26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Mahupiki dan FH USU Gelar Acara Sosialisasi KUHP di Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatera Utara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) menyelenggarakan Sosialisasi KUHP Nasional di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa, Sumatera Utara, Senin (9/1).

Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi mengatakan KUHP baru ini merupakan produk hukum dan karya anak bangsa. Meskipun sudah disahkan, namun KUHP yang baru ini masih menuai pro dan kontra terkait pasal-pasal yang dinilai mengekang HAM.

“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”, katanya.

Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar mengatakan sudah lama bangsa ingin memiliki KUHP buatan sendiri. Masyarakat kita mendambakan dasar atau konsep hukum nasional yang sesuai perkembangan bukan lagi warisan kolonial Belanda.

“Wacana KUHP nasional sudah ada sejak tahun 1992, semasa saya kuliah. Tentu akan banyak perbedaan dengan KUHP yang sebelumnya, tetapi yang pasti hal itu akan mendasari lahirnya semangat persatuan dan lebih maju serta tetap menjunjung tinggi keberagaman”, ucapnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiono mengatakan beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku; denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.

“Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat”, ujar Pujiyono.

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa penolakan atau pro dan kontra sebuah produk hukum adalah hal yang wajar dan biasa.

“Meskipun baru disahkan tetapi sudah dianggap pro dan kontra bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu,” ucapnya.

Perubahan yang paling mendasar sebenarnya terletak pada buku pertama karena dimulai dengan perubahan paradigma pidana yang mana disepakati pidana adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan. Dengan adanya perubahan landasan berpikir ini kemudian akan merubah semua tatanan dalam konteks peradilan pidana.

Marcus juga menyatakan, perjuangan bangsa ini untuk memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kebanggaan nasional itu sudah menjadi kenyataan. Sebab, saat ini kita sudah memiliki KUHP yang baru.

“Jangan sampai penegak hukum pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketidakmengertian sumber aslinya,” tegas Marcus.

Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Surastini Fitriasih, SH MH menyatakan sejumlah isu-isu krusial di dalam KUHP terus berkembang seiring waktu, namun sebenarnya itu bersifat subjektif.

Dari pasal-pasal krusial yang ia identifikasi, semua berkembang sangat dinamis setiap saat, misalnya isu soal unjuk rasa yang menyebabkan kerusuhan, baru akhir-akhir ini muncul.

“Kalau kita baca penjelasan dan naskah akademik pada pasal-pasal krusial yang menjadi perdebatan publik, sebenarnya sudah sangat jelas dan gamblang bagaimana aturan hukumnya,” kata Dr Surastini.

Menurutnya, sejumlah pasal di KUHP baru, ada yang dihapus dan ditambahkan karena berdasarkan masukan berbagai pihak dan ahli hukum, sebagain pasal dan aturan itu sebaiknya diatur dalam peraturan daerah (perda). Itulah bentuk penyusuan KUHP yang sangat demokratis.

Sosialisasi KUHP di Medan ini diikuti sekitar 200 orang peserta, yang terdiri dari unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum dan mahasiswa, serta elemen masyarakat lainnya.

Dengan adanya sosialisasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian terhadap KUHP agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.(rel/sih)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatera Utara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) menyelenggarakan Sosialisasi KUHP Nasional di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa, Sumatera Utara, Senin (9/1).

Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi mengatakan KUHP baru ini merupakan produk hukum dan karya anak bangsa. Meskipun sudah disahkan, namun KUHP yang baru ini masih menuai pro dan kontra terkait pasal-pasal yang dinilai mengekang HAM.

“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”, katanya.

Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar mengatakan sudah lama bangsa ingin memiliki KUHP buatan sendiri. Masyarakat kita mendambakan dasar atau konsep hukum nasional yang sesuai perkembangan bukan lagi warisan kolonial Belanda.

“Wacana KUHP nasional sudah ada sejak tahun 1992, semasa saya kuliah. Tentu akan banyak perbedaan dengan KUHP yang sebelumnya, tetapi yang pasti hal itu akan mendasari lahirnya semangat persatuan dan lebih maju serta tetap menjunjung tinggi keberagaman”, ucapnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiono mengatakan beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku; denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.

“Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat”, ujar Pujiyono.

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa penolakan atau pro dan kontra sebuah produk hukum adalah hal yang wajar dan biasa.

“Meskipun baru disahkan tetapi sudah dianggap pro dan kontra bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu,” ucapnya.

Perubahan yang paling mendasar sebenarnya terletak pada buku pertama karena dimulai dengan perubahan paradigma pidana yang mana disepakati pidana adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan. Dengan adanya perubahan landasan berpikir ini kemudian akan merubah semua tatanan dalam konteks peradilan pidana.

Marcus juga menyatakan, perjuangan bangsa ini untuk memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kebanggaan nasional itu sudah menjadi kenyataan. Sebab, saat ini kita sudah memiliki KUHP yang baru.

“Jangan sampai penegak hukum pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketidakmengertian sumber aslinya,” tegas Marcus.

Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Surastini Fitriasih, SH MH menyatakan sejumlah isu-isu krusial di dalam KUHP terus berkembang seiring waktu, namun sebenarnya itu bersifat subjektif.

Dari pasal-pasal krusial yang ia identifikasi, semua berkembang sangat dinamis setiap saat, misalnya isu soal unjuk rasa yang menyebabkan kerusuhan, baru akhir-akhir ini muncul.

“Kalau kita baca penjelasan dan naskah akademik pada pasal-pasal krusial yang menjadi perdebatan publik, sebenarnya sudah sangat jelas dan gamblang bagaimana aturan hukumnya,” kata Dr Surastini.

Menurutnya, sejumlah pasal di KUHP baru, ada yang dihapus dan ditambahkan karena berdasarkan masukan berbagai pihak dan ahli hukum, sebagain pasal dan aturan itu sebaiknya diatur dalam peraturan daerah (perda). Itulah bentuk penyusuan KUHP yang sangat demokratis.

Sosialisasi KUHP di Medan ini diikuti sekitar 200 orang peserta, yang terdiri dari unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum dan mahasiswa, serta elemen masyarakat lainnya.

Dengan adanya sosialisasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian terhadap KUHP agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.(rel/sih)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/