26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sumut Ketiga Terkorup di Indonesia

JAKARTA-Posisi Sumut masih soal korupsi belum berubah. Data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan, Sumut menempati posisi ketiga provinsi terkorup di Indonesia. Data FITRA berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangaan (BPK) pada Semester II Tahun 2011.

“Untuk 34 provinsi ditemukan kerugian negara sebesar Rp4,1 Triliun dengan sebanyak 9.703 kasus,” ujar Uchok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, di Jakarta, kemarin (1/10).

Provinsi terkorup ditempati Provinsi DKI Jakarta, dengan kerugian negara sebesar Rp721,5 miliar dengan 715 kasus. Provinsi Aceh ranking kedua dengan kerugian negara sebesar Rp669,8 miliar dengan 629 kasus. “Provinsi Sumatera utara sebesar Rp515,5 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 334 kasus,” ujar Uchok.

Provinsi Papua dengan kerugian negara sebesar Rp476,9 miliar dengan jumlah kasusn
sebanyak 281 berada di posisi empat. Sedang posisi kelima, Provinsi Kalimantan Barat dengan kerugian negara sebesar Rp289,8 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 334 kasus.
Uchok menjelaskan, dari 34 provinsi ini, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, ada kerugian negara yang mulai tahun 2005-2008 belum dikembalikan kepada kas negara.
“Dan hal ini memperlihatkan pemerintah provinsi tidak takut kepada auditor negara atas banyaknya ditemukannya kerugiaan negara atau banyak kerugiaan negara yang ditemukan oleh BPK,” cetus Uchok.

Masih banyaknya kerugian negara, kata Uchok, memperlihatkan pemerintah provinsi selama ini banyak mengabaikan hasil temuan audit BPK ini.  “Lihat saja, 34 provinsi ini, semua menyimpan kerugian negara. Dengan tidak memberitahu kepada publik, memperlihatkan pembuat kebijakan ingin sembunyi dari rasa malu agar tidak menjadi sorotan rakyat. Atau rasa malu itu sudah hilang dalam batin dan hati para pembuat kebijakan sehingga kerugian negara ini dianggap biasa-biasa saja,” ujar Uchok.

Menyikapi hal itu, anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI Perjuangan yang duduk di Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut, Brillian Moktar menegaskan potensi kerugian negara dan daerah sebenarnya bisa lebih dari yang dirilis FITRA Pusat tersebut.

Karena, menurutnya, kebocoran anggaran pada keuangan daerah, tidak saja terjadi dan didasarkan penggembosan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saja, melainkan masih banyak lagi lubang-lubang lainnya untuk melakukan tindak korupsi. “Tindakan korupsi, kita sudah tidak kaget lagi. Kita sudah maklum. Itu rekor bagi Pemprovsu. Peluang untuk berlaku dan bertindak korup bukan hanya di APBD, tapi masih banyak lubang-lubang lainnya. Perlu ada pemimpin revolusioner untuk memperbaiki sistem. Saya yakin, korupsi bisa diminimalisir,” tegasnya.

Secara terpisah, Humas BPK RI Wilayah Sumut, Mikael Togatorop, menyebutkan rangking korupsi tersebut adalah mutlak milik FITRA. “Itu kan versi FITRA. Kami tidak ada menyebutkan peringkat daerah tentang korupsi. Urusan korupsi itu di tangan penegak hukum,” tukas Mikael.
Rafdinal SSos, analis politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menilai ada dua hal yang tersirat dari kenyataan yang diungkap FITRA ke khalayak.

Kedua hal yang tersirat itu, yakni secara tegas dan jelas menunjukkan lemahnya Pemprovsu dalam mengelola anggaran. Kedua, menurut Rafdinal, ketidaktepatan dalam perencanaan kinerja secara baik. Dan semestinya, itu menjadi warning untuk memperbaiki sistem yang ada.
Sementara itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kadiskominfo) Sumut, Asren Nasution, menyikapi hal itu secara diplomatis. “Temuan FITRA perlu kita dalami, terutama parameter yang digunakan. Karena korupsi sudah masuk ranah hukum. Maka, mungkin penentuan peringkat korupsi itu setelah ada kepastian hukumnya. Bagi Pemprovsu, temuan FITRA kita tanggapi positif untuk meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian dan peningkatan pengawasan. Agar apa yang disebut FITRA itu tidak terjadi di Sumut,” kata Asren. (sam/ari)

JAKARTA-Posisi Sumut masih soal korupsi belum berubah. Data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan, Sumut menempati posisi ketiga provinsi terkorup di Indonesia. Data FITRA berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangaan (BPK) pada Semester II Tahun 2011.

