dalam menetapkan UMK ini, kata Baharuddin, pemkab dan pemko harus merujuk dengan melihat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Sehingga dapat disimpulkan, berapa persentase kenaikan UMK tersebut. “Hasilnya paling lama diumumkan pada 7 Desember 2022 mendatang,” sebut Baharuddin.(gus/mia/jpg/adz)