30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mbah Surip Lokal untuk Garuda

Akan ada hiruk pikuk lagi di BUMN beberapa hari mendatang. Di samping soal interpelasi, akan ada heboh soal penjualan saham Garuda dan susunan direksi baru perusahaan penerbangan itu. Akan ada juga heboh-heboh soal gula dan tebu. Lalu, segera menyusul kehebohan soal direksi Telkom. Tentu itu belum semuanya. Kehebohan-kehebohan lain bisa saja akan terus menyusul.

Mengapa soal saham Garuda akan heboh? Ini boleh dikata merupakan ‘heboh turunan’. Sejak penjualan perdana saham Garuda ke publik setahun yang lalu memang sudah heboh: Rp750 per lembar saham dianggap terlalu mahal.

Akibatnya, tiga perusahaan grup BUMN yang harus membeli 10 persen saham Garuda waktu itu langsung kelimpungan. Sebab, sesaat setelah IPO, harga saham Garuda nyungsep menjadi hanya Rp570 per lembar. Bahkan, pernah tinggal Rp395 per lembar!

Tiga perusahaan sekuritas milik BUMN itu (Danareksa, Bahana, Mandiri Sekuritas) tiba-tiba harus menanggung kerugian ratusan miliar rupiah. Lebih parah lagi, uang yang dipakai untuk membeli saham itu adalah uang pinjaman. Sudah rugi, harus membayar bunga pula. Tentu tiga perusahaan BUMN itu tidak akan kuat lama-lama memegang ‘saham panas’ tersebut. Kalau terlalu lama digenggam, saham panas itu akan membakar tubuh mereka: kolaps.
Itulah sebabnya, ketika menjabat menteri BUMN, saya langsung mengizinkan keinginan tiga perusahaan tersebut untuk segera melepas saham Garuda. Dalam bisnis, selalu ada prinsip ini: Rugi Rp200 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp400 miliar. Rugi Rp400 miliar lebih baik daripada rugi Rp600 miliar.

Yang terbaik tentu jangan sampai rugi. Tapi, hanya orang yang tidur seumur hidupnya yang tidak pernah rugi. Kalau saham panas itu harus segera dijual, kepada siapakah dilepas? Saya setuju dengan ulasan Kompas Jumat lalu: dijual kepada partner strategis. Yakni, perusahaan penerbangan internasional yang reputasinya baik, yang seperti lagunya Mbah Surip, akan bisa menggendong Garuda ke mana-mana.

Tiga perusahaan sekuritas tersebut tentu sudah melakukan itu. Bahkan, mereka sudah menawar-nawarkan ke berbagai investor internasional. Hasilnya nihil. Ada memang yang menawar, tapi maunya macam-macam: Harganya harus murah, tidak mau hanya 10 persen, dan banyak permintaan lain lagi.
Kalau itu dipenuhi, pasti menimbulkan kebisingan yang luar biasa: Mengapa dijual begitu murah?
Mengapa jatuh ke tangan asing?

Waktu untuk menunggu datangnya partner strategis juga terbatas. Kian lama menunggu, kian termehek-meheklah napas tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut: megap-megap. Itulah sebabnya, saya berinisiatif menghubungi lima perusahaan besar nasional. Saya kirimkan SMS kepada mereka berlima dengan bunyi yang sama (hanya saya ganti nama pengusahanya):

“Mohon pertolongan, berminatkah grup perusahaan Anda membeli saham Garuda yang dikuasai tiga sekuritas BUMN dengan harga pasar saat ini? Kasihan tiga sekuritas tersebut. Kalau tidak ada pengusaha dalam negeri yang ambil, tentu akan dibeli asing. Saya tahu ini kemahalan dan kurang menarik. Tapi, siapa tahu bisa bantu. Mohon gambaran berminat atau tidaknya. Salam.”

SMS itu saya kirim ke Nirwan Bakrie, CT, Sandiaga Uno, Rahmat Gobel, dan Anthony Salim.

