28 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Keadilan Substansial Pengetatan Remisi

Usaha pemberantasan korupsi memang tidak mudah. Bahkan semakin menemui jalan terjal. Penyebabnya tak lain karena koruptor semakin lihai dan licik. Selain tindakan provokatif berupa teror kepada para penegak hukum dan aktivis antikorupsi, perlawanan koruptor (corruptors fight back) kini juga semakin nyata, terbuka, bahkan ditempuh melalui aspek legal (hukum).

Oleh:
Karolina Sitepu SH MHum

Dikabulkannya gugatan tujuh orang terpidana korupsi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta terkait pengetatan remisi koruptor beberapa hari lalu  menjadi contoh teraktual bagaimana celah-celah sekecil apa pun berhasil dimaksimalkan para pencuri uang negara tersebut.

Secara hukum, gugatan terhadap kebijakan Kemenkum dan HAM terkait pengetatan remisi adalah sah. Menurut ketentuan hukum administrasi negara, merupakan hak setiap warga negara untuk menggugat setiap keputusan penyelenggara negara yang dianggap merugikan kepentingan umum dan melanggar peraturan yang ada. Dan harus diakui, kebijakan pengetatan korupsi memang mengandung masalah.

Mengutip pernyataan kuasa hukum penggugat, Yusril Ihza Mahhendra, beberapa hal yang menjadi cacat bawaan kebijakan tersebut, yakni pertama, kebijakan tersebut secara materil bertentangan dengan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kedua, kebijakan tanpa dasar hukum tersebut akan menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan negara. Sebab jika dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan penguasa yang memberangus hak setiap warga negara.

Secara formal, Yusril benar. Sebagai negara hukum, pemerintah atau siapa pun tentu tidak bisa melakukan kesewenang-wenangan. Harus ada keteraturan dan memang untuk itulah hukum dibuat. Penegakan hukum juga tak bisa dilakukan dengan melanggar hukum. Namun, dalam keadaan luar biasa, terkadang kita harus berani menabrak pakem yang ada demi tercapainya tujuan yang lebih baik.

Pemberian remisi bagi setiap narapidana merupakan amanah dari Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengatur bahwa mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) adalah salah satu hak terpidana. Sebagai peraturan pelaksananya, pemerintahan SBY kemudian menerbitkan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menruut ketentuan PP ini, ada dua syarat pemberian remisi yakni, pertama, seorang terpidana harus sudah menjalani masa hukumannya selama enam bulan dengan catatan, harus berkelakuan baik selama berada di LP.  Kedua, khusus terpidana kasus narkotika, terorisme, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap keamanan negara, dan korupsi, seorang terpidana harus sudah menjalani 1/3 dari masa hukumannya.

Sayangnya, pemberian remisi tersebut acapkali disalahgunakan. Kalau diteliti, kebanyakan yang mendapat remisi adalah mereka yang memiliki akses yang kuat, seperti para koruptor. Imbasnya, obral remisi bagi koruptor marak dimana-mana. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan usaha pemberantasan korupsi. Padahal, dari hulu saja, kasat mata kita menyaksikan betapa rendahnya vonis bagi pelaku tindak pidana korupsi. Kenyataan seperti ini tidak akan menimbulkan efek jera maksimal yang mampu menginsyafkan pelaku korupsi.

Kekecewaan publik atas obral remisi bagi koruptor ini berhasil diakomodasi pemerintah, dalam hal ini Kemenkum dan HAM dengan mengeluarkan kebijakan pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana khusus, seperti korupsi dan terorisme. Dengan harapan, vonis ringan di hulu bisa diantisipasi dengan kebijakan tersebut.

Kaca Mata Kuda

Sayangnya, dalam memutus gugatan tersebut, hakim terlalu memandang secara formal legalistik. Kaca mata kuda penegakan hukum yang dipakai hakim menjadikan keputusannya hanya mampu menyentuh keadilan prosedural. Sedangkan hal yang lebih pokok, yakni keadilan substansial menjadi terlupakan. Bukankah hukum memiliki tiga kaki, yakni kepastian hukum, keadilann dan kemanfaatan? Dan keadilan masyarakat melalui asas kemanfaatan hukum tersebut seharusnya dikedepankan. Padahal, bangsa ini telah sepakat bahwa korupsi merupakan extraordinary crime. Tidakkah majelis hakim menyadari bahwa dikabulkannya gugatan ketujuh koruptor ini akan menimbulkan implikasi yang sangat luas?

