26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Soal Terbitnya SE Larangan Menikah Beda Agama, MA Tegaskan Upaya Kesatuan Penerapan Hukum

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 2/2023 soal larangan pengadilan memutuskan pernikahan beda agana, menuai respon pro dan kontra di masyarakat. MA akhirnya angkat bicara soal keluarnya surat edaran tersebut. Diantara pertimbangannya adalah sebagai upaya kesatuan penerapan hukum.

Informasi itu disampaikan langsung Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suharto. Dia mengatakan, tujuan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 2/2023 untuk memberi petunjuk kepada para hakim atas perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. “Tujuannya jelas, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum,” ungkap dia kepada awak media di Jakarta, kemarin (20/7).

Menurut Suharto, SEMA itu merujuk pada ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. “Sesuai fungsi MA,” imbuhnya.

Persisnya UU nomor 3 tahun 2009 tentang MA. “Lihat pasal 32 UU nomor 14 tahun 1985 yang tidak diubah dalam UU nomor 5 tahun 2004, tapi kemudian pasal 32 diubah dalam UU nomor 3 tahun 2009,” beber dia.

Dalam pasal 32 UU nomor terdapat lima ayat. Yang salah satunya berbunyi MA berwenang memberi petunjuk, teguran atau peringatan.

Secara terperinci, Suharto mengungkapkan bahwa hal itu tercantum dalam UU Nomor 3 tahun 2009 pasal 32 ayat (4). “Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya,” kata dia.

Namun demikian, dalam ayat (5) ditegaskan, pengawasan dan kewenangan MA sebagaimana diatur dalam pasal 32 tidak boleh mengurangi kebebasan.

Sementara itu masih adanya pernikahan beda agama selama ini, karena memanfaatkan celah regulasi di UU 23/2006 tentang Adminstrasi Kependudukan (Adminduk). Salah satu pasal di dalamnya pada intinya Dinas Dukcapil dibolehkan melakukan pencatatan pernikahan beda agama. Selama sudah diputuskan oleh hakin atau pengadilan.

Berbeda dengan UU 1/1974 tentang Perkawinan yang cenderung di bawah naungan Kementerian Agama, UU Adminduk itu menjadi domain Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mendagri Tito Karnavian menyampaikan sedikit pandangannya soal keluarnya SEMA tersebut. Mantan Kapolri itu mengatakan, beberapa kali kementerian yang dia pimpin sudah menyampaikan sikap soal pernikahan besa agama. “Prinsip utama dari Kemendagri adalah putusan pengadilan,” katanya di sela menghadiri Rakernas Apkasi di Kabupaten Tangerang, Banten kemarin.

Tito mengatakan ketika putusan pengadilan mengesahkan perkawinan beda agama, maka mau tidak mau Kemendagri atau Dinas Dukcapil harus melayani pencatatannya. Kemudian status nikah atau kawin dicantumkan di KTP pasangan yang bersangkutan. Sebaliknya ketika pengadilan menolak perkawinan beda agama, maka otomatis mereka juga tidak bisa mencantumkan status kawin di dalam KTP.

Di bagian lain, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Teguh Setyabudi mengatakan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2023 bersifat internal untuk jajaran pengadilan. “Ditujukan kepada para hakim/pengadilan,” ujarnya saat dikonfirmasi Jawa Pos.

Bagi Dukcapil, kerja pencatatan perkawinan mengacu pada regulasi yang ada. Yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam Pasal 35 huruf a dan penjelasannya disebutkan, perkawinan beda agama hanya dapat dicatatkan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Atas dasar itu, lanjut dia, jika pengadilan tidak memberi izin, pihaknya tidak akan memproses. “Tidak akan pernah ada pencatatan perkawinan beda agama di Dinas Dukcapil sepanjang pengadilan tidak mengabulkan permohonan perkawinan beda agama,” tuturnya.

Sementara itu dukungan terhadap SEMA itu kembali disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah M. Cholil Nafis memgatakan SEMA itu, wujud penghormatan MA terhadap ajaran agama-agama yang ada di Indonesia. Dia menuturkan, MUI terus berupaya menghalau dan menentang adanya praktik serta usaha pelegalan pernikahan beda agama. “Oleh karena itu (kita bisa) menegakkan agama dalam rangka menjaga entitas masing-masing, di saat bersamaan agama bisa menjadi sarana dan landasan menjaga keragaman,” katanya.

