Oleh: Dr. H. Tumpal Panggabean, MA
Dalam beberapa pekan terakhir, Sumatera—khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—ditimpa rangkaian banjir bandang dan longsor yang mengerikan, menelan banyak korban jiwa, menghancurkan rumah, meratakan lahan pertanian, dan membuat ribuan orang mengungsi. Data terbaru menunjukkan, korban meninggal dunia mencapai ratusan, sementara ratusan lainnya hilang, dan ribuan terpaksa kehilangan tempat tinggal.
Namun lebih dari sekadar fenomena cuaca ekstrem atau bencana alam yang acak, banyak pihak—termasuk kelompok lingkungan—menyatakan, krisis ini seharusnya dilihat sebagai bencana ekologis dan bahkan kriminal ekologis: akibat kesalahan struktural dalam pengelolaan sumber daya, eksploitasi hutan dan tanah, serta ketidakmauan negara dan pemerintah pusat untuk mengambil tanggung jawab secara serius.
Eksploitasi Hutan, Alih Fungsi Lahan, dan Bencana yang Dipicu Manusia
Menurut pernyataan dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) — sebagaimana dilansir media — tujuh perusahaan telah diidentifikasi melakukan aktivitas eksploitasi di kawasan hutan kritis, seperti kawasan hutan Batang Toru di Sumatera Utara. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain pertambangan, pembangkit listrik hidro, perkebunan sawit, dan proyek energi terbarukan (geothermal / mikro-hidro).
WALHI Sumut, melalui Direktur Eksekutifnya, mengemukakan bahwa “banjir bandang dan longsor bukan sekadar akibat hujan ekstrem, melainkan bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan.” Tambahan pula, sejumlah kayu besar terbawa arus banjir — dan citra satelit menunjukkan bahwa tutupan hutan di banyak titik telah hilang — sebagai bukti nyata bahwa aktivitas manusia telah menggunduli daerah yang seharusnya menjaga keseimbangan ekologis.
Pimpinan badan BUMN pun mendesak agar polisi di tiga provinsi terdampak segera mengusut pembalakan liar, dan menekankan bahwa “tangan manusia” terlibat dalam bencana ini — bahwa kerusakan hutan ilegal telah memperparah aliran air serta memicu longsor dan banjir bandang.
Dari perspektif ekologis dan struktural, ini menunjukkan bahwa bencana tersebut bukan hanya soal cuaca; melainkan soal model pembangunan jangka panjang: bagaimana izin diberikan kepada korporasi untuk membuka hutan, bagaimana regulasi ditegakkan (atau malah longgar), dan bagaimana keuntungan dikeruk sementara risiko lingkungan dan sosial menimpa rakyat dan alam.
Krisis Iklim, Kerusakan Lingkungan, dan Kebijakan Negara
Pernyataan dari pejabat nasional mempertegas bahwa peristiwa ini juga merupakan alarm krisis iklim dan lingkungan. Bila kita mengaitkan data kematian, pengungsi, dan kerusakan lingkungan dengan praktik eksploitasi hutan dan lahan — maka kita seharusnya menempatkan kejadian ini dalam bingkai krisis ekologis yang sistemik.
Dengan demikian, negara tidak bisa lagi berpangku tangan menunggu “alam yang marah” — karena sebagian besar penyebabnya adalah ulah manusia: alih fungsi lahan, eksploitasi hutan, kebijakan izin tambang/pabrik/perkebunan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekologi dan masyarakat.
Ketidakadilan Kebijakan: Jawa-Sentrik dan Disparitas Perhatian
Ironisnya — seperti Anda soroti — meskipun korban sudah sangat banyak (menurut berbagai laporan, korban bisa ratusan orang tewas, ratusan hilang, ribuan rumah rusak, ribuan pengungsi) — pemerintah pusat sampai saat ini belum menetapkan status “bencana nasional” untuk tragedi ini: status yang memungkinkan mobilisasi sumber daya besar-besaran, prioritas penanganan, dan perhatian nasional.
Padahal, status bencana nasional bisa menjadi bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyat, serta pengakuan bahwa kerugian yang dialami bukan masalah lokal semata, melainkan tragedi kemanusiaan dan ekologis nasional. Penolakan atau kelambanan menetapkan status ini mengandung muatan ketidakadilan struktur — terutama terhadap wilayah di luar Jawa (seperti Sumatera). Dalam arti ini, pendekatan kebijakan dan respons negara tampak sangat “Jawa-sentrik”: fokus pada inti Jawa sambil menomorduakan wilayah lain yang menyumbangkan sumber daya alam besar bagi pembangunan nasional.
