26 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

FH USU: Kasus Pulau Rempang Batam, Akibat Ketidakpastian Hukum Atas Tanah Ulayat

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut  mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).

Maka Hak Ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, merupakan hak masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, untuk mengambil manfaat dari sumber daya agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) menjadi pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

“Artinya, masyarakat adat di wilayah tertentu mempunyai hak dan wewenang atas lingkungan yang ada di wilayah mereka dan hal ini diakui dalam Undang-Undang Dasar Negara Repbulik    Indonesia,” kata Mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Hukum USU, Ivana Novrinda Rambe SH MH, Senin (18/12).

Menurutnya, hak atas lingkungan yang ada di wilayah masyarakat itu salah satunya adalah tanah yang dalam undang-undang terdapat istilah Tanah Ulayat. Tanah ulayat adalah tanah yang dikuasai oleh Masyarakat adat secara terus menerus.

Namun, lanjutnya, yang menjadi permasalahan dalam hak ulayat seperti kepemilikan ataupun penguasaan tanah, bahwa tidak ada aturan hukum lebih lanjut yang mengatur terkait kepemilikan tanah ulayat. Sedang dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

“Hal ini menimbulkan konflik tumpang tindih kepentingan atas tanah, seperti yang terjadi pada kasus di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau,” sebutnya.

Dijelaskannya, pada konflik Rempang, masyarakat adat di Pulau Rempang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut dan beberapa suku lainnya mengatakan, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh.

Pengakuan ini, sambung Ivana, memang sesuai dengan pengertian hak ulayat, bahwa hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), di mana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).

“Namun pada sekitar tahun 2001-2002 Pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan, atas tanah Batam untuk program investasi, yaitu program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura,” bebernya.

Sehingga, paparnya, jika sebuah tanah adat telah diberikan alas hak di atas tanah tersebut, maka tanah tersebut tidak lagi dapat diklaim ulayat sebagai tanah masyarakat adat karena sifat dari tanah ulayat adalah kepunyaan bersama yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sedangkan, jika sebuah tanah diberi alas hak dalam hal ini HGU, maka tanah tersebut bersifat komersil bukan lagi kepemilikan bersama.

“Dari konflik Rempang tersebut, yang menjadi permasalahan adalah jika Pemerintah telah mengklaim memberikan alas hak berupa HGU kepada sebuah perusahaan, dapat dipertanyakan bagaimana proses pemberian HGU tersebut, yang mana masyarakat adat di Pulau Rempang masih mengklaim jika wilayah tersebut adalah hak masyarakat adat setempat,” tandasnya. (dwi)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut  mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).

Maka Hak Ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, merupakan hak masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, untuk mengambil manfaat dari sumber daya agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) menjadi pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

“Artinya, masyarakat adat di wilayah tertentu mempunyai hak dan wewenang atas lingkungan yang ada di wilayah mereka dan hal ini diakui dalam Undang-Undang Dasar Negara Repbulik    Indonesia,” kata Mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Hukum USU, Ivana Novrinda Rambe SH MH, Senin (18/12).

Menurutnya, hak atas lingkungan yang ada di wilayah masyarakat itu salah satunya adalah tanah yang dalam undang-undang terdapat istilah Tanah Ulayat. Tanah ulayat adalah tanah yang dikuasai oleh Masyarakat adat secara terus menerus.

Namun, lanjutnya, yang menjadi permasalahan dalam hak ulayat seperti kepemilikan ataupun penguasaan tanah, bahwa tidak ada aturan hukum lebih lanjut yang mengatur terkait kepemilikan tanah ulayat. Sedang dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

“Hal ini menimbulkan konflik tumpang tindih kepentingan atas tanah, seperti yang terjadi pada kasus di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau,” sebutnya.

Dijelaskannya, pada konflik Rempang, masyarakat adat di Pulau Rempang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut dan beberapa suku lainnya mengatakan, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh.

Pengakuan ini, sambung Ivana, memang sesuai dengan pengertian hak ulayat, bahwa hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), di mana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).

“Namun pada sekitar tahun 2001-2002 Pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan, atas tanah Batam untuk program investasi, yaitu program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura,” bebernya.

Sehingga, paparnya, jika sebuah tanah adat telah diberikan alas hak di atas tanah tersebut, maka tanah tersebut tidak lagi dapat diklaim ulayat sebagai tanah masyarakat adat karena sifat dari tanah ulayat adalah kepunyaan bersama yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sedangkan, jika sebuah tanah diberi alas hak dalam hal ini HGU, maka tanah tersebut bersifat komersil bukan lagi kepemilikan bersama.

“Dari konflik Rempang tersebut, yang menjadi permasalahan adalah jika Pemerintah telah mengklaim memberikan alas hak berupa HGU kepada sebuah perusahaan, dapat dipertanyakan bagaimana proses pemberian HGU tersebut, yang mana masyarakat adat di Pulau Rempang masih mengklaim jika wilayah tersebut adalah hak masyarakat adat setempat,” tandasnya. (dwi)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/