26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Batik Ecoprint, Manfaatkan Daun sebagai Pewarna Alami

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Windi Wistiani, warga Gang BPJS, Lingkungan 10, Kelurahan Tanah 600, Medan Marelan ini, sudah hampir 3 tahun menekuni kerajinan batik ecoprint. Batik ecoprint ini merupakan salah satu jenis batik yang metode pembuatannya memanfaatkan pewarna alami dari tanin atau zat warna daun, akar atau batang yang diletakkan pada sehelai kain, kemudian kain tersebut direbus.

“Dari daun jati, daun Ketapang, daun mangga, dan juga daun secang.Teknik Ecoprint ini berbahan dasar jenis kain mulai dari Kain Katun Jepang, Kain Tenun Badui, Kain Sutra, dan Kain Renda, Namun Kain tenun Badui yang paling banyak diminati oleh konsumen,” ucapnya kepada wartawan koran ini.

Windi mengatakan, untuk pemilihan kainnya sendiri harus berasal dari serat alami agar warna yang dihasilkan dari tanin daun mampu meresap sempurna dan tahan lama, dengan kain dan bahan warna

alami akan mengurangi resiko kesehatan seperti alergi, bahkan pencemaran lingkungan dari proses pembuatan.

“Ya seperti yang saya bilang, daun yang digunakan dapat ditemui hampir di seluruh Indonesia sebagai ciri khas flora Indonesia, seperti kayu secang, akar dan daun mengkudu, daun jati, daun jarak, serta daun ketapang,” kata dia.

Untuk memulai teknik ini, lanjutnya, kain direndam terlebih dahulu selama satu hari satu malam di dalam air tawar, kemudian setelah direndam k dalam keadaan lembab, tempelkan daun sesuai dengan daun apa yang mau dibuat, ditempel, lalu kain dilipat selama beberapa menit, dan terlihat nantin hasilnya. “Daun yang kita tempel tadi akan terlihat seperti sablon, itulah yang dinamakan ecoprint tadi,” ujarnya.

Windi menambahkan, selain ecoprint tadi, ada juga teknik ecofounding, yaitu teknik menempel bunga atau daun, kepermukaan kain, lalu daun tadi ditutup dengan plastik, kemudian dipukul pelan pelan menggunakan paku atau batu, hasilnya hampir sama dengan teknik ecoprint tadi.

Soal harga, kata Windi, ia tidak mematok harga tinggi. Ia hanya mematok harga berdasarkan dengan harga jenis kain yang digunakan. Misalnya, kain tenun Badui ukuran permeter harganya sekitar Rp150 ribu. “Ada juga konsumen yang membawa kain sendiri, lalu minta dibuatkan ecoprint di kainnya,” tuturnya.

Ia berharap ke depan, Pemko maupun kecamatan lebih peduli lagi dengan UMKM. “Alhamdulillah dari pihak kecamatan semalam datang untuk melihat dan kita juga termasuk bagian dari binaan dari UMKM kecamatan itu sendiri,” ucapnya bersyukur. (mag-1/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Windi Wistiani, warga Gang BPJS, Lingkungan 10, Kelurahan Tanah 600, Medan Marelan ini, sudah hampir 3 tahun menekuni kerajinan batik ecoprint. Batik ecoprint ini merupakan salah satu jenis batik yang metode pembuatannya memanfaatkan pewarna alami dari tanin atau zat warna daun, akar atau batang yang diletakkan pada sehelai kain, kemudian kain tersebut direbus.

“Dari daun jati, daun Ketapang, daun mangga, dan juga daun secang.Teknik Ecoprint ini berbahan dasar jenis kain mulai dari Kain Katun Jepang, Kain Tenun Badui, Kain Sutra, dan Kain Renda, Namun Kain tenun Badui yang paling banyak diminati oleh konsumen,” ucapnya kepada wartawan koran ini.

Windi mengatakan, untuk pemilihan kainnya sendiri harus berasal dari serat alami agar warna yang dihasilkan dari tanin daun mampu meresap sempurna dan tahan lama, dengan kain dan bahan warna

alami akan mengurangi resiko kesehatan seperti alergi, bahkan pencemaran lingkungan dari proses pembuatan.

“Ya seperti yang saya bilang, daun yang digunakan dapat ditemui hampir di seluruh Indonesia sebagai ciri khas flora Indonesia, seperti kayu secang, akar dan daun mengkudu, daun jati, daun jarak, serta daun ketapang,” kata dia.

Untuk memulai teknik ini, lanjutnya, kain direndam terlebih dahulu selama satu hari satu malam di dalam air tawar, kemudian setelah direndam k dalam keadaan lembab, tempelkan daun sesuai dengan daun apa yang mau dibuat, ditempel, lalu kain dilipat selama beberapa menit, dan terlihat nantin hasilnya. “Daun yang kita tempel tadi akan terlihat seperti sablon, itulah yang dinamakan ecoprint tadi,” ujarnya.

Windi menambahkan, selain ecoprint tadi, ada juga teknik ecofounding, yaitu teknik menempel bunga atau daun, kepermukaan kain, lalu daun tadi ditutup dengan plastik, kemudian dipukul pelan pelan menggunakan paku atau batu, hasilnya hampir sama dengan teknik ecoprint tadi.

Soal harga, kata Windi, ia tidak mematok harga tinggi. Ia hanya mematok harga berdasarkan dengan harga jenis kain yang digunakan. Misalnya, kain tenun Badui ukuran permeter harganya sekitar Rp150 ribu. “Ada juga konsumen yang membawa kain sendiri, lalu minta dibuatkan ecoprint di kainnya,” tuturnya.

Ia berharap ke depan, Pemko maupun kecamatan lebih peduli lagi dengan UMKM. “Alhamdulillah dari pihak kecamatan semalam datang untuk melihat dan kita juga termasuk bagian dari binaan dari UMKM kecamatan itu sendiri,” ucapnya bersyukur. (mag-1/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/