26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Balai Bahasa Sumut Diseminasi Program Revitalisasi Bahasa Daerah, Bahas 3 Model Pelindungan Bahasa

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara (Sumut), mengadakan diseminasi program revitalisasi bahasa daerah di Sumut. Diseminasi dilakukan kepada mitra Kemendikbudristek dalam rangka mendapatkan dukungan.

Kepala Balai Bahasa Sumut, Hidayat Widiyanto menyampaikan, kegiatan ini juga dilaksanakan dalam rangka mengajak masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dalam program revitalisasi bahasa daerah di Sumut. Hal tersebut sangat penting, karena masyarakat sebagai pengguna bahasa dan pelaku kebahasaan memiliki pengalaman dan pemahaman yang unik tentang bahasa dan kebutuhan bahasa mereka.

“Masyarakat Sumut lebih memahami kepentingan berbahasa, termasuk bagaimana cara melindungi bahasa-bahasa daerah di wilayah Sumut,” ungkap Hidayat, saat menyampaikan pemaparan dalam kegiatan diseminasi itu, Senin (17/4) lalu.

Hidayat juga mengatakan, pelindungan bahasa daerah telah diterjemahkan dalam sebuah program Merdeka Belajar episode 17 ‘Revitalisasi Bahasa Daerah’ yang sudah diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, pada 22 Februari 2022 lalu. Badan Bahasa, sebagai satu unit utama yang memiliki koordinasi tugas tersebut pada tahun ini, melaksanakan revitalisasi bahasa daerah di 25 provinsi di Indonesia, yakni mulai dari Aceh, sampai dengan Papua Barat, yang meliputi 71 bahasa.

Terkait hal itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sumut No 8 Tahun 2017, tentang Pengutamaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa dan Sastra Daerah, sebagai peraturan kebahasaan dan kesastraan di Sumut. Pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang kuat terhadap pelestarian bahasa daerah. Implementasi pelestarian bahasa daerah perlu didukung oleh semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten kota, akademisi, pemangku adat dan budaya, rohaniwan, pelaku seni, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, pegiat literasi, praktisi, orang tua, dan tentu anak-anak sebagai tunas muda bahasa daerah. Untuk itu, implementasi perda tersebut harus dapat disampaikan kepada masyarakat.

“Revitalisasi bahasa daerah yang dilaksanakan di Sumut masuk pada kategori model B. Dalam revitalisasi yang dikembangkan Kemendikbudristek, terdapat 3 model pelindungan bahasa,” tutur Hidayat.

Adapun 3 model tersebut, yakni Model A adalah provinsi yang hanya memiliki satu bahasa yang benar-benar dominan. Daya hidup bahasa masih aman, jumlah penutur masih banyak, masih digunakan sebagai bahasa yang dominan dalam masyarakat tuturnya. Karena itu, pendekatan yang dilakukan berbasis sekolah. Bisa melalui muatan lokal atau juga kegiatan ekstrakurikuler. Contohnya, bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

Model B adalah provinsi yang tidak memiliki bahasa yang penuturnya dominan, tapi memiliki kurang lebih penutur setara atau sama. Daya hidup bahasa tergolong rentan meskipun jumlah penutur relatif banyak. Bahasa yang digunakan bersaing penggunaannya antarsesama bahasa daerah lain di daerah tersebut. Karenanya, pendekatan yang dilakukan berbasis sekolah jika wilayah tutur bahasa itu memadai dan pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas. Contohnya adalah bahasa-bahasa yang ada di Provinsi Sumut, NTB, dan Sulawesi Selatan.

Terakhir adalah Model C, yakni provinsi yang memiliki banyak bahasa-bahasa kecil dan penuturnya sedikit. Daya hidup bahasanya termasuk pada kategori yang mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis. Jumlah penutur juga sedikit dengan jumlah sebaran yang sangat terbatas. Untuk itu, diterapkan pendekatan pada model ini berupa pewarisan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang terbatas dan khas. Pembelajaran juga dilakukan dengan menunjuk 2 atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat. Contohnya, bahasa-bahasa yang ada di Provinsi NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Lebih lanjut Hidayat memaparkan, untuk meningkatkan minat anak dalam memproduksi bahasa daerah, setidaknya ada 7 jenis materi yang dapat dikembangkan oleh anak-anak. Yakni membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek, membaca dan menulis puisi (sajak). Kemudian, mendongeng, pidato, menyanyi atau tembang tradisi, dan komedi tunggal (stand up comedy).

“Anak-anak dapat mengembangkan bahasa daerah melalui materi yang dia sukai. Tujuh materi ini yang akan nanti difestivalkan pada akhir pembelajaran,” jelas Hidayat.

Hidayat menuturkan, pengalaman 2022 menunjukkan, anak-anak sangat senang dan bahagia dalam menunjukkan kebolehan mereka berbahasa daerah melalui festival yang berjenjang dari tingkat sekolah sampai pada tingkat nasional.