Begitulah bunyi SMS saya kepada lima pengusaha itu. Saya tahu, tidak mudah bagi mereka untuk bisa membantu tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut. Dalam dunia bisnis pernah ada pemeo begini: Untuk jadi jutawan itu mudah. Jadilah miliarder dulu, lalu belilah perusahaan penerbangan, Anda akan segera jadi jutawan!”

Saya juga merasa, pasti akan ada permintaan macam-macam dari para calon investor itu. Sebuah permintaan yang dalam dunia bisnis memang sudah menjadi standar praktik sehari-hari: Diskon! Apalagi, mereka tahu bahwa tiga perusahaan sekuritas tersebut dalam posisi lemah: Help! help! help!

Dari lima penawaran saya itu, tiga pengusaha menyatakan berminat membantu. Lalu, kepada mereka saya sampaikan: Silakan hubungi langsung ke korporasi masing-masing. Tugas saya sebatas mencarikan calon pembeli. Setelah ada peminatnya, saya serahkan sepenuhnya agar mereka melakukan transaksi sendiri: Bagaimana caranya, seperti apa prosedurnya, berapa harganya, dan bagaimana cara memutuskannya. Silakan lakukan sesuai dengan prinsip yang diperbolehkan.

Tentu saya mengharapkan keajaiban. Saya tahu bahwa ‘tokoh membawa berita’ adalah salah satu doktrin jurnalistik. Karena tiga tokoh telah menyatakan minat membeli 10 persen saham Garuda yang ada di tiga sekuritas itu, berita di sekitar saham Garuda menjadi hangat. Tiba-tiba saja harga saham Garuda di lantai bursa seperti digoreng: melonjak menjadi Rp650-an dan terus terbang sampai Rp720 per lembar.
Tiba-tiba saja nilai perusahaan Garuda bertambah triliunan rupiah. Garuda sangat diuntungkan! Namun, tokoh-tokoh yang telanjur berminat itu menjadi empot-empotan. Tiba-tiba mereka harus membeli saham Garuda jauh lebih mahal daripada yang mereka bayangkan. Mereka tentu mengira akan membeli saham Garuda dengan harga Rp570 per lembar seperti yang saya tawarkan.

Tapi, dengan kenaikan harga saham Garuda di bursa yang begitu tinggi, masih maukah mereka membeli? Atau sebaliknya, masih maukah tiga sekuritas tersebut menjual? Bisa saja para pengusaha yang semula berminat tiba-tiba mengurungkan keinginannya. Sebaliknya, bisa saja justru tiga sekuritas kita yang tidak mau melepas, misalnya, menunggu siapa tahu harga saham tersebut masih terus menanjak.

Di sinilah kontroversi akan terjadi. Kehebohan akan muncul. Tiap-tiap pihak melontarkan pandangannya sendiri-sendiri.
Kalau dilepas sekarang dan kemudian harga saham ternyata masih naik, para pengamat akan mengecam habis-habisan: Kok dijual murah! Tapi, kalau tidak dilepas sekarang dan ternyata harga saham turun lagi (batalnya transaksi ini bisa saja memukul balik harga saham), para pengamat juga akan menggebuki tiga sekuritas tersebut.

Saya memilih untuk tidak mencampuri pilihan mana yang terbaik. Direksi tiga perusahaan tersebut adalah orang-orang yang sudah malang melintang di bidang itu. Mereka adalah orang-orang yang hebat. Yang penting: Putuskan! Risiko dikecam adalah bagian dari kehidupan yang sangat indah! Ambillah keputusan terbaik dengan fokus tujuan demi kejayaan perusahaan!

Kalau Anda menunda keputusan hanya karena takut heboh, perusahaanlah yang sulit. Kalau perusahaan menjadi sulit, banyak yang akan menderita. Orang-orang yang dulu mengecam itu (atau memuji itu) tidak akan ikut bersedih! Jadikan kecaman-kecaman itu bahan mengingatkan diri sendiri agar jangan ada main-main di sini. Takutlah pada permainan patgulipat!