Sebab sadar atau tidak, putusan majelis hakim PTUN DKI Jakarta ini akan menjadi yurisprudensi yang menjadi pegangan hakim jika suatu saat ratusan terpidana korupsi lainnya mengajukan gugatan yang sama. implikasinya, ratusan terpidana korupsi akan melenggang dengan mudah ke alam bebas.

Bagi pemerintah, melenggangnya ketujuh terpidana korupsi ini menjadi pelajaran berharga dalam pengambilan kebijakan ke depan. Kemauan pemberantasan korupsi jangan lagi dilaksanakan setengah hati. Mentalnya kebijakan pengetatan remisi ini tak lain karena kebijakan tersebut tidak disertai dengan keinginan kuat untuk mengubah PP 28 Tahun 2006 sebagai syarat-syarat pemberian remisi. Pengambilan kebijakan secara lisan untuk membatalkan produk hukum setingkat PP sungguh tidak memiliki dasar hukum sama sekali. Oleh karena itu, jika memang pemerintah benar-benar serius melakukan pengetatan remisi bagi koruptor, maka langkah pertama yang harus diambil adalah perubahan PP Nomor 28 Tahun 2006. Pada tingkat yang lebih tinggi, pemerintah juga dapat berinisiatif bersama DPR untuk melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Dengan demikian, komitmen pemerintahan SBY untuk menjalankan pemerintahan yang bersih (clean governance) tidak dianggap publik sekadar politik pencitraan. Tindakan yang nyata berupa revisi produk hukum pemerintah seperti PP, Perpres, bahkan Permen yang propemberantasan korupsi harus dibuktikan dan pengetatan bahkan penghapusan remisi bagi koruptor adalah salah satunya. Jika tidak, jangn pernah bermimpi korupsi akan hapus dari bumi Indonesia. (*)

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan, saat ini sedang menempuh program doktoral
di University Utara Malaysia (UUM) Sintok Keddah, Malaysia.

Usaha pemberantasan korupsi memang tidak mudah. Bahkan semakin menemui jalan terjal. Penyebabnya tak lain karena koruptor semakin lihai dan licik. Selain tindakan provokatif berupa teror kepada para penegak hukum dan aktivis antikorupsi, perlawanan koruptor (corruptors fight back) kini juga semakin nyata, terbuka, bahkan ditempuh melalui aspek legal (hukum).

Oleh:
Karolina Sitepu SH MHum

Dikabulkannya gugatan tujuh orang terpidana korupsi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta terkait pengetatan remisi koruptor beberapa hari lalu  menjadi contoh teraktual bagaimana celah-celah sekecil apa pun berhasil dimaksimalkan para pencuri uang negara tersebut.

Secara hukum, gugatan terhadap kebijakan Kemenkum dan HAM terkait pengetatan remisi adalah sah. Menurut ketentuan hukum administrasi negara, merupakan hak setiap warga negara untuk menggugat setiap keputusan penyelenggara negara yang dianggap merugikan kepentingan umum dan melanggar peraturan yang ada. Dan harus diakui, kebijakan pengetatan korupsi memang mengandung masalah.

Mengutip pernyataan kuasa hukum penggugat, Yusril Ihza Mahhendra, beberapa hal yang menjadi cacat bawaan kebijakan tersebut, yakni pertama, kebijakan tersebut secara materil bertentangan dengan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kedua, kebijakan tanpa dasar hukum tersebut akan menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan negara. Sebab jika dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan penguasa yang memberangus hak setiap warga negara.

Secara formal, Yusril benar. Sebagai negara hukum, pemerintah atau siapa pun tentu tidak bisa melakukan kesewenang-wenangan. Harus ada keteraturan dan memang untuk itulah hukum dibuat. Penegakan hukum juga tak bisa dilakukan dengan melanggar hukum. Namun, dalam keadaan luar biasa, terkadang kita harus berani menabrak pakem yang ada demi tercapainya tujuan yang lebih baik.

