26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Suara Hakim Tak Jelas Bacakan Putusan Perkara Tanah, Penggugat Menduga Ada Kejanggalan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pihak penggugat kepemilikan tanah seluas ±2 hektare (Ha) di Jalan Gagak Hitam Raya, Medan, menduga ada keanehan dan kejanggalan saat sidang pembacaan putusan perkara No.528/Pdt.G/2022/PN.Mdn, yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (6/6).

Keanehan dan kejanggalan itu, dipertanyakan kuasa hukum dari Penggugat yakni Ir Apul P Simorangkir SH MH MBA dan Fauzi Akbar Pohan SH dari Kantor Hukum Pariadin Law Firm, karena hakim yang memimpin sidang, Phillip Mark Soentpiet, suaranya terdengar pelan dan samar bahkan tidak begitu jelas apa yang diucapkan saat membacakan isi putusan.

“Kami mempertanyakan sikap dari ketua majelis hakim yang membacakan putusan tersebut yang tidak kedengaran apa yang dibacakan sehingga samar-samar kedengarannya. Padahal, jarak meja kuasa hukum dengan meja majelis hakim hanya lebih kurang 1,5 meter saja,” kata Apul P Simorangkir kepada wartawan, Kamis (8/6).

Akibat dari suara hakim yang kurang begitu jelas membacakan putusan, mereka juga hanya sebagain besar saja mendengar point-point isi putusan, diantaranya gugatan penggugat konvensi diterima sebagian dan gugatan rekonvensi ditolak.

“Ketua majelis hakim membaca putusan sangat pelan sekali dan tidak kedengaran apa yang dibacakan oleh pihak-pihak yang hadir di persidangan. Kami sangat keberatan atas sikap ketua majelis yang membacakan putusan dengan tidak jelas tersebut karena tidak sesuai dengan hukum acara peradilan,” tegasnya.

Ia menyampaikan, sedari awal pihaknya juga sudah menduga ada kejanggalan pembacaan putusan perkara No.528/Pdt.G/2022/PN.Mdn yang didaftarkan Juli 2022 itu. Sebab, sudah berulang kali penundaan pembacaan putusan sejak kesimpulan diserahkan 4 Mei 2023 dan agenda putusan direncanakan dibacakan 23 Mei 2023, kemudian ditunda pembacaan putusan pada 6 Juni 2023 dan kemudian ditunda lagi 7 Juli 2023.

Lebih jauh disampaikannya, perkara No.528/Pdt.G/2022/PN.Mdn, adalah tentang kepemilikan tanah seluas lebih ±2 ha di Jalan Gagak Hitam Raya, Medan, tepatnya di samping Hotel Saka Sei Sikambing B, Medan.

Penggugat memiliki tanah itu, dari ahli waris tanah berdasarkan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi. Namun tanah tersebut telah dikuasai oleh Tergugat yakni PT Surya Cemerlang Indah dengan cara menembok keliling tanah tersebut.

Berdasarkan fakta persidangan, kata dia, Tergugat memperoleh tanah tersebut dari Raden Polfan alias Gek Lai dengan cara jual beli yang telah dilakukan pensertifikatan atas tanah tersebut, dan Raden Polfan mensertifikatkan tanah itu berdasarkan dari jual beli dari penggarap tanah yakni Sumardi, tahun 1992 yang didasarkan dari Surat Pernyataan Tanah yang dibuat pada 21 Februari 1992 dan kemudian dibuat Surat Keterangan atas Tanah oleh Lurah Kelurahan Sei Sikambing B pada 23 Februari 1992 dan ditandatangani Camat Medan Sunggal 23 Pebruari 1992.

“Kemudian dilakukan pelepasan hak atas tanah oleh Sumardi kepada Raden Polfan tanggal 19 Maret 1992 melalui Camat Medan Sunggal Asnul Harahap dan kemudian Camat Medan Sunggal menerbitkan Surat Keterangan Situasi Tanah tanggal 19 Maret 1992, selanjutnya dimohon Raden Polfan untuk disertifikatkan ke Kantor Pertanahan Kota Medan dan terbit Sertifikat HGB No. 693, 694, 695, 696/ Sei Sikambing B tanggal 2-11-2009,” jelasnya.

Kemudian, berdasarkan fakta persidangan yakni saksi dari Penggugat, telah menghadirkan saksi-saksi fakta yakni Suyitno yang sejak kecil tinggal di sekitar lokasi tanah dan kakek saksi juga mantan kepala lingkungan di lokasi tanah sejak tahun 1950an menyatakan Sumardi adalah penggarap tanah yang digugat Penggugat dan Sumardi meninggal dunia di Jawa pada tahun 1980an, saksi mengatakan bahwa saksi hadir saat Sumardi melakukan kenduri atau selamatan karena Sumardi mau pulang kampung ke Jawa yakni di Desa Penjatan Kulonprogo, Yogjakarta.