Lalu, bagaimana dengan heboh pembentukan direksi baru Garuda? Itu pun rupanya juga heboh turunan. Bahkan, pergantian direksi Garuda beberapa tahun lalu bisingnya melebihi mesin 737-200. Di setiap pergantian direksi memang akan selalu muncul pertanyaan: Mengapa si A dipilih dan mengapa si B tidak? Padahal, keduanya sama-sama hebat.

Tentu yang terbaik adalah semua calon yang terbaik itu duduk di dalam satu tim direksi. Itu akan menjadi tim yang kuat.

Namun, adakalanya tidak semua orang hebat bisa duduk bersama-sama dalam satu tim yang hebat. Kalau dipaksakan pun, hasilnya bisa tidak baik. Orang Surabaya sering bergurau begini: Soto yang paling enak dicampur dengan rawon yang paling enak, rasanya justru jadi kacau!

Para star yang dipaksakan bergabung dalam satu tim belum tentu bisa memenangkan tujuan. Bahkan, bisa saja justru terjadi perang bintang di dalam tim itu.

Setidaknya bisa terjadi perang dingin di bawah selimut. Energi terlalu banyak terbuang untuk perang bintang (yang kelihatan maupun yang tersembunyi). Bahkan, lantaran yang bersitegang itu adalah atasan, bawahan mereka bisa-bisa ikut terbelah.

Dalam hal seperti itu saya mengutamakan terbentuknya sebuah tim yang kompak, serasi, saling melengkapi, dan solid. Toyotomi Hideyoshi bisa menjadi panglima yang menyatukan Jepang pada abad ke-16 dengan modal utamanya: kekompakan. Bahkan, dia sendiri mengakui bahwa dirinya bukan seorang yang ahli memainkan pedang. Karena itu, Hideyoshi mendapat gelar Samurai tanpa Pedang.

Tim direksi Garuda yang baru ini dibentuk dengan semangat itu. Juga dengan semangat menampilkan yang lebih muda. Presiden SBY sangat mendukung konsep pembentukan dream team di setiap BUMN.

Munculnya tim yang kuat di Garuda itu dan terjadinya transaksi 10 persen saham Garuda di tiga sekuritas BUMN mendapat sambutan yang luar biasa dari pasar modal. Saham Garuda hari itu bukan lagi naik, tapi meloncat. Bayangkan, berapa triliun rupiah pertambahan aset Garuda hari Jumat minggu kemarin itu.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang hebat yang tidak semuanya bisa masuk tim? Saya akan terus mengamati apakah mereka memang benar-benar hebat. Orang hebat adalah orang yang tetap hebat ketika gagal jadi direksi sekalipun. Orang yang benar-benar hebat adalah mereka yang mementingkan peran melebihi jabatan.

Kalau mereka bisa membuktikan diri tetap hebat dalam suasana duka sekalipun, saya harus memperhatikan orang-orang hebat dengan kepribadian hebat seperti itu: dijadikan direktur di tempat lain! Tapi, ketika orang hebat itu tiba-tiba menjadi orang yang frustrasi saat menjalani ujian hidup, berarti ternyata dia belum benar-benar hebat. Ingat: Atasan yang baik adalah atasan yang pernah menjadi bawahan yang baik!

Kini tim baru Garuda Indonesia dengan Dirut-nya yang tetap Emirsyah Satar harus bisa membuat Garuda terbang lebih tinggi. Garuda yang di Singapura kini sudah dipercaya menggunakan terminal 3 yang mewah itu harus tetap kerja, kerja, kerja dengan kreatif.

