Oleh: Bobby Widanto Soegiono, System Strengthening Unit Coordinator Tanoto Foundation
Di sebuah kota yang berjarak 126 kilometer dari Medan, setiap hari kita bisa melihat betapa banyak sudut-sudut kota yang menawarkan ruang untuk membaca. Anak-anak duduk di pojok kelas dengan buku terbuka. Sementara itu, orang tua mengajak anaknya mampir ke taman bacaan setelah pulang berbelanja.
Di pusat kota sebuah bus bekas disulap menjadi studio podcast yang membahas buku-buku terbaru. Itulah wajah Pematangsiantar hari ini, sebuah kota yang berhasil menjadikan literasi sebagai denyut nadi kehidupan warganya. Ya, Pematangsiantar sudah lama dikenal sebagai Kota pendidikan, terutama di Sumatra Utara. Hal itu tercatat dalam sejarah panjang kota ini.
Namun predikat Kota Pendidikan yang telah melekat sejak lama, kini bukan hanya catatan sejarah atau slogan belaka. Data Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) menjadi buktinya. Pada 2022, skornya berada di angka 59,12 (kategori sedang), naik menjadi 60,52 pada 2023, dan naik drastis ke 89,92 pada 2024 dan masuk kategori “sangat tinggi”.
Lonjakan ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana sebuah kota di Sumatra Utara mampu meraih capaian sebesar itu?
Dari Regulasi ke Gerakan Literasi
Bidang pendidikan memang memiliki riwayat panjang di kota ini. Pada masa kerajaan, Siantar memiliki lembaga yang khusus mendidik keturunan raja dan petinggi kerajaan di bidang pemerintahan bahkan bidang medis.
Pada awal abad 20, mulai berdiri sekolah modern seperti Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dari Jerman dan Chung Hua School yang kemudian berkembang menjadi Perguruan Sultan Agung, hingga sekolah elite masa itu, Hollandsch Inlandsch School (HIS).
Pendidikan Pematangsiantar berkembang seiring penyebaran agama, politik etis, hingga geliat ekonomi dari perkebunan. Citra sebagai kota pendidikan pun kian dikukuhkan lantaran sejumlah tokoh nasional dan intelektual lahir di kota ini.
Sebut saja Wakil Presiden Adam Malik, FilsufMuslim Harun Nasution, hingga Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Dengan segala perkembangan itu, babak baru yang menjadi tonggak penting dunia pendidikan Pematangsiantar adalah saat terbitnya Peraturan Wali Kota (Perwa) Nomor 30 Tahun 2024 tentang Gerakan Literasi.
Perwa ini dibuat untuk mendorong seluruh lapisan baik itu pemerintah, sekolah, komunitas, maupun wargauntuk terlibat aktif. Sekolah diminta mengintegrasikan literasi di semua mata pelajaran, menyediakan pojok baca di setiap kelas, dan melatih guru mengelola perpustakaan.
Selain itu, kebijakan ini juga dapat membantu menciptakan ekosistem literasi yang berkelanjutan. Perwa ini juga menjadi landasan bagi para pemangku kepentingan dalam merancang program literasi yang lebih efektif.
Pada satuan pendidikan, peraturan ini mendorong sekolah untuk mengintegrasikan literasi dalam berbagai mata pelajaran. Bukan hanya pada pelajaran bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bidang sains, matematika, dan sosial.
Hal ini dilakukan agar siswa terbiasa berpikir kritis dan analitis dalam memahami informasi. Sekolah juga diminta menyedia kan pojok baca di setiap ruang kelas dan para guru memperoleh pelatihan dalam mengelola perpustakaan.
Ditingkat warga, masyarakat dapat lebih mudah mengakses berbagai sumber daya literasi seperti perpustakaan, taman bacaan, hingga platform digital, dan mendapatkan dukungan untuk meningkatkan pemahaman serta keterampilan literasi mereka.
Pemerintah daerah pun makin aktif bergerak lewat program program menarik. Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Pematangsiantar ikut menggelar sejumlah kegiatan literasi diantaranya Arpus Challenge untuk meningkatkan budaya baca di kalangan pelajar. Agenda ini diisi berbagai lomba, seperti pemilihan duta baca, kompetisi story telling, dan lomba pidato.
Sosialiasi dan workshop literasi juga berlangsung masif. Agenda ini menyasarguru, akademisi, serta orangtua. Ada pula pekan literasi yang diisi agenda bedah buku dan lomba resensi buku. Untuk menjangkau budaya literasi secara lebih luas, dua mobil baca dan gerobak baca telah diaktifkan.
Di ranah digital, Pematang siantar tidak kalah gencar menggulirkan gerakan literasi. Pojok pojok baca digital disediakan di Mall Pelayanan Digital, sementara pelatihan literasi digital se cara berkala digelar.
Jalur publikasi yang tengah populer, yakni siniar atau podcast, juga dipilih. Lebih menarik lagi, podcast yang menghadir kan duta literasi ini “bermarkas” di sebuah bus yang tidak beroperasi dan dikemas secara kreatif, sehingga menarik perhatian generasi muda khususnya gen Z.
Gotong Royong untuk Tujuan Mulia
Seperti moto Kota Sapangambei Manoktok Hitei yang berarti gotong royong demi tujuan mulia, gerakan ini melibatkan banyak pihak. Salah satunya adalah Tanoto Foundation.
Dalam gerakan ini, Tanoto Foundation turut membantu dengan meninjau kebijakan di Pematangsiantar melalui metode Regulatory Impact Analysis (RIA), sebuah instrumenyang mampu menganalisis dan mengukur peluang, biaya, dan dampak dari kebijakan Gerakan Literasi ini.
Tanoto Foundation juga terus memfasilitasi pertemuan-pertemuan melalui FGD bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pendidikan, Dinas Arsip dan Perpustakaan, serta komunitas pegiat literasi.
Melalui kolaborasi yang kuat, peningkatan kualitas pendidikan khususnya di bidang literasi bukanlah hal yang mustahil. Komitmen pemerintah daerah dan partisipasi aktif masyarakat diharapkan terus berlanjut, sehingga lewat gerakan ini Pematangsiantar benar-benar menjadi kota pendidikan.
Dengan dukungan semua pihak pula, Pematangsiantar dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain dalam membangun budaya literasi yang kuat dan berkelanjutan. Capaian ini dapat menjadi model percontohan (best practice) bagi daerah lain di Indonesia, bisa ditiru dan disesuaikan sesuai konteks dan kebutuhan daerah lain, sehingga dampak gerakan literasi ini lebih luas.
Dengan serangkaian program dan evaluasi yang terus bergulir, Gerakan Literasi dapat dilihat hasilnya. Bukan hanya melalui peningkatan skor seperti IPLM, melainkan juga lewat kemuda han masyarakat memperoleh akses bacaan hingga menggeliat nya budaya baca di berbagai sudut kota.
Pada akhirnya, gerakan ini mengajarkan bahwa literasi adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesinambungan. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan investasi masa depan untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan berdaya. Pematangsiantar telah menunjukkan, dengan kerja sama dan komitmen, mimpi itu bisa menjadi kenyataan. (red)

