Asep Kambali, Pendiri Komunitas Historia Indonesia
Asep Kambali pernah merasa tidak suka dengan mata pelajaran sejarah. Tapi, dalam setahun, semua berubah. Bahkan, di kemudian hari, dia mendirikan Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia yang belakangan dikenal sebagai Komunitas Historia Indonesia.
PRIYO HANDOKO, Jakarta
Suasana kafe di salah satu pojok Jalan Sabang Kamis (14/6) itu tengah ramai. Asep Kambali baru saja menghabiskan semangkuk soto tangkar pesanannya ketika tiga perempuan muda muncul dari balik pintu. Sambil mengusap bibir dengan tisu, Asep berdiri, lalu mengundang mereka untuk bergabung.
Salah seorang perempuan itu bernama Vincentia Maria, executive assistant manager hotel terkemuka di Jakarta. Maria dan dua temannya tersebut menemui Asep untuk mematangkan program baru hotelnya. Rencananya, program berlabel Historical Package itu menggandeng Asep dan Komunitas Historia Indonesia (KHI).
Maria menunjukkan contoh brosur yang baru dicetaknya. Pada prinsipnya, program tersebut menawarkan paket wisata sejarah dengan fasilitas menginap di kamar hotel selama dua hari. Beberapa tempat yang akan dikunjungi adalah Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, serta Museum Bank Mandiri.
Pihak KHI dilibatkan untuk menyediakan guide. “Keberadaan guide itu urgen. Dia yang akan memandu perjalanan para tamu. Jadi, tidak main-main. Tidak boleh sembarangan orang. Harus orang yang benar-benar telah belajar banyak dan paham sejarah suatu lokasi, bangunan, atau tradisi,” kata Asep dengan penampilan stylish khas anak muda.
Bagi pria kelahiran Cianjur, 16 Juni 1980, tersebut, sejarah sudah menjadi obsesi hidupnya. Padahal, awalnya Asep mengaku tidak terlalu tertarik dengan sejarah. Ketika lulus dari jurusan IPA di SMA I Sukatani Bekasi pada 2000, Asep sebenarnya ‘tidak tulus’ memilih Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dari jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan).
Di tengah kegalauan hati, menginjak tahun kedua, Asep justru dipercaya untuk menjadi ketua senat mahasiswa jurusan pendidikan sejarah. Sebagai ketua senat, dia menggagas lomba lintas sejarah antar-SMA di Jakarta dan sekitarnya. Konsepnya game dengan menelusuri situs-situs sejarah.
Pesertanya ternyata membeludak, lebih dari seratus SMA ikut serta. Bahkan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI memberikan apresiasi dan dukungan. “Kami dapat bantuan dana lumayan. Belasan juta lah,” tutur Asep.
Dari momentum lomba lintas sejarah itu, Asep seolah mendapat pencerahan dan menjadi sangat termotivasi. “Orang bisa merancang masa depannya kalau memahami sejarah,” tegasnya. Menurut dia, mencintai sejarah dan budaya juga merupakan kunci untuk membangun nasionalisme.
“Globalisasi oke, tapi jangan lupa lokalitas. Bahasa asing oke, tapi jangan lupa dengan bahasa ibu kita. Membangun sesuatu oke, tapi jangan menghancurkan gedung tua,” terang Asep.
Setelah dia lengser dari jabatan ketua senat, semakin banyak inspirasi yang meledak di kepalanya. Dia jatuh cinta kepada ilmu sejarah. Pada prinsipnya, dia ingin mengembangkan lebih serius konsep wisata lintas sejarah.
Pada 22 Maret 2003, Asep berhasil mendirikan Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia, cikal bakal KHI. Anggota awalnya cuma tujuh mahasiswa UNJ dan UI. Dengan dana seadanya, komunitas tersebut rutin menggelar acara setiap bulan. Biasanya, mereka tur ke museum atau bangunan bersejarah di Jakarta dan sekitarnya. Mereka juga mengadakan diskusi berkala, menyebarkan brosur, serta membuat blog dan milis komunitas itu.
Dalam perjalanannya, Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia lebih dikenal sebagai KHI. Sambil terus berusaha menghidupkan KHI, pada 2005 Asep bekerja menjadi site manager Museum Bank Mandiri di Jakarta. Tapi, itu tak bertahan lama. Pada Mei 2007, dia memutuskan untuk keluar.
“Soalnya, saya diancam dekan. Dikasih waktu tiga bulan. Disuruh pilih segera menyelesaikan skripsi atau di-DO (drop out),” ceritanya.
Asep memilih ‘balik kucing’ ke kampus. Kurang dari tiga bulan, skripsi berjudul Peran Komunitas Historia dalam Memperkenalkan Sejarah Kota Tua berhasil dia tuntaskan. Asep sebenarnya tergolong mahasiswa yang prestasi akademisnya sangat baik. Hanya, dia sempat terkendala di skripsi. Buktinya, dia lulus dengan IPK yang tinggi, yakni 3,71.
Setelah memperoleh gelar sarjana, Asep berpindah-pindah pekerjaan. Dia pernah menjadi staf pengajar honorer di almamaternya sambil mengajar sejarah di beberapa sekolah. Asep juga menjadi external relationship coordinator di Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada 2007.
Tak lama, setahun kemudian, dia hijrah ke Solo untuk menjadi general manager di Roemahkoe Heritage Hotel. Tapi, itu juga hanya bertahan setahun. “Karena passion saya nggak ke situ,” ucap Asep.
Meskipun harus bekerja, Asep tidak pernah meninggalkan KHI. Bahkan, belakangan Asep mendapat ilham untuk mengawinkan kecintaannya terhadap sejarah dengan dunia bisnis. Melalui http://jakartaheritage.blogspot.com yang dibuatnya pada awal 2009, Asep menawarkan paket-paket wisata sejarah di Jakarta dengan nama Jakarta Heritage Trails.
Ada paket Wisata Kota Tua, Jejak Arab di Batavia, Chinatown Journey, Marunda Jejak si Pitung, Independency Day Trip, Tour de Busway, Historical Island Adventure, dan Night at The Museum. Di luar itu, tersedia paket khusus yang disesuaikan dengan keinginan klien, biasanya kelompok atau perusahaan.
Misalnya paket Chinatown Journey. Paket itu minimal diikuti sepuluh orang untuk rombongan pribadi dan 25 orang untuk perusahaan, sekolah, atau kampus. Perjalanan selama empat jam tersebut dimulai dari Taman Fatahillah menuju Chinatown, Pasar Asemka, Pasar Patekoan, rumah keluarga Shouw, SMA 19 Cap Kau, Jalan Toko Tiga, Kelenteng Toa Sai Bio, Kelenteng Jin De Juan, dan Pasar Pancoran. Tur bisa ditempuh dalam dua opsi: jalan kaki atau berkendara dengan sepeda. Jarak tempuhnya tidak terlalu jauh, sekitar 6 km.
Berbagai paket wisata sejarah di Jakarta yang ditawarkan Asep tersebut ternyata mendapat respons positif. “Sebenarnya, sejak 2005 kami sudah jalan. Tapi, tidak dibuatkan blog. Baru pada 2009, kalau ada yang mau ikut, tinggal diarahkan ke blog. Jadi, lebih profesional,” tutur mahasiswa S-2 Jurusan Komunikasi Publik Universitas Paramadina itu.
Asep tidak bisa memastikan berapa tur yang ‘laku’ setiap bulan. Sebab, jumlahnya belum menentu. Minat masyarakat terhadap sejarah masih minim. “Kadang bisa sampai sepuluh tur atau lebih dalam sebulan. Tapi, kadang juga sepi, hanya tiga tur,” ungkap Asep.Meski begitu, usaha itu lumayan menghasilkan duit. Dalam sebulan, Asep bisa mendapat penghasilan Rp15 juta-Rp30 juta. “Masih nggak tentu. Nggak bisa diprediksi. Kami belum menjadi sebuah company yang punya target tertentu,” ujarnya.
Menurut Asep, dengan penghasilan sebesar itu, kebutuhan ekonominya sudah terpenuhi. “Masih megap-megap juga sih. Tapi, ya alhamdulillah,” katanya dengan lepas.
Kerja keras dan konsistensi Asep tidak sia-sia. Pada 2010, Jakarta Heritage Trails mendapat award Indonesia Most Recommended Consumer Community dari majalah SWA dan Prasetiya Mulya Business School. Ke depan, dia berencana mendirikan Yayasan Historia Foundation dan PT Historia Indonesia Raya.
“Saya bisa keliling Indonesia karena sejarah. Saya bisa jalan-jalan ke Eropa juga karena sejarah. Sekarang, sekali ngomong bisa dibayar Rp3 juta-Rp5 juta,” ujar sulung di antara tiga bersaudara itu. (*)