26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Modal Royalti Buku dan Sumbangan

Komunitas Menara, PAUD Gratis Obsesi Penulis Negeri 5 Menara

Berkat novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna, nama Ahmad Fuadi melejit. Bahkan, novel pertamanya sudah diadaptasi ke layar lebar. Berkat kedua novel itu pula Fuadi bisa membangun yayasan sosial Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Komunitas Menara untuk menampung anak-anak kurang mampu.

SEKARING RATRI/THOMAS KUKUH, Jakarta

Luas lahan yayasan PAUD Komunitas Menara di Bintaro Sektor 3, Jl Beruang II No 69, Tangerang Selatan, itu hanya sekitar 15 x 15 meter. Ruang kelasnya hanya dua. Ruang kelas A dan kelas B. Di depan dua ruang kelas tersebut terdapat semacam pendapa kecil dengan halaman yang juga tidak cukup luas.

Namun, suasana belajar-mengajar di dalam kelas cukup hidup. Semua murid usia prasekolah tampak antusias mengikuti kegiatan. Di ruang kelas B, pagi itu, para murid sibuk belajar menuliskan nama bulan. Sementara murid kelas A asyik bermain pengenalan benda. Ada yang memancing, mengaduk busa sabun, atau mengisikan air ke botol. Beberapa guru mengawasi bocah-bocah itu sambil sesekali menyisipkan “pelajaran” dalam kegiatan bermain tersebut.

Seperti saat memancing, para siswa tidak sekadar bermain. Mereka juga diajari cara berhitung. Saat berhasil mendapatkan ikan dari dalam baskom plastik, anak-anak diminta menghitung hasil tangkapannya. Agar adil, murid kelas A diminta memainkan permainan yang berbeda secara bergilir. Saat beberapa murid sudah ingin bergeser, padahal belum gilirannya, guru yang mendampingi tidak lantas melarang dengan menggunakan kata-kata “jangan” atau “tidak boleh”.

“Kami memilih kata-kata “belum diizinkan”. Jadi, bahasa yang digunakan di sini untuk membangun karakter. Kalau kami bilang jangan, anak-anak malah penasaran,” ujar Atika, salah seorang guru, yang ditemui di sela-sela kegiatan belajar-mengajar PAUD Komunitas Menara, Senin (18/6) lalu.
Menurut penggagas PAUD Komunitas Menara Ahmad Fuadi, meski lembaga pendidikannya tidak berbayar alias gratis, dirinya tidak ingin setengah-setengah dalam mengelola yayasan. Guru yang berjumlah lima orang pun diwajibkan mengikuti pelatihan mengajar. Mereka juga sering mengikuti seminar pendidikan untuk menambah ilmu.

“Ada guru yang kami kirim ke Rumah Perubahan milik Rhenald Khasali. Di sana mereka belajar teknik sentra. Ada juga guru yang kami latih ke IHF (Indonesia Heritage Foundation). Di situ ada pelatihan kurikulum berkarakter untuk anak-anak,” jelas penulis buku laris Negeri 5 Menara itu.
Alhasil, kualitas pendidikan yang diberikan Komunitas Menara tak berbeda dengan yang disajikan di sekolah-sekolah dengan bayaran mahal. Semua murid dari kalangan tidak mampu. Meski begitu, mereka tetap berkesempatan mendapatkan pendidikan yang tidak kalah dengan anak-anak pada umumnya.

Para guru mengajar sesuai dengan kurikulum pendidikan yang berlaku. Mereka selalu menyosialisasikan kata-kata yang positif dan bersifat membangun karakter para murid.

“Karena itu, tidak ada kata-kata yang melarang aktivitas anak-anak,” imbuhnya.

Suami Danya Dewanti itu menuturkan, lima guru yang mengajar di Komunitas Menara dari kalangan profesional yang bergerak di bidang pendidikan. Malah, salah seorang guru, E Lisminarti Dwiani, adalah relawan sekaligus pengajar di sejumlah sekolah gratis.

