Ramadhan Batubara
Terus terang saya penasaran, siapa orang bijak yang mengeluarkan kalimat ‘sedia payung sebelum hujan’? Sumpah, saya salut dengan itu. Nah, jika saja saya hidup semasa dengannya, selain mengungkapkan kekaguman kepadanya, saya juga akan bertanya soal ulat bulu padanya. Lho?
Tentu, ini soal kejadian unik yang dialami warga tujuh desa di Probolinggo, Jawa Timur, akhir-akhir ini. Begitulah, ketika Medan dilanda banjir hingga merendam ribuan rumah dan menjebak ribuan kendaraan bermotor, Probolinggo lebih dulu kebanjiran ulat bulu. Sebuah fenomena yang sejatinya mengerikan. Bayangkan saja jika Anda sebagai orang yang geli atau juga anti terhadap ulat bulu, bagaimana Anda bisa bernapas di Probolinggo sana kan?
Awalnya saya tak begitu tertarik dengan kabar itu, pasalnya berita tersebut seakan tenggelam dengan kisruh PSSI. Tapi, beberapa hari yang lalu, melalui sebuah saluran televisi, saya melihat seorang lelaki berpayung di saat hari terang. Dia tersenyum sambil melirik kamera, tak lama kemudian dia masuk rumah, sambil nyengir. Ukh, ini bukan karena lelaki itu agak ‘mentel’ hingga takut dengan matahari, tapi karena dia tak mau tubuhnya dihinggapi ulat buluh yang kemungkinan besar bisa jatuh dari atas pohon. Dan benar saja, ketika kamera mengarah ke payung yang dipakai lelaki tadi, terlihat ada belasan ulat bulu di sana. Fiuh.
Tambah unik, ulat bulu itu seakan tiada henti menghujani kawasan di sana. Diasapi sudah, pohon ditebangi juga sudah, tetap saja masalah ulat bulu belum juga tuntas. Malah, bisa dikatakan warga di sana tinggal pasrah saja. Yang bisa mereka lakukan adalah, selain memakai payung ketika berpergian, menyirami sekiling rumah mereka dengan oli agar ulat buluh tak bisa masuk ke rumah. Selain itu, ya, tidak ada lagi.
Menariknya, Probolinggo kan masih Indonesia. Nah, namanya Indonesia, pasti memiliki pernyataan yang menenangkan ketika ada musibah. Contoh, ketika tabrakan, orang Indonesia akan berkata, “Untung tidak mati.” Begitu kan? Nah, soal ulat bulu, muncul pula p[ernyataan menarik dari Kepala Dinas Pertanian Probolinggo A Hasyim Ashari. Pejabat ini menyatakan kalau hujan ulat bulu juga membawa hikmah. Ya, katanya, pohon mangga yang saat ini meranggas karena diserang ulat bulu ke depannya akan lebih produktif. “Teorinya pohon yang diserang ulat jumlah produksi buahnya akan lebih banyak dibandingkan pohon mangga yang tidak terkena ulat. Lihat saja nanti,” katanya di sebuah media online, Jumat (1/4).
Ia memperkirakan masyarakat akan mengalami panen raya buah mangga antara bulan Oktober-November. Menurut dia, buah mangga adalah buah musiman yang hanya berbuah sekali dalam satu tahun.
“Kalau dihitung mundur 4 bulan akan terjadi pembungaan. Bunga-bunga yang diserang akan lebih banyak dibandingkan yang tidak. Bunganya akan lebih optimal menjadi buah,” tuturnya.
Bah! Kenapa pula berbicara seperti itu disaat masyarakat masih sibuk menghindari gatal yang disebabkan ulat bulu itu. Tapi, terserahlah, soal sedia payung sebelum hujan memang lebih tepat ditujukan ke Medan dibanding Probolinggo. Apa yang terjadi di Jawa Timur tersebut memang sulit ditebak. Tiba-tiba saja ulat bulu hadir bak hujan di musim penghujan. Nah, di Medan, banjir yang berulang harus sudah bisa ditanggulangi. Memang, hujan adalah sesuatu yang berada di luar kendali manusia.
Namun, dengan teknologi yang ada, bukankah manusia bisa memprediksi kehadirannya. Nah, kemana peringatan dini bagi warga Medan yang beberapa hari lalu harus mengungsi. Adakah mereka tahu banjir akan hadir?
Lalu, jika memang hujan di luar kendali manusia, bukankah tata kota bisa dikendalikan? Tapi, sekali lagi, berbicara soal banjir di Medan hanya akan membuat urat kepala menjkadi ketat, ujung-ujungnya hanya sebatas wacana. Yang menjadi pikiran saya adalah, banjir yang hadir di Medan belakangan ini semakin besar. Maksudnya, jika sebelumnya banjir hanya menghajar kawasan pinggir sungai, kini mulai melebar. Bahkan, rumah dinas pejabat kota maupun provinsi sampai tak bisa mengelak. Yang saya takutkan, jika banjir akan datang lagi, dia akan semakin parah. Lalu, bagaimana dengan lima atau sepuluh tahun ke depan, bisa saja jembatan layang Amplas juga kebanjiran kan? Fiuh.
Begitulah, saya memang salut dengan pencipta kalimat ‘sedia payung sebelum hujan’. Meski tidak menyebut soal ‘ulat bulu’, dia tentunya mengharapkan manusia bisa mempersiapkan sesuatu sebagai bekal di kemudian hari.
Nah, ketika kejadian, payung yang sudah disediakan tinggal dipakai; bukan ketika kejadian payung yang telah ada dilupakan. Jadi, bukan sembarang mencari pemecahan setelah sesuatu terjadi. Ya, kalau begitu kejadiannya, kata bijak pun berubah menjadi pelipur lara kan? Menyedihkan. (*)
1 April 2011