Dari Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU
CIREBON- Rais Am Syuriah PB NU KH Sahal Mahfudh mengkhawatirkan perkembangan bangsa di era reformasi. Perubahan konstitusi melalui amandemen UUD 1945 sebagai salah satu produk reformasi, misalnya, ternyata membawa sejumlah dampak buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Amandemen konstitusi yang dilakukan secara tergesa-gesa, menurut Sahal, menjadi awal sejumlah persoalan baru. Yaitu, lahirnya aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
“Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan sebagai akibat buruk yang tidak kita kehendaki dari reformasi,” ujar Sahal sebelum resmi membuka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, kemarin (15/9).
Sahal juga menyoroti kebijakan otonomi daerah yang diambil tanpa persiapan sosial matang. “Telah muncul konflik yang berkepanjangan di banyak daerah,” kata pemimpin Pondok Pesantren Maslakhul Huda Pati, Jateng, tersebut.
Selain itu, Sahal menyebut semakin mengarahnya Indonesia menjadi negara semifederal. Yaitu, ketika kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di daerah lemah. “Ini sangat membahayakan NKRI dengan keanekaragaman etnis dan budayanya,” ingatnya.
Sebagaimana diberitakan, Munas NU kali ini mengagendakan sejumlah pembahasan kritis atas beberapa hal. Di antaranya, kewajiban masyarakat membayar pajak yang terus dikorupsi, persoalan sedekah politik, hingga kajian atas sejumlah UU di bidang ekonomi yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Munas yang dirangkai dengan agenda konbes itu dibuka dan ditutup para pimpinan NU. Meski demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan hadir besok di tengah perhelatan forum tertinggi kedua di NU setelah muktamar tersebut.
Sementara itu, khusus menyangkut agenda pembahasan fatwa terkait kewajiban membayar pajak, anggota BPK Ali Masykur Musa yang turut hadir di tengah arena munas memberikan tanggapan. “Jika ini, misalnya, menghasilkan fatwa tidak wajib (membayar pajak), ini akan membawa implikasi politik ekonomi yang cukup serius,” kata ketua umum Ikatan Sarjana NU yang merupakan salah satu badan otonom organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu.
Menurut dia, fungsi-fungsi negara akan lumpuh karena tidak ada pendapatan dari pajak. Sebab, 70 persen APBN itu berasal dari pajak. Dia menambahkan, jika fatwa tersebut jadi keluar, akan muncul garis yang tegas di mata umat antara zakat dan pajak. Ada perbedaan di antara keduanya. “Ini peringatan keras dari NU untuk menjaga betul agar pajak tidak dikorupsi,” tegasnya. (dyn/c6/ttg)