“Bu Lis (panggilan Lisminarti, Red) juga punya sekolah gratis sendiri. Beliau memang jiwa sosialnya tinggi,” kata Fuadi.

Selain didampingi lima guru, Komunitas Menara memiliki sepuluh relawan. Mereka bergantian datang untuk membantu menjaga anak-anak saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung.

Pada Sabtu, saat sekolah libur, seorang relawan mendongeng di pendapa yang disulap menjadi taman bacaan. Taman bacaan tersebut terbuka untuk umum.

Tidak hanya melibatkan relawan, Komunitas Menara mengikutsertakan para orang tua murid. Mereka diberi jadwal piket untuk membersihkan fasilitas bermain dan belajar putra-putrinya.

Fuadi mengakui, awalnya wali murid ogah-ogahan menjalani jadwal piket tersebut. Namun, setelah pengasuh menanamkan rasa memiliki terhadap komunitas itu, semua berubah.

“Saya beri pengertian kepada mereka bahwa Komunitas Menara adalah milik kita bersama. Akhirnya mereka mau mengerti,” jelasnya.
PAUD Komunitas Menara baru berusia 1,5 tahun. Namun, ide mendirikan yayasan pendidikan bagi anak usia dini itu terpikir sejak Fuadi mulai menulis novel Negeri 5 Menara.

“Karena niat awal buku itu untuk berbagi. Jadi, pada edisi pertama buku sudah ditulis di pengantar dan cover bahwa ada bagian dari buku untuk membuat Komunitas Menara,” urai alumnus program master George Washington University dan Royal Holloway, University of London, itu.
Bersama sang istri, Fuadi sepakat mendirikan yayasan sosial tersebut. Setelah itu, Fuadi beserta tim mulai memposting segala sesuatu tentang Komunitas Menara di situs jejaring sosial Facebook dan Twitter. Dari kedua situs tersebut, Fuadi mengajak para pembaca untuk menjadi relawan. Hasilnya, kini sekitar 600 relawan terdaftar di Komunitas Menara. Selain menjadi relawan, banyak pula yang ingin menjadi donatur komunitas.

“Sampai ada anak SMA yang juga pembaca buku saya yang ingin banget menjadi donatur. Dia rela menyisihkan sebagian uang sakunya untuk didonasikan ke yayasan Rp 50 ribu sebulan. Saya terharu sekali atas perhatian anak SMA itu,” ujar Fuadi.

Meski duit royalti dari novel dan filmnya, lanjut dia, ternyata langkahnya tidak lantas menjadi mudah. Dia masih kesulitan mencari guru dan staf yang benar-benar sesuai dengan komitmen dan misi yayasan sosial tersebut. Meski begitu, akhirnya Februari tahun lalu berdirilah PAUD Komunitas Menara.
Ketika ditanya mengapa memilih yayasan PAUD, Fuadi menuturkan, pendidikan prasekolah sangat penting. Sebab, usia emas (0-8 tahun) adalah masa yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai sosial dan membangun karakter.

“Orang sekarang banyak yang korupsi, mungkin pembentukan karakternya waktu kecil tidak sempurna,” ujarnya.
Sejak berdiri Komunitas Menara memiliki 37 murid. Proses rekrutmen murid tidak gampang. Apalagi, fasilitas ruangnya masih terbatas. Karena itu, yayasan harus melakukan seleksi ketat untuk mendapatkan calon murid. Di antaranya menyurvei calon murid di rumah masing-masing, apakah si calon benar-benar dari keluarga tidak mampu.

“Kami ada check list untuk mengetahui kondisi keluarga calon siswa. Apakah mereka punya kendaraan, pekerjaan orang tuanya apa, rumahnya seperti apa. Kami mencari siswa dengan kondisi paling bawah,” katanya.