Cholil lantas memaparkan alasan dan perjuangan MUI itu. Menurutnya sikap MUI menentang nikah beda agama tidak hanya didorong ajaran normatif dalam agama. Selain itu, dalam kandungan konstitusi atau UU di Indonesia juga melarang nikah beda agama. Menurut dia, konstitusi menghargai adanya entitas ajaran agama masing-masing dari campur aduk dan pembauran. Sehingga larangan nikah beda agama adalah bentuk orisinalitas menjaga kemurnian ajaran antaragama.

Ke depannya, Cholil mengatakan keputusan MA itu harus dibarengi dengan kesiapan masyarakat. Yaitu kesiapan menghormati dan menerima perbedaan masing-masing sebagai kesepakatan bersama atau al-mitsaq al-wathani.

Sementara itu SETARA Institute menilai SEMA 2/2023 tidak kompatibel dengan kebhinekaan dan negara pancasila. Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menuturkan, Indonesia fakta obyektifnya memiliki keberagaman identitas warga negara, termasuk dalam segi agama. Seharusnya kondisi itu semakin mendorong penyelenggara negara untuk memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak yang lebih baik. “bukan hanya eksekutif da legislative, tapu juga yudikatif,” paparnya.

SEMA tersebut, lanjutnya, menegaskan kembali memburuknya situasi demokrasi Indonesia. Yang dalam lima tahun terakhir mengalami deficit. “APalagi SEMA ini terbit akibat dorongan dari politisi, yang sempat mendatangi MA,” ujarnya.

Menurutnya, SEMA itu seharusnya bersifat internal dan sebatas administrasi peradilan. Namun, justru menjadi instrument penyeragaman putusan pengadilan. “Ini mengekang kebabasan hakim dalam melakukan pembuktian, tafsiran dan mengambil keputusan seadil-adilnya dalam persidangan,” urainya.

Seharusnya, kewajiban negara dalam perkawinan antarwarganya bukan dalam pembatasan. Namun, menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara. “Kewajibannya hanya mencatat perkawinan warga negara,” urainya.

Dia menuturkan, mendesak Ketua MA untuk berani mencabut SEMA tersebut. Sebab, tidak sesuai dengan kerohanian negara Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. “Ini juga bertentangan dengan asas kebebasan hakim,” paparnya.

Seperti diketahui SEMA Nomor 2/2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan resmi dikeluarkan oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin 17 Juli 2023. Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Setelah ada SEMA itu, para hakim harus berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan. Yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Kemudian pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. (syn/wan/far/idr/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 2/2023 soal larangan pengadilan memutuskan pernikahan beda agana, menuai respon pro dan kontra di masyarakat. MA akhirnya angkat bicara soal keluarnya surat edaran tersebut. Diantara pertimbangannya adalah sebagai upaya kesatuan penerapan hukum.

Informasi itu disampaikan langsung Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suharto. Dia mengatakan, tujuan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 2/2023 untuk memberi petunjuk kepada para hakim atas perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. “Tujuannya jelas, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum,” ungkap dia kepada awak media di Jakarta, kemarin (20/7).

Menurut Suharto, SEMA itu merujuk pada ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. “Sesuai fungsi MA,” imbuhnya.

Persisnya UU nomor 3 tahun 2009 tentang MA. “Lihat pasal 32 UU nomor 14 tahun 1985 yang tidak diubah dalam UU nomor 5 tahun 2004, tapi kemudian pasal 32 diubah dalam UU nomor 3 tahun 2009,” beber dia.

Dalam pasal 32 UU nomor terdapat lima ayat. Yang salah satunya berbunyi MA berwenang memberi petunjuk, teguran atau peringatan.

Secara terperinci, Suharto mengungkapkan bahwa hal itu tercantum dalam UU Nomor 3 tahun 2009 pasal 32 ayat (4). “Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya,” kata dia.

Namun demikian, dalam ayat (5) ditegaskan, pengawasan dan kewenangan MA sebagaimana diatur dalam pasal 32 tidak boleh mengurangi kebebasan.

Sementara itu masih adanya pernikahan beda agama selama ini, karena memanfaatkan celah regulasi di UU 23/2006 tentang Adminstrasi Kependudukan (Adminduk). Salah satu pasal di dalamnya pada intinya Dinas Dukcapil dibolehkan melakukan pencatatan pernikahan beda agama. Selama sudah diputuskan oleh hakin atau pengadilan.

Berbeda dengan UU 1/1974 tentang Perkawinan yang cenderung di bawah naungan Kementerian Agama, UU Adminduk itu menjadi domain Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mendagri Tito Karnavian menyampaikan sedikit pandangannya soal keluarnya SEMA tersebut. Mantan Kapolri itu mengatakan, beberapa kali kementerian yang dia pimpin sudah menyampaikan sikap soal pernikahan besa agama. “Prinsip utama dari Kemendagri adalah putusan pengadilan,” katanya di sela menghadiri Rakernas Apkasi di Kabupaten Tangerang, Banten kemarin.

