Oleh: Mokhamad Abdul Aziz
Guru merupakan salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Mereka bahkan mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, dewasa ini kemulian guru terlihat mulai hilang, ketika seorang guru hanya berorientasi pada material saja.
Ironisnya, banyak guru yang tidak mengetahui fungsinya sebagai pendidik. Mereka hanya menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Parahnya lagi, para guru mengajar muridnya hanya sekedar formalitas saja.
Tidak mengherankan, jika banyak murid-murid yang berperilaku jauh menyimpang dari nilai dan norma yang ada. Memang tidak mudah menjalankan peran profetik itu. Kadang, konsentrasi meraka terbelah dengan konstrentasi memenuhi kebutuhan hidup.
Wajar saja, jika guru juga menginginkan hidup wajar sesuai standar manusia kebanyakan, yaitu menginginkan pemenuhan materi duniawi. Tarikan pemenuhan kebutuhan inilah yang menyebabkan guru saat ini menomorduakan tugasnya.
Sebenarnya, pemerintah sudah mengantisipasi adanya penomorduaan tugas guru ini, yaitu melalui stratifikasi. Dengan sertifikasi ini, guru diharapkan bisa memenuhi kebutuhan mereka dan bisa fokus untuk mengajar anak didiknya. Selain itu, sertifikasi juga difungsikan untuk meningkatkan kualitas guru, agar mereka bisa mengajar lebih profesional. Setelah sertifikasi, status guru menjadi naik, bahkan seorang dokter bisa saja kalah secara material.
Namun, usaha pemerintah ini tampaknya tidak memenuhi hasil yang diharapkan. Paradigma hedonistis dan matetialistis yang telah menjangkiti hampir sebagian besar guru menjadi penyebabnya. Dalam pandangannya, ia selalu merasa kurang, selalu saja tidak puas dengan apa yang didapatkan.
Imbalan besar yang dimaksudkan agar meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia menjadi sia-sia, karena sifat selalu merasa kurang tersebut. Orientasi utama kebanyakan guru saat ini hanya pada profesi, sehingga hanya untuk meperoleh materi saja. Padahal, peran guru jika diukur dengan materi saja tidak cukup. Guru lebih tinggi derajadnya daripada hanya sekedar diukur dengan materi.
Bahkan, Plato mengatakan, mereka adalah “para pemilik warung yang menjual barang-barang ruhani”. Artinya, guru yang hanya mengharapkan materi tidak ada bedanya dengan sofi-sofis pada zaman Yunani Kuno. Para sofis itu memberikan pendidikan hanya sekedar untuk mencari materi baik berupa uang maupun barang.
Pekerjaan Mulia
Menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebab, seorang guru yang mendidik muridnya dengan baik dan benar, serta dengan dilandasi keikhlasan hati, akan mengantarkan seorang murid menjadi baik dan benar juga. Seorang guru dikatakan berhasil, jika murid-muridnya mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan nyata.
Namun, menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena ia adalah tauladan dan cermin bagi murid-muridnya. Dalam falsafah Jawa kata “guru” merupakan akronim dari digugu lan ditiru, maksudnya seorang guru harus dapat dipercaya dan dicontoh. Ini berarti bahwa seorang guru harus mampu menjadi panutan bagi peserta didiknya.
Seorang guru akan menyandang status terhormat, yaitu sebagai pewaris para nabi, jika ia berhasil menjalankan aktivitas profetik dengan baik dan benar. Aktivitas profetik sebagaimana yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu, yang selalu ikhlas dan gigih dalam mengajarkan ilmu kepada umatnya, serta tidak mengaharapkan imbalan berupa apapun.
Oleh karena itu, seorang guru harus bisa menjadi “nabi” yang selalu siap berjuang untuk kemaslahatan umat. Jika tugas itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan bangsa ini akan keluar dari keterpurukan. Harus diakui, maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya karena pendidikan yang maju.
Seseorang guru tidak hanya harus memenuhi kapasitas keilmuawannya saja, tetapi juga mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Sebab, jika pengetahuan itu tidak diimplementasikan, maka sama saja tidak ada fungsinya. Seperti pepatah arab mengatakan, “ilmu tanpa diamalakan seperti pohon yang tidak berbuah”.
Namun, jangan sampai ilmu pengetahuan itu menjadi perusak dunia. Dengan demikian, itu semua tergantung “pemiliknya”. Oleh karena itu, guru harus mendorong murid-muridnya untuk untuk melakukan tindakan nyata yang didasarkan kepada akhlak mulia, agar tidak digunakan dalam hal negatif.
Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2005 (Tentang Guru dan Dosen), bahwa guru mempunyai tugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Panggilan Mendidik
Perlu digaris bawahi, ajaran seseorang tidak akan bisa melakukan perbaikan jika tidak didasari dengan keikhalasan. Sebab, yang keluar dari mulutnya tidak dibarengi dengan hati nurani. Jadi, Perbaikan hanya akan bisaberhasil jika didasari dengan keikhlasan hati nurani.
Agar ini tidak berlarut-larut, diperlukan adanya reorientasi penanaman paradigma bahwa menjadi guru itu adalah aktivitas profetik yang sangat mulia. Apabila, niat itu sudah benar, maka akan dengan sendirinya materi (uang) akan mengikutinya.
Yang terpenting, aktivitas mendidik seorang guru haruslah dilakukan atas dasar panggilan hati, bukan karena keterpaksaan. Sistem rekruitmen guru yang selama ini tidak profesional harus segera diperbaiki.
Sebab, pada kenyataan, di lapangan banyak guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan. Ironisnya lagi banyak dari mereka adalah sarjana-sarjana yang tidak mendapatkan pekerjaan yang kemudian terpaksa memilih profesi guru sebagai pilihan terakhir.
Meski mereka memiliki kapasitas intelektual yang memadai, tapi tidak memiliki panggilan untuk menularkan ilmunya, maka tidak akan bisa menjalankan fungsi sebagai pewaris para nabi secara optimal dan total.
Oleh karena itu, perlu penataan kembali mekanisme perekrutan guru yang ada, agar mendapatkan sosok guru yang benar-benar memiliki panggilan hati, bukan karena terpaksa. Jika guru sudah memiliki panggilan hati untuk mengajarkan ilmunya, ditambah kapasitas intelaktual yang memadai, maka ia akan lebih profesional dalam mengajar.
Dan akan bisa dipastikan pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan kearah yang lebih baik. Peran semua elemen untuk menciptakan pendidikan berkualitas sangat diperlukan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat kita sendiri. Semua itu akan bisa dilakukan jika didasari dengan niat yang tulus dan ikhlas. Wallahu a’lam bi al-shwab.
Penulis Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang