29 C
Medan
Thursday, December 26, 2024
spot_img

Lukisan Berbahan Pasir, Rambah Galeri Luar Negeri

Melihat Sand Painting Gallery Winarto Kartupat di Taman Budaya Medan

Sand Painting Gallery Winarto Kartupat adalah galeri dengan jejeran lukisan berbahan utama pasir. Tak banyak seniman lukis yang menggunakan material itu sebagai komponen bahan lukis. Toh tangan Winarto mampu menyulap pasir menjadi lukisan indah nan artistik.

M Sahbainy Nasution, Medan

ADA banyak jenis pasir yang disimpannya di sudut galerinya. Mungkin ada ratusan jenis dengan warna yang beranekaragam. Dari warna hitam, abu-abu, orange, merah, hitam menghilap, putih, hijau, coklat, kuning, dan sejumlah warna gradasi atau campuran dari beberapa warna dasar.

KOLEKSI: Winarto Kartupat (kiri)  koleksinya   dipajang Sand Painting Gallery.
KOLEKSI: Winarto Kartupat (kiri) dan koleksinya di yang dipajang Sand Painting Gallery.

Bukan warnanya saja yang lain. Bentuknya pun berbeda, ada pasir kasar, batu-batu kecil, halus-kasar, hingga yang sangat halus. Jenis dan warna pasir yang berlainan itu diambil Winarto dari daerah berbeda-beda. Di luar rutinitas menggeluti profesi seniman lukis, Winarto juga tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pariwisata Kota Medan.

Tak jarang dari perjalanan dinas yang dilakukannya, dia menyempatkan diri dia menyempatkan diri mencari pasir yang biasanya dimasukkan ke botol air mineral. Jenis pasirnya kini bertambah kaya. Ada dari hampir seluruh daerah di Sumut, Aceh, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Kalimantan, Bali, Lombok, Jawa, dan daerah lainnya.

Bukan cuma pasir lokal yang dia koleksi sebagai material dasar lukisannya. Winarto juga menyimpan pasir asal negara lain seperti Australia, Malaysia,  Thailand, Francis, Belanda, Qatar, Jordania, hingga Dubai.

“Saya terpesona dengan keindahan aneka ragam pasir ini. Saya amat kagum pada pasir pantai atau sungai yang saya datangi,” ungkap  Winarto (45) saat dijumpai di galerinya di Taman Budaya Medan.

Winarto jelas seniman otodidak, tapi dia sudah banyak makan asam-garam  dunia seni. Selain seni rupa, dai juga menggeluti seni teater, seni tari, dan seni musik. Kecintaan pada ragam seni ini sudah mengalir di tubuhnya semenjak dia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Desain (STSRD) Taman Siswa di Yogyakarta.

Di kota gudeg itu dia memperdalam pengetahuan seninya dengan belajar di Padepokan Bagong Kusdiharjo. Sanggar seni didirikan oleh ayah seniman Butet Kartarejasa dan Jadug Feriyanto. Setelah lulus dari STSRD Taman Siswa, Winarto pulang kampung ke Medan. “Sekitar tahun 1990 saya  masuk Taman Budaya Medan ini dan diangkat menjadi PNS,” katanya.

Sudah 22 tahun diua mengabdi sebagai PNS Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Selama itu pula dia terus mengembangkan kreativitasnya di bidang seni, dan menciptakan kreasi baru dengan melukis dengan material pasir. “Awalnya saya banyak membuat properti untuk panggung teater. Saya membuat topeng patung dan bahannya  adalah pasir. Rupanya saya lihat pasir adalah material yang amat kuat merekat. Nah dari situlah ide membuat lukisan berbahan utama pasir muncul pertama kali,’’ katanya.

Dia mengaku talenta seni yang mengalir di darahnya adalah turunan dari sang kakek yang juga seniman. Bakat alami juga mengalir kepada sang ayah yang mendalami seni lukis. Hanya saja, sang ayah lebih konsentrasi bekerja di kebun ketimbang mengembangkan bakat seni lukisnya. ‘’Saya dapat bakat dari mereka,”ucapnya.