Tiga perusahaan sekuritas itu pun, yang sudah lebih setahun lamanya menderita, tidak terlalu galau lagi. Saya yakin “Mbah Surip lokal” juga akan bisa menggendong Garuda ke mana-mana. (*)

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Akan ada hiruk pikuk lagi di BUMN beberapa hari mendatang. Di samping soal interpelasi, akan ada heboh soal penjualan saham Garuda dan susunan direksi baru perusahaan penerbangan itu. Akan ada juga heboh-heboh soal gula dan tebu. Lalu, segera menyusul kehebohan soal direksi Telkom. Tentu itu belum semuanya. Kehebohan-kehebohan lain bisa saja akan terus menyusul.

Mengapa soal saham Garuda akan heboh? Ini boleh dikata merupakan ‘heboh turunan’. Sejak penjualan perdana saham Garuda ke publik setahun yang lalu memang sudah heboh: Rp750 per lembar saham dianggap terlalu mahal.

Akibatnya, tiga perusahaan grup BUMN yang harus membeli 10 persen saham Garuda waktu itu langsung kelimpungan. Sebab, sesaat setelah IPO, harga saham Garuda nyungsep menjadi hanya Rp570 per lembar. Bahkan, pernah tinggal Rp395 per lembar!

Tiga perusahaan sekuritas milik BUMN itu (Danareksa, Bahana, Mandiri Sekuritas) tiba-tiba harus menanggung kerugian ratusan miliar rupiah. Lebih parah lagi, uang yang dipakai untuk membeli saham itu adalah uang pinjaman. Sudah rugi, harus membayar bunga pula. Tentu tiga perusahaan BUMN itu tidak akan kuat lama-lama memegang ‘saham panas’ tersebut. Kalau terlalu lama digenggam, saham panas itu akan membakar tubuh mereka: kolaps.
Itulah sebabnya, ketika menjabat menteri BUMN, saya langsung mengizinkan keinginan tiga perusahaan tersebut untuk segera melepas saham Garuda. Dalam bisnis, selalu ada prinsip ini: Rugi Rp200 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp400 miliar. Rugi Rp400 miliar lebih baik daripada rugi Rp600 miliar.

Yang terbaik tentu jangan sampai rugi. Tapi, hanya orang yang tidur seumur hidupnya yang tidak pernah rugi. Kalau saham panas itu harus segera dijual, kepada siapakah dilepas? Saya setuju dengan ulasan Kompas Jumat lalu: dijual kepada partner strategis. Yakni, perusahaan penerbangan internasional yang reputasinya baik, yang seperti lagunya Mbah Surip, akan bisa menggendong Garuda ke mana-mana.

Tiga perusahaan sekuritas tersebut tentu sudah melakukan itu. Bahkan, mereka sudah menawar-nawarkan ke berbagai investor internasional. Hasilnya nihil. Ada memang yang menawar, tapi maunya macam-macam: Harganya harus murah, tidak mau hanya 10 persen, dan banyak permintaan lain lagi.
Kalau itu dipenuhi, pasti menimbulkan kebisingan yang luar biasa: Mengapa dijual begitu murah?
Mengapa jatuh ke tangan asing?

Waktu untuk menunggu datangnya partner strategis juga terbatas. Kian lama menunggu, kian termehek-meheklah napas tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut: megap-megap. Itulah sebabnya, saya berinisiatif menghubungi lima perusahaan besar nasional. Saya kirimkan SMS kepada mereka berlima dengan bunyi yang sama (hanya saya ganti nama pengusahanya):

“Mohon pertolongan, berminatkah grup perusahaan Anda membeli saham Garuda yang dikuasai tiga sekuritas BUMN dengan harga pasar saat ini? Kasihan tiga sekuritas tersebut. Kalau tidak ada pengusaha dalam negeri yang ambil, tentu akan dibeli asing. Saya tahu ini kemahalan dan kurang menarik. Tapi, siapa tahu bisa bantu. Mohon gambaran berminat atau tidaknya. Salam.”

SMS itu saya kirim ke Nirwan Bakrie, CT, Sandiaga Uno, Rahmat Gobel, dan Anthony Salim.

