29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

20 Maret, Hasil Pemilu Sudah Diketahui

SUMUTPOS.CO – Jadwal pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak direncanakan maju. Dari semula November menjadi September 2024. Tapi, kepastiannya masih menunggu pembahasan Perppu antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu. Yang jelas, Perppu itu sudah diajukan Mendagri Tito Karnavian.

KETUA KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan, secara teknis tahapan, Pilkada serentak dapat digelar pada September 2024. Sebab, hasil Pileg 2024 yang perhitungan kursinya digunakan dalam pencalonan pilkada diprediksi sudah diketahui pada Maret. “Tanggal 20 Maret 2024 bisa diketahui partai apa dapat suara berapa, atau dapat kursi berapa di DPRD provinsi atau kabupaten/kota,” ujar Hasyim usai pelantikan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota di kantor KPU RI, kemarin (24/9).

Sesuai ketentuan, ambang batas untuk bisa mencalonkan pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah adalah 20 persen kursi DPRD. Nah, perhitungannya diambil dari hasil pemilu terakhir. Adapan tahapan pencalonan pilkada serentak itu diperkirakan akan dimulai pada Juni 2024.

Hasyim mengakui, dari sisi hukum, masih ada potensi sengketa terhadap hasil pileg di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, mengacu pada pengalaman sebelumnya, sengketa pileg itu lebih banyak terjadi di internal partai atau antarcaleg. “Jadi, kepastian tentang partai apa dapat suara berapa atau dapat kursi berapa di DPRD itu hampir bisa diketahui,” jelasnya.

Hasyim melanjutkan, pihaknya tengah melakukan sejumlah kajian teknis jika pilkada serentak dimajukan. Salah satunya terkait status petugas ad hoc di level panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS). Apakah menggunakan anggota yang sama atau berbeda. Di satu sisi, kalau menggunakan anggota atau panitia yang sama, maka tak perlu melakukan rekrutmen ulang. Namun, ada potensi beban ganda hingga persoalan administrasi. Sebab, menggunakan sumber pembiayaan yang berbeda. “Pemilu bersumber dari APBN, Pilkada bersumber dari APBD,” papar Hasyim.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menyatakan, pihaknya dapat memahami alasan pemerintah untuk memajukan pilkada serentak 2024. Namun, ada beberapa catatan yang menjadi dampak kebijakan itu dan perlu diantisipasi. “Misalnya, soal anggaran. Begitu pilkada dimajukan, otomatis anggaran untuk pengawasan harus segera selesai,” ucapnya.

Kemudian, dari sisi pengamanan. Lolly menyebut, harus dipastikan aparat menyanggupi jika beririsan dengan tahapan Pemilu. Untuk aspek teknis lainnya, Lolly masih menunggu detail aturan dalam Perppu. Sebab, Perppu itulah yang menjadi dasar pelaksanaan memajukan Pilkada. “Kita tunggu. Karena ini masih dalam proses diskusi yang berlanjut,” tuturnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga bakal calon wakil presiden (Bacawapres) Koalisi Perubahan, Muhaimin Iskandar menyebut, partainya menolak wacana Pilkada 2024 dipercepat. “Sebenarnya PKB menolak pemajuan Pilkada,” kata Cak Imin, Sabtu (23/9).

Namun, Cak Imin menyerahkan sepenuhnya kepada Fraksi PKB di DPR. Pihaknya belum menentukan sikap secara resmi. “Sepenuhnya fraksi, apakah disepakati maju atau tetap jadwal,” bebernya Sebelumnya, Mendagri resmi mengusulkan Pilkada serentak dimajukan. Salah satu pertimbangannya adalah keselarasan pemerintahan. Dengan digelar September, pihaknya berharap semua daerah bisa mendapatkan nama kepala daerah terpilih di akhir tahun. Lalu, serentak dilantik pada 1 Januari 2025.

Pj Kepala Daerah tak Boleh Maju

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan, Penjabat (Pj) kepala daerah tidak boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Menurut Komisioner KPU RI Idham Holik, aturan tersebut bukan wacana baru, bahkan telah diundangkan.

Disebutnya, aturan tersebut telah tercantum pada Undang-undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU. “UU tersebut telah diundangkan sejak 1 Juli 2016. Artinya, bukan wacana baru, sudah ada sejak lama dan norma tersebut telah diimplementasikan pada Pilkada Serentak 2017, 2018, dan 2020,” ujar Idham, Sabtu (23/9).

Idham menuturkan, Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur ketentuan di mana seorang bakal calon kepala daerah atau bakal calon wakil kepala daerah tidak berstatus sebagai penjabat (Pj) kepala daerah. Ia juga mengatakan, penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi: Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil wali kota.

“Ketentuan tersebut merupakan norma yang memitigasi potensi abuse of power. UU Pilkada ingin menjaga terwujudnya kepemimpinan pemerintah daerah yang berintegritas pada saat dipimpin oleh penjabat kepala daerah,” jelas Idham. Lebih lanjut, Idham mengatakan, KPU akan melakukan sosialisasi ketentuan yang telah diatur tersebut.

Sebelumnya, Bawaslu mendorong pembuatan aturan Pj kepala daerah tak boleh ikut Pilkada 2024. Hal itu disampaikan Plt Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Bawaslu Rahmat Jaya Parlindungan Siregar pada peluncuran pemetaan kerawanan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 di Manado, Sulawesi Utara, Kamis, (21/9) lalu. Menurut Rahmat, pada dasarnya Pj itu bukan pejabat politik, tetapi pejabat administratif yang bertugas melaksanakan pelayanan pemerintahan di daerah.

Rahmat mengklaim, mendengar kabar angin atau diskusi soal adanya Pj yang akan maju pada Pilkada 2024. Menurutnya, para Pj ini berpotensi melakukan investasi infrastruktur politik ketika menjabat. “Apakah itu perlu diperhatikan. Misalnya, kalau itu dibangun sebagai infrastruktur politik untuk ke depan, maka mungkinkah kita harus berpikir bahwa ada aturan yang mempertegas pejabat pemerintah yang posisinya sebagai Pj itu misalnya ditegaskan dalam aturan legal-formalnya tidak boleh maju di dalam Pilkada berikutnya,” kata Rahmat dikutip dari YouTube Bawaslu RI, Jumat (22/9).

“Karena itu berpotensi terhadap isu yang hari ini akan kita launching tentang netralitas ASN,” sambung Rahmat.

Dia mengatakan meski belum terjadi, hal itu menjadi indikasi yang cukup kuat dan perlu menjadi catatan dalam proses dialektika demokrasi ke depan. (far/c18/hud/jpg/cnn/adz)

SUMUTPOS.CO – Jadwal pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak direncanakan maju. Dari semula November menjadi September 2024. Tapi, kepastiannya masih menunggu pembahasan Perppu antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu. Yang jelas, Perppu itu sudah diajukan Mendagri Tito Karnavian.

KETUA KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan, secara teknis tahapan, Pilkada serentak dapat digelar pada September 2024. Sebab, hasil Pileg 2024 yang perhitungan kursinya digunakan dalam pencalonan pilkada diprediksi sudah diketahui pada Maret. “Tanggal 20 Maret 2024 bisa diketahui partai apa dapat suara berapa, atau dapat kursi berapa di DPRD provinsi atau kabupaten/kota,” ujar Hasyim usai pelantikan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota di kantor KPU RI, kemarin (24/9).

Sesuai ketentuan, ambang batas untuk bisa mencalonkan pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah adalah 20 persen kursi DPRD. Nah, perhitungannya diambil dari hasil pemilu terakhir. Adapan tahapan pencalonan pilkada serentak itu diperkirakan akan dimulai pada Juni 2024.

Hasyim mengakui, dari sisi hukum, masih ada potensi sengketa terhadap hasil pileg di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, mengacu pada pengalaman sebelumnya, sengketa pileg itu lebih banyak terjadi di internal partai atau antarcaleg. “Jadi, kepastian tentang partai apa dapat suara berapa atau dapat kursi berapa di DPRD itu hampir bisa diketahui,” jelasnya.

Hasyim melanjutkan, pihaknya tengah melakukan sejumlah kajian teknis jika pilkada serentak dimajukan. Salah satunya terkait status petugas ad hoc di level panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS). Apakah menggunakan anggota yang sama atau berbeda. Di satu sisi, kalau menggunakan anggota atau panitia yang sama, maka tak perlu melakukan rekrutmen ulang. Namun, ada potensi beban ganda hingga persoalan administrasi. Sebab, menggunakan sumber pembiayaan yang berbeda. “Pemilu bersumber dari APBN, Pilkada bersumber dari APBD,” papar Hasyim.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menyatakan, pihaknya dapat memahami alasan pemerintah untuk memajukan pilkada serentak 2024. Namun, ada beberapa catatan yang menjadi dampak kebijakan itu dan perlu diantisipasi. “Misalnya, soal anggaran. Begitu pilkada dimajukan, otomatis anggaran untuk pengawasan harus segera selesai,” ucapnya.