Tito mengatakan ketika putusan pengadilan mengesahkan perkawinan beda agama, maka mau tidak mau Kemendagri atau Dinas Dukcapil harus melayani pencatatannya. Kemudian status nikah atau kawin dicantumkan di KTP pasangan yang bersangkutan. Sebaliknya ketika pengadilan menolak perkawinan beda agama, maka otomatis mereka juga tidak bisa mencantumkan status kawin di dalam KTP.

Di bagian lain, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Teguh Setyabudi mengatakan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2023 bersifat internal untuk jajaran pengadilan. “Ditujukan kepada para hakim/pengadilan,” ujarnya saat dikonfirmasi Jawa Pos.

Bagi Dukcapil, kerja pencatatan perkawinan mengacu pada regulasi yang ada. Yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam Pasal 35 huruf a dan penjelasannya disebutkan, perkawinan beda agama hanya dapat dicatatkan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Atas dasar itu, lanjut dia, jika pengadilan tidak memberi izin, pihaknya tidak akan memproses. “Tidak akan pernah ada pencatatan perkawinan beda agama di Dinas Dukcapil sepanjang pengadilan tidak mengabulkan permohonan perkawinan beda agama,” tuturnya.

Sementara itu dukungan terhadap SEMA itu kembali disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah M. Cholil Nafis memgatakan SEMA itu, wujud penghormatan MA terhadap ajaran agama-agama yang ada di Indonesia. Dia menuturkan, MUI terus berupaya menghalau dan menentang adanya praktik serta usaha pelegalan pernikahan beda agama. “Oleh karena itu (kita bisa) menegakkan agama dalam rangka menjaga entitas masing-masing, di saat bersamaan agama bisa menjadi sarana dan landasan menjaga keragaman,” katanya.

Cholil lantas memaparkan alasan dan perjuangan MUI itu. Menurutnya sikap MUI menentang nikah beda agama tidak hanya didorong ajaran normatif dalam agama. Selain itu, dalam kandungan konstitusi atau UU di Indonesia juga melarang nikah beda agama. Menurut dia, konstitusi menghargai adanya entitas ajaran agama masing-masing dari campur aduk dan pembauran. Sehingga larangan nikah beda agama adalah bentuk orisinalitas menjaga kemurnian ajaran antaragama.

Ke depannya, Cholil mengatakan keputusan MA itu harus dibarengi dengan kesiapan masyarakat. Yaitu kesiapan menghormati dan menerima perbedaan masing-masing sebagai kesepakatan bersama atau al-mitsaq al-wathani.

Sementara itu SETARA Institute menilai SEMA 2/2023 tidak kompatibel dengan kebhinekaan dan negara pancasila. Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menuturkan, Indonesia fakta obyektifnya memiliki keberagaman identitas warga negara, termasuk dalam segi agama. Seharusnya kondisi itu semakin mendorong penyelenggara negara untuk memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak yang lebih baik. “bukan hanya eksekutif da legislative, tapu juga yudikatif,” paparnya.

SEMA tersebut, lanjutnya, menegaskan kembali memburuknya situasi demokrasi Indonesia. Yang dalam lima tahun terakhir mengalami deficit. “APalagi SEMA ini terbit akibat dorongan dari politisi, yang sempat mendatangi MA,” ujarnya.

Menurutnya, SEMA itu seharusnya bersifat internal dan sebatas administrasi peradilan. Namun, justru menjadi instrument penyeragaman putusan pengadilan. “Ini mengekang kebabasan hakim dalam melakukan pembuktian, tafsiran dan mengambil keputusan seadil-adilnya dalam persidangan,” urainya.

Seharusnya, kewajiban negara dalam perkawinan antarwarganya bukan dalam pembatasan. Namun, menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara. “Kewajibannya hanya mencatat perkawinan warga negara,” urainya.

Dia menuturkan, mendesak Ketua MA untuk berani mencabut SEMA tersebut. Sebab, tidak sesuai dengan kerohanian negara Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. “Ini juga bertentangan dengan asas kebebasan hakim,” paparnya.

Seperti diketahui SEMA Nomor 2/2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan resmi dikeluarkan oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin 17 Juli 2023. Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Setelah ada SEMA itu, para hakim harus berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan. Yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Kemudian pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. (syn/wan/far/idr/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/