Begitulah bunyi SMS saya kepada lima pengusaha itu. Saya tahu, tidak mudah bagi mereka untuk bisa membantu tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut. Dalam dunia bisnis pernah ada pemeo begini: Untuk jadi jutawan itu mudah. Jadilah miliarder dulu, lalu belilah perusahaan penerbangan, Anda akan segera jadi jutawan!”

Saya juga merasa, pasti akan ada permintaan macam-macam dari para calon investor itu. Sebuah permintaan yang dalam dunia bisnis memang sudah menjadi standar praktik sehari-hari: Diskon! Apalagi, mereka tahu bahwa tiga perusahaan sekuritas tersebut dalam posisi lemah: Help! help! help!

Dari lima penawaran saya itu, tiga pengusaha menyatakan berminat membantu. Lalu, kepada mereka saya sampaikan: Silakan hubungi langsung ke korporasi masing-masing. Tugas saya sebatas mencarikan calon pembeli. Setelah ada peminatnya, saya serahkan sepenuhnya agar mereka melakukan transaksi sendiri: Bagaimana caranya, seperti apa prosedurnya, berapa harganya, dan bagaimana cara memutuskannya. Silakan lakukan sesuai dengan prinsip yang diperbolehkan.

Tentu saya mengharapkan keajaiban. Saya tahu bahwa ‘tokoh membawa berita’ adalah salah satu doktrin jurnalistik. Karena tiga tokoh telah menyatakan minat membeli 10 persen saham Garuda yang ada di tiga sekuritas itu, berita di sekitar saham Garuda menjadi hangat. Tiba-tiba saja harga saham Garuda di lantai bursa seperti digoreng: melonjak menjadi Rp650-an dan terus terbang sampai Rp720 per lembar.
Tiba-tiba saja nilai perusahaan Garuda bertambah triliunan rupiah. Garuda sangat diuntungkan! Namun, tokoh-tokoh yang telanjur berminat itu menjadi empot-empotan. Tiba-tiba mereka harus membeli saham Garuda jauh lebih mahal daripada yang mereka bayangkan. Mereka tentu mengira akan membeli saham Garuda dengan harga Rp570 per lembar seperti yang saya tawarkan.

Tapi, dengan kenaikan harga saham Garuda di bursa yang begitu tinggi, masih maukah mereka membeli? Atau sebaliknya, masih maukah tiga sekuritas tersebut menjual? Bisa saja para pengusaha yang semula berminat tiba-tiba mengurungkan keinginannya. Sebaliknya, bisa saja justru tiga sekuritas kita yang tidak mau melepas, misalnya, menunggu siapa tahu harga saham tersebut masih terus menanjak.

Di sinilah kontroversi akan terjadi. Kehebohan akan muncul. Tiap-tiap pihak melontarkan pandangannya sendiri-sendiri.
Kalau dilepas sekarang dan kemudian harga saham ternyata masih naik, para pengamat akan mengecam habis-habisan: Kok dijual murah! Tapi, kalau tidak dilepas sekarang dan ternyata harga saham turun lagi (batalnya transaksi ini bisa saja memukul balik harga saham), para pengamat juga akan menggebuki tiga sekuritas tersebut.

Saya memilih untuk tidak mencampuri pilihan mana yang terbaik. Direksi tiga perusahaan tersebut adalah orang-orang yang sudah malang melintang di bidang itu. Mereka adalah orang-orang yang hebat. Yang penting: Putuskan! Risiko dikecam adalah bagian dari kehidupan yang sangat indah! Ambillah keputusan terbaik dengan fokus tujuan demi kejayaan perusahaan!

Kalau Anda menunda keputusan hanya karena takut heboh, perusahaanlah yang sulit. Kalau perusahaan menjadi sulit, banyak yang akan menderita. Orang-orang yang dulu mengecam itu (atau memuji itu) tidak akan ikut bersedih! Jadikan kecaman-kecaman itu bahan mengingatkan diri sendiri agar jangan ada main-main di sini. Takutlah pada permainan patgulipat!