Fuadi sangat berharap Komunitas Menara berkembang di seluruh Indonesia. “Banyak relawan yang menanyakan kapan Komunitas Menara buka di daerah mereka. Harapannya, kami bisa terus berkembang, setidaknya seperti Yayasan Dompet Dhuafa,” pungkasnya. (*)

Komunitas Menara, PAUD Gratis Obsesi Penulis Negeri 5 Menara

Berkat novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna, nama Ahmad Fuadi melejit. Bahkan, novel pertamanya sudah diadaptasi ke layar lebar. Berkat kedua novel itu pula Fuadi bisa membangun yayasan sosial Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Komunitas Menara untuk menampung anak-anak kurang mampu.

SEKARING RATRI/THOMAS KUKUH, Jakarta

Luas lahan yayasan PAUD Komunitas Menara di Bintaro Sektor 3, Jl Beruang II No 69, Tangerang Selatan, itu hanya sekitar 15 x 15 meter. Ruang kelasnya hanya dua. Ruang kelas A dan kelas B. Di depan dua ruang kelas tersebut terdapat semacam pendapa kecil dengan halaman yang juga tidak cukup luas.

Namun, suasana belajar-mengajar di dalam kelas cukup hidup. Semua murid usia prasekolah tampak antusias mengikuti kegiatan. Di ruang kelas B, pagi itu, para murid sibuk belajar menuliskan nama bulan. Sementara murid kelas A asyik bermain pengenalan benda. Ada yang memancing, mengaduk busa sabun, atau mengisikan air ke botol. Beberapa guru mengawasi bocah-bocah itu sambil sesekali menyisipkan “pelajaran” dalam kegiatan bermain tersebut.

Seperti saat memancing, para siswa tidak sekadar bermain. Mereka juga diajari cara berhitung. Saat berhasil mendapatkan ikan dari dalam baskom plastik, anak-anak diminta menghitung hasil tangkapannya. Agar adil, murid kelas A diminta memainkan permainan yang berbeda secara bergilir. Saat beberapa murid sudah ingin bergeser, padahal belum gilirannya, guru yang mendampingi tidak lantas melarang dengan menggunakan kata-kata “jangan” atau “tidak boleh”.

“Kami memilih kata-kata “belum diizinkan”. Jadi, bahasa yang digunakan di sini untuk membangun karakter. Kalau kami bilang jangan, anak-anak malah penasaran,” ujar Atika, salah seorang guru, yang ditemui di sela-sela kegiatan belajar-mengajar PAUD Komunitas Menara, Senin (18/6) lalu.
Menurut penggagas PAUD Komunitas Menara Ahmad Fuadi, meski lembaga pendidikannya tidak berbayar alias gratis, dirinya tidak ingin setengah-setengah dalam mengelola yayasan. Guru yang berjumlah lima orang pun diwajibkan mengikuti pelatihan mengajar. Mereka juga sering mengikuti seminar pendidikan untuk menambah ilmu.

“Ada guru yang kami kirim ke Rumah Perubahan milik Rhenald Khasali. Di sana mereka belajar teknik sentra. Ada juga guru yang kami latih ke IHF (Indonesia Heritage Foundation). Di situ ada pelatihan kurikulum berkarakter untuk anak-anak,” jelas penulis buku laris Negeri 5 Menara itu.
Alhasil, kualitas pendidikan yang diberikan Komunitas Menara tak berbeda dengan yang disajikan di sekolah-sekolah dengan bayaran mahal. Semua murid dari kalangan tidak mampu. Meski begitu, mereka tetap berkesempatan mendapatkan pendidikan yang tidak kalah dengan anak-anak pada umumnya.

Para guru mengajar sesuai dengan kurikulum pendidikan yang berlaku. Mereka selalu menyosialisasikan kata-kata yang positif dan bersifat membangun karakter para murid.

“Karena itu, tidak ada kata-kata yang melarang aktivitas anak-anak,” imbuhnya.

Suami Danya Dewanti itu menuturkan, lima guru yang mengajar di Komunitas Menara dari kalangan profesional yang bergerak di bidang pendidikan. Malah, salah seorang guru, E Lisminarti Dwiani, adalah relawan sekaligus pengajar di sejumlah sekolah gratis.