“Saksi-sksi fakta yang lainnya yakni Amir dan Nazaruddin juga mengatakan adalah penggarap tanah dan saksi Amir mengatakan mengenal pemilik tanah dan pernah ketemu yakni DT Nahari pada tahun 1960an sebelum adanya peristiwa G30S PKI,” sebutnya.

Atas fakta-fakta persidangan tersebut, Penggugat telah menuangkannya dalam Kesimpulan yakni Sumardi telah meninggal dunia tahun 1980an.

“Bagaimana Sumardi yang telah meninggal dunia dapat membuat Surat Pernyataan sebagai Penggarap tanah 21 Februari 1992? Bagaimana Sumardi yang sudah meninggal dunia tahun 1980an dapat melakukan pelepasan hak atas tanah grapan pada tanggal 19 Maret 1992 dengan Raden Polfan di hadapan Camat Medan Sunggal Asnul Harahap? Kemudian dalam kesimpulan juga dinyatakan bagaimana Surat Keterangan atas tanah yang dibuat oleh Lurah Sei Sikambing B & Camat Medan Sunggal pada tanggal 23 Pebruari 1992 pada hari libur lerja yakni pada hari Minggu?,” ujarnya.

Kemudian, Surat Keterangan atas tanah No. 097/SKT/II/1992 tanggal 23-02-1992 yang dibuat Lurah Sei Sikambing B dan Camat Medan Sunggal adalah tidak sah dan diduga palsu karena berdasarkan Surat Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 593/5707/SJ/1984 tanggal 22 Mei 1984 tentang Larangan Kepala Desa, Lurah atau Camat menerbitkan Surat Keterangan Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999.

“Atas peraturan ini, Penggugat mempertanyakan Tindakan Kantor Pertanahan Kota Medan (Turut Tergugat I) yang menerbitkan sertifkat di atas tanah milik Penggugat kepada Raden Polfan yang kemudian dijual kepada Tergugat (PT Surya Cemerlang) yang pada awalnya didaftarkan berdasarkan Surat Penyataan Penggarap, Surat Keterangan Tanah No. 097/SKT/II/1992 tanggal 23-02-1992 yang kemudian Pelepasan hak tanah Garapan oleh Sumardi yang telah meninggal dunia tahun 1980an,” pungkasnya. (man)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pihak penggugat kepemilikan tanah seluas ±2 hektare (Ha) di Jalan Gagak Hitam Raya, Medan, menduga ada keanehan dan kejanggalan saat sidang pembacaan putusan perkara No.528/Pdt.G/2022/PN.Mdn, yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (6/6).

Keanehan dan kejanggalan itu, dipertanyakan kuasa hukum dari Penggugat yakni Ir Apul P Simorangkir SH MH MBA dan Fauzi Akbar Pohan SH dari Kantor Hukum Pariadin Law Firm, karena hakim yang memimpin sidang, Phillip Mark Soentpiet, suaranya terdengar pelan dan samar bahkan tidak begitu jelas apa yang diucapkan saat membacakan isi putusan.

“Kami mempertanyakan sikap dari ketua majelis hakim yang membacakan putusan tersebut yang tidak kedengaran apa yang dibacakan sehingga samar-samar kedengarannya. Padahal, jarak meja kuasa hukum dengan meja majelis hakim hanya lebih kurang 1,5 meter saja,” kata Apul P Simorangkir kepada wartawan, Kamis (8/6).

Akibat dari suara hakim yang kurang begitu jelas membacakan putusan, mereka juga hanya sebagain besar saja mendengar point-point isi putusan, diantaranya gugatan penggugat konvensi diterima sebagian dan gugatan rekonvensi ditolak.

“Ketua majelis hakim membaca putusan sangat pelan sekali dan tidak kedengaran apa yang dibacakan oleh pihak-pihak yang hadir di persidangan. Kami sangat keberatan atas sikap ketua majelis yang membacakan putusan dengan tidak jelas tersebut karena tidak sesuai dengan hukum acara peradilan,” tegasnya.

Ia menyampaikan, sedari awal pihaknya juga sudah menduga ada kejanggalan pembacaan putusan perkara No.528/Pdt.G/2022/PN.Mdn yang didaftarkan Juli 2022 itu. Sebab, sudah berulang kali penundaan pembacaan putusan sejak kesimpulan diserahkan 4 Mei 2023 dan agenda putusan direncanakan dibacakan 23 Mei 2023, kemudian ditunda pembacaan putusan pada 6 Juni 2023 dan kemudian ditunda lagi 7 Juli 2023.

