MEDAN, SUMUTPOS.CO – Partai Politik pada Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2024 menurunkan line Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) berasal dari luar Sumatera Utara. Hal ini, menjadi warna tersendiri dalam merebutkan kursi di DPR RI untuk periode 2024-2029.
Pengamat Politik asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar menilai meski tidak ada larangan, secara verbatim dalam regulasi Indonesia. Bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari partai mana saja dan di dapil mana saja dia mau.
“Namun, secara moral dan nilai demokrasi tidak berarti orang bisa sebebas itu. Mengapa?. Pertama, pemilu itu adalah sarana penting dan satu-satunya untuk menentukan secara demokratis siapa yang layak,” ucap Shohibul saat dikonfirmasi Sumut Pos, Jumat (25/8/2023).
Ia mengatakan jika bisa menjadi orang terbaik, untuk menjadi wakil yang didudukkan di lembaga legislatif dengan 3 tugas pokok, proses dan mekanisme pembuatan legislasi, perumusan anggaran dan pengawasan.
“Kedua, dengan praktik ini partai-partai dan para caleg itu dengan tega telah mereduksi nilai demokrasi menjadi sebatas kalkulasi kuantitatif belaka. Partai mengalihkan perhatian agar tak usah memikirkan kualitas caleg. Karena itu partai dan caleg itu wajib diajarkan kembali makna substantif wakil dan perwakilan dalam demokrasi Indonesia,” jelas Dosen FISIP UMSU itu.
Ia mengungkapkan ada syarat kebathinan kewakilan, dalam arti seseorang yang terorbit menjadi wakil itu adalah cerminan dan gambaran utuh dari rakyat yang diwakilinya. Ia adalah, kurang lebih, intelektual publik yang secara organik tak dapat terpisahkan dari rakyat yang diwakilinya.
“Ketiga, dengan fenomena ini juga menjadi terjelaskan secara terang-benderang bahwa partai dan caleg itu memiliki asumsi berpeluang menang meski tak mengenal rakyat di dapilnya dan begitu juga sebaliknya. Pada titik ini civil society sangat penting bertanya, metode apa yang akan digunakan untuk memenangkan perebutan kursi yang amat terbatas itu? Mungkin metode paling buruk politik uang,” katanya.
Keempat, Ia menjelaskan hal ini adalah malapetaka besar yang akarnya ada pada buruknya legal framework demokrasi dan politik Indonesia.
“Kelima, secara lebih berterus terang partai memperagakan oligarki politik kepartaian yang membayakan demokrasi dan menjemput kepastian penelantaran urusan rakyat dalam bernegara,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa oligarki kepartaian adalah budaya politik anti demokrasi bermantel formal demokrasi. Sehingga masyarakat diimbau untuk mencari sosok yang layak menjadi wakilnya di DPR RI kedepankan.
“Apa yang harus dilakukan? Rakyat harus dibekali untuk tak tergoda memilih orang asing di dapilnya karena kelak tak akan peduli nasib mereka. Seberapa pun uang yang ditebar, terima saja lah jika memang terpaksa. Namun jangan terikat apalagi merasa terpaksa untuk memilihnya,” tandasnya.(gus/ram)