28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Keterbatasan Daerah Picu Pengelolaan Pariwisata tak Optimal

MEDAN-Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan belum memberikan gambaran keseimbangan antara aspek internal (pengelolaan) dan aspek eksternal (promosi/pemasaran).  Selain itu, rendahnya kualitas pengelolaan destinasi pariwisata dapat dilihat pada praktik tata kelola yang belum optimal sehingga besaran perolehan pariwisata di daerah masih tergolong rendah.

Dilatar belakangi persoalan tersebut, Komite III DPD RI yang salah satu tugasnya membidangi pariwisata, tahun ini berinisiasi mengajukan RUU inisiatif tentang perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengingat salah satu adanya keterbatasan daerah dalam mengelola pariwisata di daerahnyaKomite III DPD RI.

Hal ini dikatakan Ketua Komite III Provinsi Sumatera Utara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Drs H Hardi Selamat Hood MSi pada Seminar RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan dan Focus Group Discussion (FGD) di Grand Aston, Selasa (12/6).

Dikatakan Hardi, hal lain yang juga menjadi pertimbangan untuk dilakukan revisi terhadap undang-undang tersebut terkait keterbatasan daerah dalam mengelola potensi pariwisata. “Sedangkan otonomi daerah juga turut menimbulkan paradigma sektoral yang mempengaruhi peran lintas sektoral pariwisata dan dapat menghambat pembangunan pariwisata,” paparnya.

Sementara, Prof Dr Darmayanti Lubis yang juga Anggota DPD RI utusan Sumut menambahkan, selama ini undang-undang tentang pariwisata belum memberi kontribusi dan belum memberikan apa-apa kepada masyarakat, sifatnya masih pemerintah dan swasta. “Bahkan, nilai-nilai budaya lokal belum diakomodir dalam RUU  tersebut. Di samping itu, permasalahan pariwisata juga belum nampak dalam RUU itu. Padahal kita tahu, persoalan pariwisata ternyata masih banyak,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Darmayanti, mereka ingin merevisi undang-undang dengan mengumpulkan saran dan masukan dari pelaku pariwisata, masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk diakomodir agar nantinya diakomodir dalam undang-undang tersebut.
Salah seorang pembicara Hendry Hutabarat dari Sumatra Promo menyampaikan, rendahnya kualitas pengelolaan destinasi pariwisata, disebabkan karena Undang-Undang hanya menyentuh instansi-instansi terkait, sehingga menimbulkan birokrat-birokrat baru dan hanya menyentuh jajaran atas atau kadis dan kepala daerah.

Selain itu, di daerah belum ditempatkan orang-orang yang profesional, qualified, acceptable dan capable di bidang pariwisata. “Oleh karena itu perlu undang-undang yang menyentuh semua lini, membuat undang-undang dengan standarisasi SDM profesional, qualified, acceptable dan capable di bidang pariwisata,” saran Hendry.

Seminar ini dihadiri  pelaku pariwisata, pengusaha, asosiasi pariwisata, dosen dari Akpar dan lainnya. Sedangkan pembicara yang hadir, Dosen Unimed Dr Isda Pramuniati, Pastor Keuskupan Agung Medan Dr Anecitus Sinaga, Sekretaris Disbudpar Sumut Sudarno. (ram)

MEDAN-Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan belum memberikan gambaran keseimbangan antara aspek internal (pengelolaan) dan aspek eksternal (promosi/pemasaran).  Selain itu, rendahnya kualitas pengelolaan destinasi pariwisata dapat dilihat pada praktik tata kelola yang belum optimal sehingga besaran perolehan pariwisata di daerah masih tergolong rendah.

Dilatar belakangi persoalan tersebut, Komite III DPD RI yang salah satu tugasnya membidangi pariwisata, tahun ini berinisiasi mengajukan RUU inisiatif tentang perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengingat salah satu adanya keterbatasan daerah dalam mengelola pariwisata di daerahnyaKomite III DPD RI.

Hal ini dikatakan Ketua Komite III Provinsi Sumatera Utara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Drs H Hardi Selamat Hood MSi pada Seminar RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan dan Focus Group Discussion (FGD) di Grand Aston, Selasa (12/6).

Dikatakan Hardi, hal lain yang juga menjadi pertimbangan untuk dilakukan revisi terhadap undang-undang tersebut terkait keterbatasan daerah dalam mengelola potensi pariwisata. “Sedangkan otonomi daerah juga turut menimbulkan paradigma sektoral yang mempengaruhi peran lintas sektoral pariwisata dan dapat menghambat pembangunan pariwisata,” paparnya.

Sementara, Prof Dr Darmayanti Lubis yang juga Anggota DPD RI utusan Sumut menambahkan, selama ini undang-undang tentang pariwisata belum memberi kontribusi dan belum memberikan apa-apa kepada masyarakat, sifatnya masih pemerintah dan swasta. “Bahkan, nilai-nilai budaya lokal belum diakomodir dalam RUU  tersebut. Di samping itu, permasalahan pariwisata juga belum nampak dalam RUU itu. Padahal kita tahu, persoalan pariwisata ternyata masih banyak,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Darmayanti, mereka ingin merevisi undang-undang dengan mengumpulkan saran dan masukan dari pelaku pariwisata, masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk diakomodir agar nantinya diakomodir dalam undang-undang tersebut.
Salah seorang pembicara Hendry Hutabarat dari Sumatra Promo menyampaikan, rendahnya kualitas pengelolaan destinasi pariwisata, disebabkan karena Undang-Undang hanya menyentuh instansi-instansi terkait, sehingga menimbulkan birokrat-birokrat baru dan hanya menyentuh jajaran atas atau kadis dan kepala daerah.

Selain itu, di daerah belum ditempatkan orang-orang yang profesional, qualified, acceptable dan capable di bidang pariwisata. “Oleh karena itu perlu undang-undang yang menyentuh semua lini, membuat undang-undang dengan standarisasi SDM profesional, qualified, acceptable dan capable di bidang pariwisata,” saran Hendry.

Seminar ini dihadiri  pelaku pariwisata, pengusaha, asosiasi pariwisata, dosen dari Akpar dan lainnya. Sedangkan pembicara yang hadir, Dosen Unimed Dr Isda Pramuniati, Pastor Keuskupan Agung Medan Dr Anecitus Sinaga, Sekretaris Disbudpar Sumut Sudarno. (ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/