Lebih jauh disampaikannya, perkara No.528/Pdt.G/2022/PN.Mdn, adalah tentang kepemilikan tanah seluas lebih ±2 ha di Jalan Gagak Hitam Raya, Medan, tepatnya di samping Hotel Saka Sei Sikambing B, Medan.

Penggugat memiliki tanah itu, dari ahli waris tanah berdasarkan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi. Namun tanah tersebut telah dikuasai oleh Tergugat yakni PT Surya Cemerlang Indah dengan cara menembok keliling tanah tersebut.

Berdasarkan fakta persidangan, kata dia, Tergugat memperoleh tanah tersebut dari Raden Polfan alias Gek Lai dengan cara jual beli yang telah dilakukan pensertifikatan atas tanah tersebut, dan Raden Polfan mensertifikatkan tanah itu berdasarkan dari jual beli dari penggarap tanah yakni Sumardi, tahun 1992 yang didasarkan dari Surat Pernyataan Tanah yang dibuat pada 21 Februari 1992 dan kemudian dibuat Surat Keterangan atas Tanah oleh Lurah Kelurahan Sei Sikambing B pada 23 Februari 1992 dan ditandatangani Camat Medan Sunggal 23 Pebruari 1992.

“Kemudian dilakukan pelepasan hak atas tanah oleh Sumardi kepada Raden Polfan tanggal 19 Maret 1992 melalui Camat Medan Sunggal Asnul Harahap dan kemudian Camat Medan Sunggal menerbitkan Surat Keterangan Situasi Tanah tanggal 19 Maret 1992, selanjutnya dimohon Raden Polfan untuk disertifikatkan ke Kantor Pertanahan Kota Medan dan terbit Sertifikat HGB No. 693, 694, 695, 696/ Sei Sikambing B tanggal 2-11-2009,” jelasnya.

Kemudian, berdasarkan fakta persidangan yakni saksi dari Penggugat, telah menghadirkan saksi-saksi fakta yakni Suyitno yang sejak kecil tinggal di sekitar lokasi tanah dan kakek saksi juga mantan kepala lingkungan di lokasi tanah sejak tahun 1950an menyatakan Sumardi adalah penggarap tanah yang digugat Penggugat dan Sumardi meninggal dunia di Jawa pada tahun 1980an, saksi mengatakan bahwa saksi hadir saat Sumardi melakukan kenduri atau selamatan karena Sumardi mau pulang kampung ke Jawa yakni di Desa Penjatan Kulonprogo, Yogjakarta.

“Saksi-sksi fakta yang lainnya yakni Amir dan Nazaruddin juga mengatakan adalah penggarap tanah dan saksi Amir mengatakan mengenal pemilik tanah dan pernah ketemu yakni DT Nahari pada tahun 1960an sebelum adanya peristiwa G30S PKI,” sebutnya.

Atas fakta-fakta persidangan tersebut, Penggugat telah menuangkannya dalam Kesimpulan yakni Sumardi telah meninggal dunia tahun 1980an.

“Bagaimana Sumardi yang telah meninggal dunia dapat membuat Surat Pernyataan sebagai Penggarap tanah 21 Februari 1992? Bagaimana Sumardi yang sudah meninggal dunia tahun 1980an dapat melakukan pelepasan hak atas tanah grapan pada tanggal 19 Maret 1992 dengan Raden Polfan di hadapan Camat Medan Sunggal Asnul Harahap? Kemudian dalam kesimpulan juga dinyatakan bagaimana Surat Keterangan atas tanah yang dibuat oleh Lurah Sei Sikambing B & Camat Medan Sunggal pada tanggal 23 Pebruari 1992 pada hari libur lerja yakni pada hari Minggu?,” ujarnya.

Kemudian, Surat Keterangan atas tanah No. 097/SKT/II/1992 tanggal 23-02-1992 yang dibuat Lurah Sei Sikambing B dan Camat Medan Sunggal adalah tidak sah dan diduga palsu karena berdasarkan Surat Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 593/5707/SJ/1984 tanggal 22 Mei 1984 tentang Larangan Kepala Desa, Lurah atau Camat menerbitkan Surat Keterangan Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999.

“Atas peraturan ini, Penggugat mempertanyakan Tindakan Kantor Pertanahan Kota Medan (Turut Tergugat I) yang menerbitkan sertifkat di atas tanah milik Penggugat kepada Raden Polfan yang kemudian dijual kepada Tergugat (PT Surya Cemerlang) yang pada awalnya didaftarkan berdasarkan Surat Penyataan Penggarap, Surat Keterangan Tanah No. 097/SKT/II/1992 tanggal 23-02-1992 yang kemudian Pelepasan hak tanah Garapan oleh Sumardi yang telah meninggal dunia tahun 1980an,” pungkasnya. (man)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/