Pemberian remisi bagi setiap narapidana merupakan amanah dari Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengatur bahwa mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) adalah salah satu hak terpidana. Sebagai peraturan pelaksananya, pemerintahan SBY kemudian menerbitkan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menruut ketentuan PP ini, ada dua syarat pemberian remisi yakni, pertama, seorang terpidana harus sudah menjalani masa hukumannya selama enam bulan dengan catatan, harus berkelakuan baik selama berada di LP.  Kedua, khusus terpidana kasus narkotika, terorisme, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap keamanan negara, dan korupsi, seorang terpidana harus sudah menjalani 1/3 dari masa hukumannya.

Sayangnya, pemberian remisi tersebut acapkali disalahgunakan. Kalau diteliti, kebanyakan yang mendapat remisi adalah mereka yang memiliki akses yang kuat, seperti para koruptor. Imbasnya, obral remisi bagi koruptor marak dimana-mana. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan usaha pemberantasan korupsi. Padahal, dari hulu saja, kasat mata kita menyaksikan betapa rendahnya vonis bagi pelaku tindak pidana korupsi. Kenyataan seperti ini tidak akan menimbulkan efek jera maksimal yang mampu menginsyafkan pelaku korupsi.

Kekecewaan publik atas obral remisi bagi koruptor ini berhasil diakomodasi pemerintah, dalam hal ini Kemenkum dan HAM dengan mengeluarkan kebijakan pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana khusus, seperti korupsi dan terorisme. Dengan harapan, vonis ringan di hulu bisa diantisipasi dengan kebijakan tersebut.

Kaca Mata Kuda

Sayangnya, dalam memutus gugatan tersebut, hakim terlalu memandang secara formal legalistik. Kaca mata kuda penegakan hukum yang dipakai hakim menjadikan keputusannya hanya mampu menyentuh keadilan prosedural. Sedangkan hal yang lebih pokok, yakni keadilan substansial menjadi terlupakan. Bukankah hukum memiliki tiga kaki, yakni kepastian hukum, keadilann dan kemanfaatan? Dan keadilan masyarakat melalui asas kemanfaatan hukum tersebut seharusnya dikedepankan. Padahal, bangsa ini telah sepakat bahwa korupsi merupakan extraordinary crime. Tidakkah majelis hakim menyadari bahwa dikabulkannya gugatan ketujuh koruptor ini akan menimbulkan implikasi yang sangat luas?

Sebab sadar atau tidak, putusan majelis hakim PTUN DKI Jakarta ini akan menjadi yurisprudensi yang menjadi pegangan hakim jika suatu saat ratusan terpidana korupsi lainnya mengajukan gugatan yang sama. implikasinya, ratusan terpidana korupsi akan melenggang dengan mudah ke alam bebas.

Bagi pemerintah, melenggangnya ketujuh terpidana korupsi ini menjadi pelajaran berharga dalam pengambilan kebijakan ke depan. Kemauan pemberantasan korupsi jangan lagi dilaksanakan setengah hati. Mentalnya kebijakan pengetatan remisi ini tak lain karena kebijakan tersebut tidak disertai dengan keinginan kuat untuk mengubah PP 28 Tahun 2006 sebagai syarat-syarat pemberian remisi. Pengambilan kebijakan secara lisan untuk membatalkan produk hukum setingkat PP sungguh tidak memiliki dasar hukum sama sekali. Oleh karena itu, jika memang pemerintah benar-benar serius melakukan pengetatan remisi bagi koruptor, maka langkah pertama yang harus diambil adalah perubahan PP Nomor 28 Tahun 2006. Pada tingkat yang lebih tinggi, pemerintah juga dapat berinisiatif bersama DPR untuk melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Dengan demikian, komitmen pemerintahan SBY untuk menjalankan pemerintahan yang bersih (clean governance) tidak dianggap publik sekadar politik pencitraan. Tindakan yang nyata berupa revisi produk hukum pemerintah seperti PP, Perpres, bahkan Permen yang propemberantasan korupsi harus dibuktikan dan pengetatan bahkan penghapusan remisi bagi koruptor adalah salah satunya. Jika tidak, jangn pernah bermimpi korupsi akan hapus dari bumi Indonesia. (*)

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan, saat ini sedang menempuh program doktoral
di University Utara Malaysia (UUM) Sintok Keddah, Malaysia.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/