“Bu Lis (panggilan Lisminarti, Red) juga punya sekolah gratis sendiri. Beliau memang jiwa sosialnya tinggi,” kata Fuadi.

Selain didampingi lima guru, Komunitas Menara memiliki sepuluh relawan. Mereka bergantian datang untuk membantu menjaga anak-anak saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung.

Pada Sabtu, saat sekolah libur, seorang relawan mendongeng di pendapa yang disulap menjadi taman bacaan. Taman bacaan tersebut terbuka untuk umum.

Tidak hanya melibatkan relawan, Komunitas Menara mengikutsertakan para orang tua murid. Mereka diberi jadwal piket untuk membersihkan fasilitas bermain dan belajar putra-putrinya.

Fuadi mengakui, awalnya wali murid ogah-ogahan menjalani jadwal piket tersebut. Namun, setelah pengasuh menanamkan rasa memiliki terhadap komunitas itu, semua berubah.

“Saya beri pengertian kepada mereka bahwa Komunitas Menara adalah milik kita bersama. Akhirnya mereka mau mengerti,” jelasnya.
PAUD Komunitas Menara baru berusia 1,5 tahun. Namun, ide mendirikan yayasan pendidikan bagi anak usia dini itu terpikir sejak Fuadi mulai menulis novel Negeri 5 Menara.

“Karena niat awal buku itu untuk berbagi. Jadi, pada edisi pertama buku sudah ditulis di pengantar dan cover bahwa ada bagian dari buku untuk membuat Komunitas Menara,” urai alumnus program master George Washington University dan Royal Holloway, University of London, itu.
Bersama sang istri, Fuadi sepakat mendirikan yayasan sosial tersebut. Setelah itu, Fuadi beserta tim mulai memposting segala sesuatu tentang Komunitas Menara di situs jejaring sosial Facebook dan Twitter. Dari kedua situs tersebut, Fuadi mengajak para pembaca untuk menjadi relawan. Hasilnya, kini sekitar 600 relawan terdaftar di Komunitas Menara. Selain menjadi relawan, banyak pula yang ingin menjadi donatur komunitas.

“Sampai ada anak SMA yang juga pembaca buku saya yang ingin banget menjadi donatur. Dia rela menyisihkan sebagian uang sakunya untuk didonasikan ke yayasan Rp 50 ribu sebulan. Saya terharu sekali atas perhatian anak SMA itu,” ujar Fuadi.

Meski duit royalti dari novel dan filmnya, lanjut dia, ternyata langkahnya tidak lantas menjadi mudah. Dia masih kesulitan mencari guru dan staf yang benar-benar sesuai dengan komitmen dan misi yayasan sosial tersebut. Meski begitu, akhirnya Februari tahun lalu berdirilah PAUD Komunitas Menara.
Ketika ditanya mengapa memilih yayasan PAUD, Fuadi menuturkan, pendidikan prasekolah sangat penting. Sebab, usia emas (0-8 tahun) adalah masa yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai sosial dan membangun karakter.

“Orang sekarang banyak yang korupsi, mungkin pembentukan karakternya waktu kecil tidak sempurna,” ujarnya.
Sejak berdiri Komunitas Menara memiliki 37 murid. Proses rekrutmen murid tidak gampang. Apalagi, fasilitas ruangnya masih terbatas. Karena itu, yayasan harus melakukan seleksi ketat untuk mendapatkan calon murid. Di antaranya menyurvei calon murid di rumah masing-masing, apakah si calon benar-benar dari keluarga tidak mampu.

“Kami ada check list untuk mengetahui kondisi keluarga calon siswa. Apakah mereka punya kendaraan, pekerjaan orang tuanya apa, rumahnya seperti apa. Kami mencari siswa dengan kondisi paling bawah,” katanya.

Fuadi sangat berharap Komunitas Menara berkembang di seluruh Indonesia. “Banyak relawan yang menanyakan kapan Komunitas Menara buka di daerah mereka. Harapannya, kami bisa terus berkembang, setidaknya seperti Yayasan Dompet Dhuafa,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/