Imam Sujoko, Satu Kaki Lintas Jawa-Sumatera-Sabang PP dalam 110 hari
Ketidaksempurnaan manusia bisa menjadi kelebihan seseorang dari manusia lainnya. Paling tidak hal itu yang ingin dibuktikan penggila touring Imam Sujoko yang hanya memiliki satu kaki.
INDRA JULI-Medan
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, Senin (11/4). Imam Sujoko (44) yang ditemui di salah satu penginapan seputaran Jalan Amaliun Medan, terlihat bersemangat. Mengenakan kemeja dari sponsor dan celana panjang corak loreng tanpa alas kaki. Imam tampak santai, dengan tongkat sebagai penopang karena ia memang sudah tak memili kaki kiri.
Satu per satu track perjalanan diperiksa untuk selanjutnya menyiapkan skedul perjalanan yang akan dilalui menuju titik 0 (nol), Pulau Sabang di Provinsi Naggrie Aceh Darussalam (NAD). Tak jarang juga dirinya bercanda dengan pendampingnya, Philips Sibuea mengenai perjalanan kali ini.
Keberadaan Imam di Kota Medan merupakan rangkaian dari kegiatan Lintas Jawa-Sumatera-Sabang dalam 110 hari pulang-pergi (PP) yang dilakoninya dengan menggunakan sepeda motor matic. Kegiatan itu sendiri diawali 26 Februari lalu dengan titik start di Banyuwangi. Direncanakan Imam akan meninggalkan Kota Medan 14 April menuju Pulau Sabang. “Saya itu pada dasarnya memang suka turing.
Dengan begitu aku tidak ingin diremehkan orang lain. Karena memang manusia itu ada batasnya tapi ada juga kelebihannya,” tegas pria kelahiran Lumajang 30 Maret 1968 ini.
Untuk itu Imam bertekad menyelesaikan perjalanan hingga ke titik 0 Pulau Sabang. Selain ingin membuktikan kebenaran iklan dari salah satu produsen sepedamotor matic, perjalanan itu nantinya akan menjadi torehan sejarah. Imam Sujoko adalah bikers cacat tubuh pertama yang sampai ke Pulau Sabang. “Aku sampai bernazar, sesampai di titik nol, aku mau langsung cari tukang cukur rambut biar dicukur habis. Karna aku belum pernah dibotak,” ucapnya di hari ke 43, kemarin.
Seperti yang disampaikan kepada Sumut Pos, dulunya Imam terlahir normal. Saat bekerja di proyek pembangunan tower di Maluku pada 1997 dirinya mengalami kecelakaan yang membuatnya harus kehilangan kaki kiri.
Suami dari Siti Rahayu ini tidak mau tenggelam dalam kesedihan dan berputus asa. Perlahan namun pasti Imam menata hidup untuk bangkit. Dengan bekerja di tambak di daerah Banyuwangi dirinya memenuhi tanggung jawab sebagai kepala keluarga membesarkan anak sematawayang Niken (21).
Semangat berbuat tadi pun menjadi modal utama Imam mengawali perjalanannya pada 2003 silam. Hebatnya, saat itu Imam hanya menggunakan sepeda kumbang. Tak tanggung-tanggung, dengan sepeda itu dirinya sudah berkeliling di 32 provinsi di Indonesia. Untuk itu berbagai penghargaan berhasil diraih baik dari kelompok masyarakat hingga pejabat daerah yang berkenan bertemu langsung dengan dirinya. Seperti yang diperlihatkan pada beberapa dokumentasi yang disimpan baik oleh Imam.
Hal itu tampaknya belum membuat Imam puas dalam menegakkan eksistensinya. Pada 2010 Imam mengganti tunggangannya dari sepeda kumbang kini menggunakan sepedamotor. Perjalanan perdananya pun menghantarnya ke negeri cenderawasih, Irian Jaya. “Aku masuk ke PT Freeport dengan motor matic ini. Soalnya aku pengen tahu kekuatan matic ini sebenarnya. Kalau katanya 500 kilo harus servis, aku hajar saja sampai selesai baru di servis. Ternyata baik-baik saja kok,” kenangnya.
Begitu pun dari sekian banyak perjalanan yang dilalui, Imam mengaku memiliki kesan tersendiri untuk daerah Sumatera Utara. Apalagi kalau tidak persaudaraan yang begitu kental di antara sesama bikers. Bahkan Imam harus mengatur ulang jadwal perjalanan karena di beberapa daerah tertahan oleh komunitas bikers yang memang sudah menunggu. Dari Rantauprapat dirinya dipaksa singgah. Meskipun berhasil lewat dengan ’ilmu silumannya’ (karena tidak menyapa komunitas kikers) di Kisaran, Imam kembali tertangkap di Tebing Tinggi sebelum akhirnya tiba di Kota Medan, Sabtu (9/4) lalu.
Imam disambut di fly over oleh ketua Scorpio Anak Medan (SAM) Iwan didampingi divisi turing Hery untuk kemudian diarahkan ke beberapa komunitas sepedamotor di Kota Medan. “Jujur saja, aku itu paling berkesan dengan Kota Medan bahkan aku dulu pernah tinggal di sini tiga bulan karena enaknya. Hanya saja aku juga paling gemas dengan panasnya,” pungkasnya. (*)