Kemudian, dari sisi pengamanan. Lolly menyebut, harus dipastikan aparat menyanggupi jika beririsan dengan tahapan Pemilu. Untuk aspek teknis lainnya, Lolly masih menunggu detail aturan dalam Perppu. Sebab, Perppu itulah yang menjadi dasar pelaksanaan memajukan Pilkada. “Kita tunggu. Karena ini masih dalam proses diskusi yang berlanjut,” tuturnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga bakal calon wakil presiden (Bacawapres) Koalisi Perubahan, Muhaimin Iskandar menyebut, partainya menolak wacana Pilkada 2024 dipercepat. “Sebenarnya PKB menolak pemajuan Pilkada,” kata Cak Imin, Sabtu (23/9).

Namun, Cak Imin menyerahkan sepenuhnya kepada Fraksi PKB di DPR. Pihaknya belum menentukan sikap secara resmi. “Sepenuhnya fraksi, apakah disepakati maju atau tetap jadwal,” bebernya Sebelumnya, Mendagri resmi mengusulkan Pilkada serentak dimajukan. Salah satu pertimbangannya adalah keselarasan pemerintahan. Dengan digelar September, pihaknya berharap semua daerah bisa mendapatkan nama kepala daerah terpilih di akhir tahun. Lalu, serentak dilantik pada 1 Januari 2025.

Pj Kepala Daerah tak Boleh Maju

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan, Penjabat (Pj) kepala daerah tidak boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Menurut Komisioner KPU RI Idham Holik, aturan tersebut bukan wacana baru, bahkan telah diundangkan.

Disebutnya, aturan tersebut telah tercantum pada Undang-undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU. “UU tersebut telah diundangkan sejak 1 Juli 2016. Artinya, bukan wacana baru, sudah ada sejak lama dan norma tersebut telah diimplementasikan pada Pilkada Serentak 2017, 2018, dan 2020,” ujar Idham, Sabtu (23/9).

Idham menuturkan, Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur ketentuan di mana seorang bakal calon kepala daerah atau bakal calon wakil kepala daerah tidak berstatus sebagai penjabat (Pj) kepala daerah. Ia juga mengatakan, penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi: Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil wali kota.

“Ketentuan tersebut merupakan norma yang memitigasi potensi abuse of power. UU Pilkada ingin menjaga terwujudnya kepemimpinan pemerintah daerah yang berintegritas pada saat dipimpin oleh penjabat kepala daerah,” jelas Idham. Lebih lanjut, Idham mengatakan, KPU akan melakukan sosialisasi ketentuan yang telah diatur tersebut.

Sebelumnya, Bawaslu mendorong pembuatan aturan Pj kepala daerah tak boleh ikut Pilkada 2024. Hal itu disampaikan Plt Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Bawaslu Rahmat Jaya Parlindungan Siregar pada peluncuran pemetaan kerawanan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 di Manado, Sulawesi Utara, Kamis, (21/9) lalu. Menurut Rahmat, pada dasarnya Pj itu bukan pejabat politik, tetapi pejabat administratif yang bertugas melaksanakan pelayanan pemerintahan di daerah.

Rahmat mengklaim, mendengar kabar angin atau diskusi soal adanya Pj yang akan maju pada Pilkada 2024. Menurutnya, para Pj ini berpotensi melakukan investasi infrastruktur politik ketika menjabat. “Apakah itu perlu diperhatikan. Misalnya, kalau itu dibangun sebagai infrastruktur politik untuk ke depan, maka mungkinkah kita harus berpikir bahwa ada aturan yang mempertegas pejabat pemerintah yang posisinya sebagai Pj itu misalnya ditegaskan dalam aturan legal-formalnya tidak boleh maju di dalam Pilkada berikutnya,” kata Rahmat dikutip dari YouTube Bawaslu RI, Jumat (22/9).

“Karena itu berpotensi terhadap isu yang hari ini akan kita launching tentang netralitas ASN,” sambung Rahmat.

Dia mengatakan meski belum terjadi, hal itu menjadi indikasi yang cukup kuat dan perlu menjadi catatan dalam proses dialektika demokrasi ke depan. (far/c18/hud/jpg/cnn/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/