Balai Bahasa Sumut melaksanakan revitalisasi untuk 3 bahasa daerah yang dimulai dari bahasa Melayu dialek Sorkam, Melayu dialek Panai, dan Batak dialek Angkola. Dan pada 2023, program ini tetap diteruskan dengan menambah bahasa Batak dialek Toba dan Melayu dialek Asahan dan dialek Langkat.

“Pada 2022, Balai Bahasa telah melibatkan 3 bahasa, 5 kabupaten kota, 251 guru utama, 5.647 siswa SD, 17.800 siswa SMP, dan 140 siswa dalam FTBI provinsi, dan 32 siswa pada FTBI nasional,” bebernya.

Sedangkan pada 2023, selain meneruskan program yang telah berjalan pada 2022, Balai Bahasa Sumut juga meneruskan program ini di 5 kabupaten kota yang meliputi Kabupaten Samosir, Humbanghasundutan (Humbahas), dan Tapanuli Utara, untuk bahasa Batak dialek Toba, dan bahasa Melayu dialek Langkat di Kabupaten Langkat, dan Melayu dialek Asahan di Kabupaten Asahan.

“Diharapkan pelaksanaan Revitalisasi Bahasa Daerah 2023 ini akan menguatkan kembali komitmen semua pemangku kepentingan dalam melindungi bahasa daerah di Sumut. Dan menghasilkan tunas bahasa ibu dalam penggunaan bahasa daerah di ranah baru sesuai dengan tantangan dan perkembangan dunia saat ini,” harap Hidayat.

Sementara itu, Anggota Komisi 10 DPR RI Sofyan Tan, yang turut hadir, menyampaikan, terdapat pendekatan baru dalam Revitalisasi Bahasa Daerah. Setidaknya, ada 8 poin dalam platform Merdeka Belajar episode ke-17. Pertama, lebih fokus kepada revitalisasi daripada pendokumentasian bahasa. Hal ini dilakukan melalui pembelajaran dan pendampingan berkelanjutan.

“Kedua, partisipasi intensif semua pemangku kepentingan mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan tugas. Kebijakan ini untuk menggunakan bahasa ibu atau daerahnya ranah keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintahan,” katanya.

Ketiga, lanjutnya, mengadopsi model revitalisasi yang beragam, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Keempat, penyediaan buku-buku cerita anak berbahasa daerah untuk tujuan pengayaan. Kelima, kebebasan untuk memilih bahan ajar atau materi mengajar dengan minat siswa. Selanjutnya, mobilisasi guru dan fasilitator termasuk penggiat bahasa daerah di masyarakat untuk menjadi narasumber. Berikutnya, penyediaan forum apresiasi di akhir program berupa festival bagi penutur muda bahasa daerah. Dan terakhir, peningkatan gradual jumlah bahasa daerah yang direvitalisasi. (azw/saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara (Sumut), mengadakan diseminasi program revitalisasi bahasa daerah di Sumut. Diseminasi dilakukan kepada mitra Kemendikbudristek dalam rangka mendapatkan dukungan.

Kepala Balai Bahasa Sumut, Hidayat Widiyanto menyampaikan, kegiatan ini juga dilaksanakan dalam rangka mengajak masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dalam program revitalisasi bahasa daerah di Sumut. Hal tersebut sangat penting, karena masyarakat sebagai pengguna bahasa dan pelaku kebahasaan memiliki pengalaman dan pemahaman yang unik tentang bahasa dan kebutuhan bahasa mereka.

“Masyarakat Sumut lebih memahami kepentingan berbahasa, termasuk bagaimana cara melindungi bahasa-bahasa daerah di wilayah Sumut,” ungkap Hidayat, saat menyampaikan pemaparan dalam kegiatan diseminasi itu, Senin (17/4) lalu.

Hidayat juga mengatakan, pelindungan bahasa daerah telah diterjemahkan dalam sebuah program Merdeka Belajar episode 17 ‘Revitalisasi Bahasa Daerah’ yang sudah diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, pada 22 Februari 2022 lalu. Badan Bahasa, sebagai satu unit utama yang memiliki koordinasi tugas tersebut pada tahun ini, melaksanakan revitalisasi bahasa daerah di 25 provinsi di Indonesia, yakni mulai dari Aceh, sampai dengan Papua Barat, yang meliputi 71 bahasa.

Terkait hal itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sumut No 8 Tahun 2017, tentang Pengutamaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa dan Sastra Daerah, sebagai peraturan kebahasaan dan kesastraan di Sumut. Pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang kuat terhadap pelestarian bahasa daerah. Implementasi pelestarian bahasa daerah perlu didukung oleh semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten kota, akademisi, pemangku adat dan budaya, rohaniwan, pelaku seni, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, pegiat literasi, praktisi, orang tua, dan tentu anak-anak sebagai tunas muda bahasa daerah. Untuk itu, implementasi perda tersebut harus dapat disampaikan kepada masyarakat.

“Revitalisasi bahasa daerah yang dilaksanakan di Sumut masuk pada kategori model B. Dalam revitalisasi yang dikembangkan Kemendikbudristek, terdapat 3 model pelindungan bahasa,” tutur Hidayat.

Adapun 3 model tersebut, yakni Model A adalah provinsi yang hanya memiliki satu bahasa yang benar-benar dominan. Daya hidup bahasa masih aman, jumlah penutur masih banyak, masih digunakan sebagai bahasa yang dominan dalam masyarakat tuturnya. Karena itu, pendekatan yang dilakukan berbasis sekolah. Bisa melalui muatan lokal atau juga kegiatan ekstrakurikuler. Contohnya, bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

Model B adalah provinsi yang tidak memiliki bahasa yang penuturnya dominan, tapi memiliki kurang lebih penutur setara atau sama. Daya hidup bahasa tergolong rentan meskipun jumlah penutur relatif banyak. Bahasa yang digunakan bersaing penggunaannya antarsesama bahasa daerah lain di daerah tersebut. Karenanya, pendekatan yang dilakukan berbasis sekolah jika wilayah tutur bahasa itu memadai dan pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas. Contohnya adalah bahasa-bahasa yang ada di Provinsi Sumut, NTB, dan Sulawesi Selatan.

Terakhir adalah Model C, yakni provinsi yang memiliki banyak bahasa-bahasa kecil dan penuturnya sedikit. Daya hidup bahasanya termasuk pada kategori yang mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis. Jumlah penutur juga sedikit dengan jumlah sebaran yang sangat terbatas. Untuk itu, diterapkan pendekatan pada model ini berupa pewarisan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang terbatas dan khas. Pembelajaran juga dilakukan dengan menunjuk 2 atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat. Contohnya, bahasa-bahasa yang ada di Provinsi NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Lebih lanjut Hidayat memaparkan, untuk meningkatkan minat anak dalam memproduksi bahasa daerah, setidaknya ada 7 jenis materi yang dapat dikembangkan oleh anak-anak. Yakni membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek, membaca dan menulis puisi (sajak). Kemudian, mendongeng, pidato, menyanyi atau tembang tradisi, dan komedi tunggal (stand up comedy).

“Anak-anak dapat mengembangkan bahasa daerah melalui materi yang dia sukai. Tujuh materi ini yang akan nanti difestivalkan pada akhir pembelajaran,” jelas Hidayat.

Hidayat menuturkan, pengalaman 2022 menunjukkan, anak-anak sangat senang dan bahagia dalam menunjukkan kebolehan mereka berbahasa daerah melalui festival yang berjenjang dari tingkat sekolah sampai pada tingkat nasional.

Balai Bahasa Sumut melaksanakan revitalisasi untuk 3 bahasa daerah yang dimulai dari bahasa Melayu dialek Sorkam, Melayu dialek Panai, dan Batak dialek Angkola. Dan pada 2023, program ini tetap diteruskan dengan menambah bahasa Batak dialek Toba dan Melayu dialek Asahan dan dialek Langkat.

“Pada 2022, Balai Bahasa telah melibatkan 3 bahasa, 5 kabupaten kota, 251 guru utama, 5.647 siswa SD, 17.800 siswa SMP, dan 140 siswa dalam FTBI provinsi, dan 32 siswa pada FTBI nasional,” bebernya.

Sedangkan pada 2023, selain meneruskan program yang telah berjalan pada 2022, Balai Bahasa Sumut juga meneruskan program ini di 5 kabupaten kota yang meliputi Kabupaten Samosir, Humbanghasundutan (Humbahas), dan Tapanuli Utara, untuk bahasa Batak dialek Toba, dan bahasa Melayu dialek Langkat di Kabupaten Langkat, dan Melayu dialek Asahan di Kabupaten Asahan.

“Diharapkan pelaksanaan Revitalisasi Bahasa Daerah 2023 ini akan menguatkan kembali komitmen semua pemangku kepentingan dalam melindungi bahasa daerah di Sumut. Dan menghasilkan tunas bahasa ibu dalam penggunaan bahasa daerah di ranah baru sesuai dengan tantangan dan perkembangan dunia saat ini,” harap Hidayat.

Sementara itu, Anggota Komisi 10 DPR RI Sofyan Tan, yang turut hadir, menyampaikan, terdapat pendekatan baru dalam Revitalisasi Bahasa Daerah. Setidaknya, ada 8 poin dalam platform Merdeka Belajar episode ke-17. Pertama, lebih fokus kepada revitalisasi daripada pendokumentasian bahasa. Hal ini dilakukan melalui pembelajaran dan pendampingan berkelanjutan.

“Kedua, partisipasi intensif semua pemangku kepentingan mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan tugas. Kebijakan ini untuk menggunakan bahasa ibu atau daerahnya ranah keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintahan,” katanya.

Ketiga, lanjutnya, mengadopsi model revitalisasi yang beragam, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Keempat, penyediaan buku-buku cerita anak berbahasa daerah untuk tujuan pengayaan. Kelima, kebebasan untuk memilih bahan ajar atau materi mengajar dengan minat siswa. Selanjutnya, mobilisasi guru dan fasilitator termasuk penggiat bahasa daerah di masyarakat untuk menjadi narasumber. Berikutnya, penyediaan forum apresiasi di akhir program berupa festival bagi penutur muda bahasa daerah. Dan terakhir, peningkatan gradual jumlah bahasa daerah yang direvitalisasi. (azw/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/