“Untuk 34 provinsi ditemukan kerugian negara sebesar Rp4,1 Triliun dengan sebanyak 9.703 kasus,” ujar Uchok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, di Jakarta, kemarin (1/10).

Provinsi terkorup ditempati Provinsi DKI Jakarta, dengan kerugian negara sebesar Rp721,5 miliar dengan 715 kasus. Provinsi Aceh ranking kedua dengan kerugian negara sebesar Rp669,8 miliar dengan 629 kasus. “Provinsi Sumatera utara sebesar Rp515,5 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 334 kasus,” ujar Uchok.

Provinsi Papua dengan kerugian negara sebesar Rp476,9 miliar dengan jumlah kasusn
sebanyak 281 berada di posisi empat. Sedang posisi kelima, Provinsi Kalimantan Barat dengan kerugian negara sebesar Rp289,8 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 334 kasus.
Uchok menjelaskan, dari 34 provinsi ini, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, ada kerugian negara yang mulai tahun 2005-2008 belum dikembalikan kepada kas negara.
“Dan hal ini memperlihatkan pemerintah provinsi tidak takut kepada auditor negara atas banyaknya ditemukannya kerugiaan negara atau banyak kerugiaan negara yang ditemukan oleh BPK,” cetus Uchok.

Masih banyaknya kerugian negara, kata Uchok, memperlihatkan pemerintah provinsi selama ini banyak mengabaikan hasil temuan audit BPK ini.  “Lihat saja, 34 provinsi ini, semua menyimpan kerugian negara. Dengan tidak memberitahu kepada publik, memperlihatkan pembuat kebijakan ingin sembunyi dari rasa malu agar tidak menjadi sorotan rakyat. Atau rasa malu itu sudah hilang dalam batin dan hati para pembuat kebijakan sehingga kerugian negara ini dianggap biasa-biasa saja,” ujar Uchok.

Menyikapi hal itu, anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI Perjuangan yang duduk di Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut, Brillian Moktar menegaskan potensi kerugian negara dan daerah sebenarnya bisa lebih dari yang dirilis FITRA Pusat tersebut.

Karena, menurutnya, kebocoran anggaran pada keuangan daerah, tidak saja terjadi dan didasarkan penggembosan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saja, melainkan masih banyak lagi lubang-lubang lainnya untuk melakukan tindak korupsi. “Tindakan korupsi, kita sudah tidak kaget lagi. Kita sudah maklum. Itu rekor bagi Pemprovsu. Peluang untuk berlaku dan bertindak korup bukan hanya di APBD, tapi masih banyak lubang-lubang lainnya. Perlu ada pemimpin revolusioner untuk memperbaiki sistem. Saya yakin, korupsi bisa diminimalisir,” tegasnya.

Secara terpisah, Humas BPK RI Wilayah Sumut, Mikael Togatorop, menyebutkan rangking korupsi tersebut adalah mutlak milik FITRA. “Itu kan versi FITRA. Kami tidak ada menyebutkan peringkat daerah tentang korupsi. Urusan korupsi itu di tangan penegak hukum,” tukas Mikael.
Rafdinal SSos, analis politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menilai ada dua hal yang tersirat dari kenyataan yang diungkap FITRA ke khalayak.

Kedua hal yang tersirat itu, yakni secara tegas dan jelas menunjukkan lemahnya Pemprovsu dalam mengelola anggaran. Kedua, menurut Rafdinal, ketidaktepatan dalam perencanaan kinerja secara baik. Dan semestinya, itu menjadi warning untuk memperbaiki sistem yang ada.
Sementara itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kadiskominfo) Sumut, Asren Nasution, menyikapi hal itu secara diplomatis. “Temuan FITRA perlu kita dalami, terutama parameter yang digunakan. Karena korupsi sudah masuk ranah hukum. Maka, mungkin penentuan peringkat korupsi itu setelah ada kepastian hukumnya. Bagi Pemprovsu, temuan FITRA kita tanggapi positif untuk meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian dan peningkatan pengawasan. Agar apa yang disebut FITRA itu tidak terjadi di Sumut,” kata Asren. (sam/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/