26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

MK Tak Berwenang Lakukan Uji Perppu Ciptaker Sebelum Disahkan, Bola Panas di Tangan DPR

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh masyarakat sipil, Kamis (5/1). Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, MK tidak berwenang menguji Perppu Ciptaker, sebelum disahkan DPR.

MENURUT Yusril, konstitusi memberikan kewenangan kepada DPR untuk menerima atau menolak Perppu untuk disahkan menjadi undang-undang. “Apakah MK berwenang menguji Perppu? Saya berpendapat, MK sebenarnya tidak berwenang menguji Perppu sebelum Perppu itu disahkan menjadi UU. Karena UUD 1945 memberikan kewenangan kepada DPR untuk lebih dulu membahasnya dan kemudian memutuskan, apakah akan menerima atau menolak Perppu tersebut untuk disahkan menjadi UU,” kata Yusril dalam keterangannya, Jumat (6/1).

Menurut Yusril, MK bertindak prematur jika menguji Perppu sebelum adanya pengesahan DPR. Bahkan, potensi sengketa kewenangan antara MK dan DPR bakal terjadi jika MK lebih dulu menyatakan sebuah Perppu bertentangan dengan UUD 1945, sementara DPR sedang membahas Perppu tersebut. “Sikap MK tersebut potensial menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dengan DPR. Hal semacam itu harus dijauhi MK. Karena jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dengan MK, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD,” ucap Yusril.

Yusril juga mengungkapkan, salah satu syarat menjadi hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi. Karena itu, sudah semestinya para hakim MK menahan diri untuk menguji Perppu. “Sebagaimana selama ini telah dilakukan MK, walau belum ada satupun yang berhasil diputus karena lebih dulu disahkan oleh DPR menjadi UU,” papar Yusril.

Kans Sangat Kecil

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut, langkah hukum yang bisa dilakukan masyarakat untuk melawan Perppu Cipta Kerja adalah dengan menggugat ke MK. Refly menilai, kans atau persentase MK untuk menolak Perppu ataupun UU Ciptaker -bila sudah disahkan oleh DPR-sangat kecil. Ia menilai, politik istana sudah menguasai baik lembaga DPR maupun MK, sehingga ia menilai, gugatan itu juga terasa akan percuma. “Secara politik besar kemungkinan Perppu ini akan lolos. Tetapi secara hukum dan secara konstitusi ini tidak benar,” katanya.

Refly pun menyinggung soal polemik pemecatan Aswanto dari posisi hakim konstitusi oleh DPR yang menurutnya cukup melemahkan MK. Aswanto diberhentikan dengan alasan karena kerap membatalkan undang-undang yang telah disahkan DPR. Presiden Jokowi kemudian melantik Guntur Hamzah untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Aswanto.

Refly lantas mewanti-wanti MK agar nantinya mengabulkan gugatan uji materi atau judicial review Perppu yang baru diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (30/12) lalu itu.

Sejumlah pihak salah satunya KSPI sebelumnya berencana menggugat Perppu tersebut ke MK. Perppu ini memicu kontroversi lantaran menjadi jawaban pemerintah atas MK yang sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. “Bagaimana kalau MK tidak membatalkan Perppu atau UU? Ya itulah tragedi demokrasi. Dia melempar kotoran di mukanya sendiri, karena jelas-jelas Perppu itu melanggar putusan mereka. Kok mereka malah diam saja atau membenarkan itu,” ujarnya.

Refly melanjutkan bola panas Perppu Ciptaker saat ini berada di tangan DPR. Ia menilai, sudah seharusnya DPR menolak Perppu tersebut dan tidak malah mengesahkannya sebagai UU.

Refly menyebut, alasan DPR harus menolak Perppu tersebut. Pertama, ia menilai tidak ada kondisi kegentingan untuk Presiden menerbitkan Perppu Ciptaker. Kedua, Perppu tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah diminta memperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun hingga 25 November 2023 dengan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.

Selain bertentangan dengan putusan MK nomor: 91/PUU-XVIII/2020, penerbitan Perppu Cipta Kerja juga mengingkari hal-ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan putusan MK nomor: 138/PUU-VII/2009. “Terlihat pemerintah dalam hal ini presiden hanya untuk meng-entertain kelompok kepentingan terutama pengusaha. Karena untuk rakyat banyak, sesungguhnya tidak ada kepentingan apa-apa,” ujar Refly. Refly menyebut publik kemungkinan akan memaklumi apabila Jokowi menerbitkan Perppu dalam beberapa materi saja yang dibuktikan dengan alasan kegentingan, bukan malah menerbitkan Perppu untuk omnibus law. Ia pun menilai Perppu Jokowi sarat kepentingan politik dan kelompok tertentu, untuk bukan masyarakat.

Dengan kondisi pemerintahan seperti saat ini, di mana 80 persen parlemen merupakan koalisi pemerintah, ia pun sangsi DPR akan melakukan penolakan terhadap Perppu tersebut. “DPR tidak akan berani mereka berhadapan dengan Jokowi, karena Perppu ini kan Perppu oligarki, banyak cukongnya,” ujar Refly.

Tak Libatkan Ketua MK

Diketahui, Perppu Ciptaker telah digugat masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, dosen sampai advokat ke MK. Gugatan judicial review (JR) itu dibawa ke MK pada Kamis (5/1) kemarin. Kuasa Hukum Pemohon Uji Formil Perppu Ciptaker, Viktor Santoso Tandiasa mendesak MK agar segera menggelar sidang. Viktor menjelaskan, Perppu memiliki jangka waktu yang sangat terbatas untuk menjadi objek yang bisa diperiksa. “Percepatan sidang Perppu ini menjadi urgen karena mengingat Perppu memiliki jangka waktu yang sangat terbatas untuk menjadi objek yang bisa diperiksa, diadili dan diputus,” kata Viktor dalam keterangan tertulis, Jumat (6/1).

“Karena pada masa sidang berikutnya Perppu akan dibawa ke DPR untuk ditentukan disetujui menjadi UU atau tidak,” imbuhnya. Pihaknya juga meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tak dilibatkan. Usman merupakan adik ipar Presiden Jokowi. Viktor khawatir pelibatan Usman berpotensi konflik kepentingan (conflict of interest). “Kami meminta agar dalam penanganan Perppu ini, Ketua MK tidak ikut mengadili karena Perppu adalah hak prerogatif pemerintah dengan kepala pemerintahan adalah presiden, sementara Ketua MK adalah Ipar dari Presiden,” ucapnya.

“Maka Ketua MK sudah seharusnya tidak ikut mengadili Perppu ini karena akan menimbulkan conflict of interest karena hubungan semenda tersebut,” imbuhnya.

Viktor menilai terbitnya Perppu tersebut adalah bentuk pembangkangan konstitusi dan pelecehan kepada MK. Sebab, pemerintah tidak mematuhi Putusan yang sudah dikeluarkan oleh MK. Dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 Mahkamah telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja harus diperbaiki prosedur pembentukannya dengan lebih memaksimalkan partisipasi publik. “Padahal MK adalah Lembaga yang dibentuk dan diberikan kewenangan untuk membatasi kekuasaan oleh konstitusi,” ujarnya.

Viktor menyebut presiden malah mengeluarkan Perppu yang sangat tertutup proses pembentukannya, bukan memperbaiki. Perppu tersebut akan disetujui DPR menjadi Undang-Undang yang menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. “Artinya Presiden sama sekali tidak memperhatikan amanat MK dan tidak mematuhinya, malah mengakali putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Ini kan melecehkan/merendahkan Mahkamah Konstitusi,” ucap dia.

Sarjana Tukang Stempel

Terpisah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyindir sarjana tukang stempel di balik pembuatan Perppu Ciptaker yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Jimly mengatakan, UU Cipta Kerja seharusnya direvisi melalui undang-undang baru sesuai putusan MK. Menurutnya, pemerintah menyalahi aturan jika menjalankan putusan MK dengan membuat Perppu.

“Perppu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel. Peran MK dan DPR diabaikan,” kata Jimly melalui keterangan tertulis, Jumat (6/1).

Jimly menilai, pembuatan Perppu Ciptaker bukan contoh aturan hukum yang baik. Dia menyebut tindakan pemerintah ini sebagai “contoh rule by law yang kasar dan sombong”. Dia mengatakan, pemerintah sebenarnya masih punya cukup waktu untuk menuntaskan putusan MK melalui revisi undang-undang. Masih ada waktu tujuh bulan sebelum UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional.

“Susun saja undang-undang baru dalam waktu tujuh bulan sekaligus memperbaiki substansi materi pasal-pasal dan ayat-ayat yang dipersoalkan di tengah masyarakat dengan sekaligus membuka ruang partisipasi publik,” ujarnya. (jpc/cnni/adz)

Jimly berpendapat pelanggaran yang dilakukan pemerintah ini bisa saja berujung pemakzulan Jokowi jika ada konsolidasi DPR dan DPD. Menurutnya, Jokowi sudah beberapa kali melanggar konstitusi.

“Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment,” pungkas Jimly. (jpc/cnni/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh masyarakat sipil, Kamis (5/1). Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, MK tidak berwenang menguji Perppu Ciptaker, sebelum disahkan DPR.

MENURUT Yusril, konstitusi memberikan kewenangan kepada DPR untuk menerima atau menolak Perppu untuk disahkan menjadi undang-undang. “Apakah MK berwenang menguji Perppu? Saya berpendapat, MK sebenarnya tidak berwenang menguji Perppu sebelum Perppu itu disahkan menjadi UU. Karena UUD 1945 memberikan kewenangan kepada DPR untuk lebih dulu membahasnya dan kemudian memutuskan, apakah akan menerima atau menolak Perppu tersebut untuk disahkan menjadi UU,” kata Yusril dalam keterangannya, Jumat (6/1).

Menurut Yusril, MK bertindak prematur jika menguji Perppu sebelum adanya pengesahan DPR. Bahkan, potensi sengketa kewenangan antara MK dan DPR bakal terjadi jika MK lebih dulu menyatakan sebuah Perppu bertentangan dengan UUD 1945, sementara DPR sedang membahas Perppu tersebut. “Sikap MK tersebut potensial menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dengan DPR. Hal semacam itu harus dijauhi MK. Karena jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dengan MK, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD,” ucap Yusril.

Yusril juga mengungkapkan, salah satu syarat menjadi hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi. Karena itu, sudah semestinya para hakim MK menahan diri untuk menguji Perppu. “Sebagaimana selama ini telah dilakukan MK, walau belum ada satupun yang berhasil diputus karena lebih dulu disahkan oleh DPR menjadi UU,” papar Yusril.

Kans Sangat Kecil

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut, langkah hukum yang bisa dilakukan masyarakat untuk melawan Perppu Cipta Kerja adalah dengan menggugat ke MK. Refly menilai, kans atau persentase MK untuk menolak Perppu ataupun UU Ciptaker -bila sudah disahkan oleh DPR-sangat kecil. Ia menilai, politik istana sudah menguasai baik lembaga DPR maupun MK, sehingga ia menilai, gugatan itu juga terasa akan percuma. “Secara politik besar kemungkinan Perppu ini akan lolos. Tetapi secara hukum dan secara konstitusi ini tidak benar,” katanya.

Refly pun menyinggung soal polemik pemecatan Aswanto dari posisi hakim konstitusi oleh DPR yang menurutnya cukup melemahkan MK. Aswanto diberhentikan dengan alasan karena kerap membatalkan undang-undang yang telah disahkan DPR. Presiden Jokowi kemudian melantik Guntur Hamzah untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Aswanto.

Refly lantas mewanti-wanti MK agar nantinya mengabulkan gugatan uji materi atau judicial review Perppu yang baru diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (30/12) lalu itu.

Sejumlah pihak salah satunya KSPI sebelumnya berencana menggugat Perppu tersebut ke MK. Perppu ini memicu kontroversi lantaran menjadi jawaban pemerintah atas MK yang sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. “Bagaimana kalau MK tidak membatalkan Perppu atau UU? Ya itulah tragedi demokrasi. Dia melempar kotoran di mukanya sendiri, karena jelas-jelas Perppu itu melanggar putusan mereka. Kok mereka malah diam saja atau membenarkan itu,” ujarnya.

Refly melanjutkan bola panas Perppu Ciptaker saat ini berada di tangan DPR. Ia menilai, sudah seharusnya DPR menolak Perppu tersebut dan tidak malah mengesahkannya sebagai UU.

Refly menyebut, alasan DPR harus menolak Perppu tersebut. Pertama, ia menilai tidak ada kondisi kegentingan untuk Presiden menerbitkan Perppu Ciptaker. Kedua, Perppu tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah diminta memperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun hingga 25 November 2023 dengan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.

Selain bertentangan dengan putusan MK nomor: 91/PUU-XVIII/2020, penerbitan Perppu Cipta Kerja juga mengingkari hal-ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan putusan MK nomor: 138/PUU-VII/2009. “Terlihat pemerintah dalam hal ini presiden hanya untuk meng-entertain kelompok kepentingan terutama pengusaha. Karena untuk rakyat banyak, sesungguhnya tidak ada kepentingan apa-apa,” ujar Refly. Refly menyebut publik kemungkinan akan memaklumi apabila Jokowi menerbitkan Perppu dalam beberapa materi saja yang dibuktikan dengan alasan kegentingan, bukan malah menerbitkan Perppu untuk omnibus law. Ia pun menilai Perppu Jokowi sarat kepentingan politik dan kelompok tertentu, untuk bukan masyarakat.

Dengan kondisi pemerintahan seperti saat ini, di mana 80 persen parlemen merupakan koalisi pemerintah, ia pun sangsi DPR akan melakukan penolakan terhadap Perppu tersebut. “DPR tidak akan berani mereka berhadapan dengan Jokowi, karena Perppu ini kan Perppu oligarki, banyak cukongnya,” ujar Refly.

Tak Libatkan Ketua MK

Diketahui, Perppu Ciptaker telah digugat masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, dosen sampai advokat ke MK. Gugatan judicial review (JR) itu dibawa ke MK pada Kamis (5/1) kemarin. Kuasa Hukum Pemohon Uji Formil Perppu Ciptaker, Viktor Santoso Tandiasa mendesak MK agar segera menggelar sidang. Viktor menjelaskan, Perppu memiliki jangka waktu yang sangat terbatas untuk menjadi objek yang bisa diperiksa. “Percepatan sidang Perppu ini menjadi urgen karena mengingat Perppu memiliki jangka waktu yang sangat terbatas untuk menjadi objek yang bisa diperiksa, diadili dan diputus,” kata Viktor dalam keterangan tertulis, Jumat (6/1).

“Karena pada masa sidang berikutnya Perppu akan dibawa ke DPR untuk ditentukan disetujui menjadi UU atau tidak,” imbuhnya. Pihaknya juga meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tak dilibatkan. Usman merupakan adik ipar Presiden Jokowi. Viktor khawatir pelibatan Usman berpotensi konflik kepentingan (conflict of interest). “Kami meminta agar dalam penanganan Perppu ini, Ketua MK tidak ikut mengadili karena Perppu adalah hak prerogatif pemerintah dengan kepala pemerintahan adalah presiden, sementara Ketua MK adalah Ipar dari Presiden,” ucapnya.

“Maka Ketua MK sudah seharusnya tidak ikut mengadili Perppu ini karena akan menimbulkan conflict of interest karena hubungan semenda tersebut,” imbuhnya.

Viktor menilai terbitnya Perppu tersebut adalah bentuk pembangkangan konstitusi dan pelecehan kepada MK. Sebab, pemerintah tidak mematuhi Putusan yang sudah dikeluarkan oleh MK. Dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 Mahkamah telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja harus diperbaiki prosedur pembentukannya dengan lebih memaksimalkan partisipasi publik. “Padahal MK adalah Lembaga yang dibentuk dan diberikan kewenangan untuk membatasi kekuasaan oleh konstitusi,” ujarnya.

Viktor menyebut presiden malah mengeluarkan Perppu yang sangat tertutup proses pembentukannya, bukan memperbaiki. Perppu tersebut akan disetujui DPR menjadi Undang-Undang yang menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. “Artinya Presiden sama sekali tidak memperhatikan amanat MK dan tidak mematuhinya, malah mengakali putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Ini kan melecehkan/merendahkan Mahkamah Konstitusi,” ucap dia.

Sarjana Tukang Stempel

Terpisah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyindir sarjana tukang stempel di balik pembuatan Perppu Ciptaker yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Jimly mengatakan, UU Cipta Kerja seharusnya direvisi melalui undang-undang baru sesuai putusan MK. Menurutnya, pemerintah menyalahi aturan jika menjalankan putusan MK dengan membuat Perppu.

“Perppu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel. Peran MK dan DPR diabaikan,” kata Jimly melalui keterangan tertulis, Jumat (6/1).

Jimly menilai, pembuatan Perppu Ciptaker bukan contoh aturan hukum yang baik. Dia menyebut tindakan pemerintah ini sebagai “contoh rule by law yang kasar dan sombong”. Dia mengatakan, pemerintah sebenarnya masih punya cukup waktu untuk menuntaskan putusan MK melalui revisi undang-undang. Masih ada waktu tujuh bulan sebelum UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional.

“Susun saja undang-undang baru dalam waktu tujuh bulan sekaligus memperbaiki substansi materi pasal-pasal dan ayat-ayat yang dipersoalkan di tengah masyarakat dengan sekaligus membuka ruang partisipasi publik,” ujarnya. (jpc/cnni/adz)

Jimly berpendapat pelanggaran yang dilakukan pemerintah ini bisa saja berujung pemakzulan Jokowi jika ada konsolidasi DPR dan DPD. Menurutnya, Jokowi sudah beberapa kali melanggar konstitusi.

“Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment,” pungkas Jimly. (jpc/cnni/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/