Lalu, bagaimana dengan heboh pembentukan direksi baru Garuda? Itu pun rupanya juga heboh turunan. Bahkan, pergantian direksi Garuda beberapa tahun lalu bisingnya melebihi mesin 737-200. Di setiap pergantian direksi memang akan selalu muncul pertanyaan: Mengapa si A dipilih dan mengapa si B tidak? Padahal, keduanya sama-sama hebat.

Tentu yang terbaik adalah semua calon yang terbaik itu duduk di dalam satu tim direksi. Itu akan menjadi tim yang kuat.

Namun, adakalanya tidak semua orang hebat bisa duduk bersama-sama dalam satu tim yang hebat. Kalau dipaksakan pun, hasilnya bisa tidak baik. Orang Surabaya sering bergurau begini: Soto yang paling enak dicampur dengan rawon yang paling enak, rasanya justru jadi kacau!

Para star yang dipaksakan bergabung dalam satu tim belum tentu bisa memenangkan tujuan. Bahkan, bisa saja justru terjadi perang bintang di dalam tim itu.

Setidaknya bisa terjadi perang dingin di bawah selimut. Energi terlalu banyak terbuang untuk perang bintang (yang kelihatan maupun yang tersembunyi). Bahkan, lantaran yang bersitegang itu adalah atasan, bawahan mereka bisa-bisa ikut terbelah.

Dalam hal seperti itu saya mengutamakan terbentuknya sebuah tim yang kompak, serasi, saling melengkapi, dan solid. Toyotomi Hideyoshi bisa menjadi panglima yang menyatukan Jepang pada abad ke-16 dengan modal utamanya: kekompakan. Bahkan, dia sendiri mengakui bahwa dirinya bukan seorang yang ahli memainkan pedang. Karena itu, Hideyoshi mendapat gelar Samurai tanpa Pedang.

Tim direksi Garuda yang baru ini dibentuk dengan semangat itu. Juga dengan semangat menampilkan yang lebih muda. Presiden SBY sangat mendukung konsep pembentukan dream team di setiap BUMN.

Munculnya tim yang kuat di Garuda itu dan terjadinya transaksi 10 persen saham Garuda di tiga sekuritas BUMN mendapat sambutan yang luar biasa dari pasar modal. Saham Garuda hari itu bukan lagi naik, tapi meloncat. Bayangkan, berapa triliun rupiah pertambahan aset Garuda hari Jumat minggu kemarin itu.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang hebat yang tidak semuanya bisa masuk tim? Saya akan terus mengamati apakah mereka memang benar-benar hebat. Orang hebat adalah orang yang tetap hebat ketika gagal jadi direksi sekalipun. Orang yang benar-benar hebat adalah mereka yang mementingkan peran melebihi jabatan.

Kalau mereka bisa membuktikan diri tetap hebat dalam suasana duka sekalipun, saya harus memperhatikan orang-orang hebat dengan kepribadian hebat seperti itu: dijadikan direktur di tempat lain! Tapi, ketika orang hebat itu tiba-tiba menjadi orang yang frustrasi saat menjalani ujian hidup, berarti ternyata dia belum benar-benar hebat. Ingat: Atasan yang baik adalah atasan yang pernah menjadi bawahan yang baik!

Kini tim baru Garuda Indonesia dengan Dirut-nya yang tetap Emirsyah Satar harus bisa membuat Garuda terbang lebih tinggi. Garuda yang di Singapura kini sudah dipercaya menggunakan terminal 3 yang mewah itu harus tetap kerja, kerja, kerja dengan kreatif.

Tiga perusahaan sekuritas itu pun, yang sudah lebih setahun lamanya menderita, tidak terlalu galau lagi. Saya yakin “Mbah Surip lokal” juga akan bisa menggendong Garuda ke mana-mana. (*)

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/