Akibatnya, korban — manusia, alam, komunitas lokal — berada dalam posisi rentan tanpa jaminan perlindungan yang memadai. Sementara itu, pertambangan, perkebunan, dan proyek besar tetap berjalan, kerusakan lingkungan terus terjadi. Ini bukan sekadar soal miskomunikasi atau kelalaian — tapi soal asimetri kekuasaan, pengabaian struktural, dan ketidakadilan politik terhadap daerah luar Jawa.
Perlunya Kajian Struktural dan Holistik atas Relasi Pusat–Daerah
Dalam konteks ini, Majelis Pimpinan ICMI Muda Pusat mendorong untuk melakukan kajian mendalam terhadap hubungan bernegara antara pusat (Jawa) dan daerah (luar Jawa) menjadi sangat relevan. Kajian semacam itu tidak cukup pada aspek ekonomi atau politik semata — tetapi harus holistik: meliputi aspek ekologis, kultural, sejarah, dan keadilan spasial.
Beberapa pertanyaan yang perlu dikaji antara lain :
1. Mengapa keputusan izin eksploitasi lahan/hutan di luar Pulau Jawa banyak diberikan tanpa memperhitungkan kerentanan ekologi dan sosial setempat?
2. Apakah mekanisme pengambilan keputusan di tingkat nasional memperhatikan suara dan hak masyarakat lokal terdampak?
3. Sejauh mana regulasi lingkungan ditegakkan — dan apakah sanksi terhadap pelanggaran serius ditegakkan secara tegas dan adil?
4. Bagaimana distribusi manfaat dan beban dari sumber daya alam: siapa merasakan keuntungan, siapa menanggung kerugian?
5. Apakah ada unsur struktural yang memperkuat dominasi pusat (Jawa) atas daerah luar Jawa — baik secara ekonomi, politik, maupun lingkungan?
6. Bagaimana mengubah paradigma pembangunan agar tidak hanya menekankan eksploitasi sumber daya, tapi juga keadilan ekologis, hak masyarakat adat/daerah, dan keberlanjutan?
Kajian semacam itu dapat membuka jalan bagi kebijakan yang lebih adil, menghormati hak daerah, menghargai alam, dan meminimalkan tragedi ekologis di masa depan.
Kesimpulan: Bencana Tak Hanya Alam, Tapi Hasil Politik dan Ekonomi
Bencana besar yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir November 2025 seharusnya dilihat lebih dari sekadar akibat cuaca ekstrem atau iklim — melainkan juga sebagai produk dari eksploitasi ekologis, kebijakan yang memberi ruang bagi perusakan lingkungan, dan ketidakadilan struktural dalam hubungan pusat–daerah.
Menegaskan status bencana nasional, mengusut tuntas pelaku pembalakan/pembukaan hutan ilegal, meninjau ulang izin eksploitasi — itu semua adalah bagian dari tanggung jawab negara terhadap warga dan alam. Namun lebih dari itu, yang diperlukan adalah transformasi paradigma: dari pembangunan yang merusak dan menimbun keuntungan jangka pendek — ke pembangunan yang adil, ekologis, dan menghormati hak-hak komunitas lokal.
Dalam kerangka itu, dorongan kajian dari MP ICMI Muda Pusat bukan semata idealisme akademik — tetapi panggilan moral dan politik: agar relasi pusat–daerah dihitung ulang, sehingga tidak ada lagi tragedi ekologis seperti yang kita saksikan sekarang.
Tulisan ini bukan hanya seruan empati — tetapi seruan politik dan struktural. Dalam hal ini Majelis Pimpinan ICMI Muda Pusat merekomendasikan untuk menjadi fokus aksi dan advokasi:
1. Mendesak pemerintah pusat untuk segera mengakui tragedi ini sebagai *Bencana Nasional*, sehingga alokasi sumber daya, bantuan, dan tanggung jawab negara terhadap korban menjadi nyata.
2. Mendesak pengusutan serius terhadap semua aktor — korporasi maupun individu — yang terlibat dalam pembalakan, alih fungsi lahan, dan eksploitasi hutan/perkebunan di kawasan rawan.
3. Menyusun kajian mendalam (oleh akademisi, NGO, komunitas lokal) tentang relasi pusat–daerah dalam hal kebijakan sumber daya alam, lingkungan, dan keadilan spasial. ICMI Muda dengan setiap jenjangnya siap memainkan peran kunci dalam ini.
Dengan kombinasi advokasi, kebijakan pro-rakyat & pro-lingkungan, serta transformasi paradigma — tragedi seperti ini bisa dicegah, dan masa depan Sumatera maupun daerah luar Jawa tidak selalu identik dengan penderitaan ekologis dan ketidakadilan.
Penulis adalah Ketua Presidium Majelis Pimpinan ICMI Muda Pusat

