Dikisahkan, seorang tokoh sufi humoris yang bernama Nasrudin Hoja diduga adalah seorang penyelundup. Setiap kali Nasruddin melewati batas wilayah kotanya, penjaga perbatasan wilayah itu selalu menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tak ada satu pun hal mencurigakan yang menunjukkan jika ia adalah penyelundup.
Oleh: Misbahul Ulum*
Hingga akhirnya, pada suatu malam salah seorang penjaga perbatasan mendatangi rumah Nasruddin dan berkata “aku tahu bahwa engkau adalah seorang penyelundup, tapi sampai saat ini aku tidak pernah menemukan barang selundupanmu, aku penasaran. Apa sebenarnya yang engkau selundupkan wahai Nasruddin?”. Dan dengan tanpa ragu Nasruddin menjawab “Jubah”.
Kisah seperti diatas inilah yang nampaknya saat ini sedang ditiru oleh sebagian besar wakil rakyat kita. Banyak agenda kerja yang sengaja disusun sebagai alat untuk menggelapkan uang negara. Dari cerita diatas, sepintas jubah yang digunakan Nasrudin itu bukan barang selundupan karena memang tidak terlihat seperti barang selundupan. Seperti inilah yang dilakukan wakil rakyat kita saat ini, berbagai agenda kerja telah disulap sebagai alat untuk menyelundupkan uang negara. Pencurian uang negara saat ini sudah terbungkus rapi dalam bentuk program kerja yang penyelenggaraannya menggunakan uang negara dengan jumlah besar.
Pemborosan Anggaran
Praktik penyelundupan uang negara ini dapat dijumpai pada pelaksanaan kegiatan seperti Studi Banding dan kunjungan kerja DPR. Seolah, dua kegiatan ini telah menjadi agenda wajib bagi para penyelenggara negara (DPR). Melalui agenda ini, mereka bisa dengan leluasa menguras uang negara sekaligus bisa bersenang-senang ke berbagai daerah. Bahkan luar negeri.
Beberapa waktu lalu publik di kejutkan dengan agenda studi banding anggota dewan yang tergabung dalam Pansus RUU Desa. Betapa tidak, ditengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk, tanpa malu mereka jalan-jalan hingga ke Brazil dengan dalih studi banding dan kunjungan kerja. Tidak tangung-tanggung, kegiatan ini menghabiskan uang negara sebesar Rp1,6 miliar. Tidak hanya itu, sesaat setelah studi banding ke Brazil usai, sebagaian anggota dewan yang lain juga menyusul melakukan studi banding ke Turki dan Denmark, hanya untuk menentukan logo PMI. Studi banding yang berlangsung sejak tanggal 3 – 7 September ini setidaknya menghabiskan anggaran 2,3 miliar. Sungguh jumlah yang tidak sedikit.
Padahal, beberapa waktu lalu DPR sempat mendapatkan kritikan tajam dari masyarakat lantaran agenda studi banding yang dinilai melukai hari rakyat. Namun, kritikan dari masyarakat itu seolah bagaikan angin lalu saja. DPR tetap saja tak bergeming, justru akhir-akhir ini semakin gencar melaksanakan studi banding. Sungguh Ironis. Ditengah berbagai kemelut persoalan yang sedang membelenggu masyarakat, ternyata DPR justru menghambur-hamburkan uang negara untuk hal yang tidak penting.
Seharusnya, para penyelanggara negara menjadikan persoalan rakyat sebagai fokus utama dalam bekerja, ia harus mencurahkan seluruh tenaga dan biaya hanya untuk kesejahteraan rakyat. Bukan justru membuat agenda kerja yang hanya menghambur-hamburkan uang negara.
Penggunaan uang negara untuk kemajuan negara adalah keharusan. Akan tetapi jika uang negara itu justru digunakan untuk membiayai hal yang tidak penting, tentu akan menjadi persoalan. Sebab, peluang penyelewengan sangat terbuka lebar. Terlebih jika menggunakan uang negara dengan jumlah yang besar.
Harus dihentikan
Sepintas, apa yang direncanakan dan yang dilakukan oleh wakil rakyat kita adalah agenda kerja yang bertujuan memperbaiki negara. Akan tetapi, dalam praktik nyata, sangat retan terhadap tindakan korupsi. Mereka dengan leluasa menjadikan wewenang dan kekuasaan yang mereka miliki untuk merampok uang rakyat secara terbuka, tersistem dan berjama’ah.
Penyelundupan uang negara dengan model seperti ini harus segera dihentikan. Dan untuk itu, diperlukan keberanian untuk selalu kritis dalam mempersoalkan agenda kerja DPR, dan itu pun tidak akan pernah bisa terwujud jika anggota dewan juga tidak memiliki i’tikad luhur untuk memperbaiki keadaan Negara.
Nah, alternatif yang mungkin bisa ditempuh untuk mengakhiri praktik penyelundupan ini adalah; Pertama, rakyat harus memiliki kecerdasan untuk menganalisis agenda kerja DPR. Jangan sampai agenda yang dilakukan hanya sebatas buang-buang anggaran semata. Disamping itu, masyarakat juga harus memiliki keberanian untuk mempertanyakan agenda-agenda yang menyimpang dari tujuan memperbaiki negara.
Kedua, dibutuhkan mental jujur serta keberanian yang kuat dari para anggota dewan untuk bersikap terbuka terhadap seluruh masyarakat. Mereka harus berani mengatakan kebenaran kepada rakyat, berani merumuskan agenda kerja yang sepenuhnya memihak rakyat, serta menjadikan kesejahteraan bagi rakyat sebagai oerientasi dalam bekerja.
Dalam kisah diatas, terlihat jelas bagaimana seorang Nasrudin menunjukkan keberaniannya dan kejujurannya untuk mengakui bahwa dirinya memang seorang penyelundup. Namun, hal ini-lah yang tidak dimiliki oleh peyelenggara negara saat ini. Banyak pejabat negara tak memiliki keberanian untuk mengakui kekeliruan, justru selalu berusaha untuk membodohi rakyat dengan agenda-agenda kerja yang tak berarti. Semoga drama penyelundupan yang dibungkus dengan kedok studi banding maupun kunjungan kerja ini segera berakhir. Wallau a’lam bi al-Showab
*Penulis adalah Ketua Pusat Kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang