MEDAN, SUMUTPOS.CO – Terkait PDI Perjuangan menyurati Polda Sumut untuk menangguhkan penahanan terhadap mantan Bupati Batubara Ir Zahir, turut ditanggapi oleh pengamat hukum Kota Medan, Ronald Syariansyah SH.
Menurutnya, Kapolda Sumut, Irjen Pol Wishnu Hermawan harus tunduk pada Surat Telegram (ST) Kapolri No ST/1160/V/2023.
“Kalau menurut kita, harusnya Kapolda tunduk pada telegram Kapolri No ST/1160/V/2023, demi menjaga kondusifitas dalam pemilukada 2024 dan memberikan jaminan atas hak demokratis seluruh pihak,” ujarnya kepada Sumut Pos, Kamis (5/9).
Terkait ditahannya mantan Bupati Batubara itu, usai mendaftar ke KPU Batubara, Ronald berharap hal itu murni persoalan hukum tanpa embel-embel lain.
“Jika kita mengacu pada ST Kapolri tersebut, Kapolri memerintahkan agar menangguhkan seluruh penyidikan perkara pidana terhadap peserta Pemilukada. Nah bahasa menangguhkan ini bukan menghentikan penyidikan, namun demi menjaga kekondusifan pemilu harusnya kapolda mematuhi ST tersebut,” katanya.
Menurut Ronald, ST Kapolri itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk dipatuhi oleh jajaran dibawahnya, sepanjang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
“Lantas, apakah surat telegram Kapolri bisa diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan? Menurut hemat kami, surat telegram Polri merupakan naskah dinas bersifat internal dalam lingkup Polri yang memuat pemberitahuan, pernyataan, atau pemintaan ke pejabat lain di lingkungan Polri,” jelasnya.
“Bahwa jika berdasarkan ST tersebut, maka kapolda harus patuh, kalau tidak akan terjadi ketimpangan hukum dan akan mengganggu kekondusifan di wilayah hukum Polda Sumut,” sambungnya.
Dari kasus Zahir ini, Ronald juga mengaku heran. Dari beberapa kasus seleksi PPPK seperti di Langkat dan Batubara, kenapa hanya perkara Zahir saja kepolisian begitu serius.
“Tapi sebagai catatan bahwa persoalan PPPK ini bukan hanya di Batubara, ada di Langkat, Madina dll. Bahkan Ketua DPRD Madina pun yang sudah tersangka atas kasus yang sama, kemarin baru saja dilantik menjadi ketua DPRD lagi. Nah, kenapa atas Zahir Polda begitu sigap sampai mengabaikan ST Kapolri? Ini kan jadi tanda tanya,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan Presidium Kornas Sutrisno Pangaribuan mengungkapkan kasus yang menjerat Zahir, terkait dugaan suap rekrutmen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kabupaten Batubara tahun 2023, juga juga terjadi di Kabupaten Langkat, dan Mandailing Natal (Madina).
“Akan tetapi Zahir mendapat perlakuan berbeda dengan Jafar Sukhairi Nasution Bupati Madina, Ketua DPW PKB Sumut, dan Syah Affandin (Ondim), Plt. Bupati Langkat, Ketua DPW PAN Sumut,” ucap Sutrisno, di Medan, Kamis (5/9/2024).
Politisi PDIP ini menilai dukungan kilat PKB dan PAN untuk Cagub Sumut diduga ditukar kompensasi bebas bagi Jafar dan Ondim. Zahir diperlakukan berbeda karena bukan bagian dari partai politik (Parpol) yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus B. Zahir masuk Parpol Koalisi Indonesia Merdeka (KIM) Plus A, Blok Sumut, bukan Blok Medan.
Dia mengatakan, berdasarkan UUD 1945, Pasal 27 ayat 1, yang berbunyi setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
“Maka Zahir dengan alasan apapun tidak boleh mendapat perlakuan berbeda. Mengapa Zahir satu-satunya bupati yang dijadikan tersangka, sementara bupati lainnya yang telah diperiksa untuk kasus yang sama tetap aman? Apakah Polda Sumut menerapkan prinsip equality before the law?,” sebutnya.
Sutrisno mengatakan, jika konstruksi kasus tersebut sama, dan pola peristiwa dugaan tindak pidana pun serupa, mengapa hanya Zahir yang dijadikan target? Zahir pun diperlakukan berbeda dengan Erwin Efendi Lubis, Ketua DPC Partai Gerindra, Ketua DPRD (2019-2024), Anggota DPRD Madina (2024-2029).
“Erwin tidak pernah ditangkap dan ditahan dengan status tersangka pada kasus dugaan suap rekrutmen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kabupaten Madina tahun 2023.
Kasus Madina tersebut semakin istimewa karena Ketua DPRD nya tersangka, namun tidak ditangkap dan ditahan, sementara bupatinya aman meski bolak balik diperiksa di Polda Sumut,” ujarnya.
Anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 ini mengatakan, PDIP menghormati proses hukum yang sama dan adil bagi setiap warga negara. Maka Zahir tidak boleh diperlakukan berbeda dengan siapapun.
“Semua bupati (aktif atau mantan) yang terlibat dalam perkara rekrutmen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di semua kabupaten harus ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap. Semua calon bupati yang terlibat untuk kasus yang sama pun harus ditetapkan sebagai tersangka, ditangkap, dan ditahan,” sebutnya.
“Hukum tidak boleh dijadikan sebagai alat politik, untuk menjadi alat sandera dan pembunuhan karakter Zahir yang saat ini ikut Pilkada Batubara. Zahir tidak boleh dizalimi hanya karena partainya PDIP mengusung Edy Rahmayadi (bukan Blok Medan) sebagai calon Gubernur Sumut,” pungkasnya.(man/san/han)