Dalam lukisan seni pasir yang dikembangkan Winarto, inspirasi utamanya bersumber dari kehidupan alam. Satu bulan dia  bisa membuat dua lukisan pasir. Kini ada banyak lukisan yang ia ciptakan. Sebut saja perahu adat, gambar tokoh-tokoh sejarah, rumah adat, hewan, abstrak, wajah orang, dan kaligrafi yang merupakan ungkapan syukur terhadap sang Khalik.

“Saya jual lukisan ini Rp5 juta per buah. Lakunya tak menentu. Kadang satu lukisan bisa sampai enam bulan tak terjual,” katanya. Winarto boleh berbangga hati.

Saat ini lukisan pasir miliknya sudah dipamerkan di sejumlah kota, bahkan hinggap di galeri luar negeri, seperti Singapura, Malaysia dan Amerika Serikat. Dia bertekad tetap mempertahankan kreasi seni lukis pasir ini dengan mengombinasikannya dengan batu-batu alam. ‘’Kalau kita kreatif, seni itu bisa tercipta dari bahan apa saja. Bahkan di tengah keterbatasan material sekalipun,” katanya berfilosofi. (*)

Melihat Sand Painting Gallery Winarto Kartupat di Taman Budaya Medan

Sand Painting Gallery Winarto Kartupat adalah galeri dengan jejeran lukisan berbahan utama pasir. Tak banyak seniman lukis yang menggunakan material itu sebagai komponen bahan lukis. Toh tangan Winarto mampu menyulap pasir menjadi lukisan indah nan artistik.

M Sahbainy Nasution, Medan

ADA banyak jenis pasir yang disimpannya di sudut galerinya. Mungkin ada ratusan jenis dengan warna yang beranekaragam. Dari warna hitam, abu-abu, orange, merah, hitam menghilap, putih, hijau, coklat, kuning, dan sejumlah warna gradasi atau campuran dari beberapa warna dasar.

KOLEKSI: Winarto Kartupat (kiri)  koleksinya   dipajang Sand Painting Gallery.
KOLEKSI: Winarto Kartupat (kiri) dan koleksinya di yang dipajang Sand Painting Gallery.

Bukan warnanya saja yang lain. Bentuknya pun berbeda, ada pasir kasar, batu-batu kecil, halus-kasar, hingga yang sangat halus. Jenis dan warna pasir yang berlainan itu diambil Winarto dari daerah berbeda-beda. Di luar rutinitas menggeluti profesi seniman lukis, Winarto juga tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pariwisata Kota Medan.

Tak jarang dari perjalanan dinas yang dilakukannya, dia menyempatkan diri dia menyempatkan diri mencari pasir yang biasanya dimasukkan ke botol air mineral. Jenis pasirnya kini bertambah kaya. Ada dari hampir seluruh daerah di Sumut, Aceh, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Kalimantan, Bali, Lombok, Jawa, dan daerah lainnya.

Bukan cuma pasir lokal yang dia koleksi sebagai material dasar lukisannya. Winarto juga menyimpan pasir asal negara lain seperti Australia, Malaysia,  Thailand, Francis, Belanda, Qatar, Jordania, hingga Dubai.

“Saya terpesona dengan keindahan aneka ragam pasir ini. Saya amat kagum pada pasir pantai atau sungai yang saya datangi,” ungkap  Winarto (45) saat dijumpai di galerinya di Taman Budaya Medan.

Winarto jelas seniman otodidak, tapi dia sudah banyak makan asam-garam  dunia seni. Selain seni rupa, dai juga menggeluti seni teater, seni tari, dan seni musik. Kecintaan pada ragam seni ini sudah mengalir di tubuhnya semenjak dia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Desain (STSRD) Taman Siswa di Yogyakarta.

Di kota gudeg itu dia memperdalam pengetahuan seninya dengan belajar di Padepokan Bagong Kusdiharjo. Sanggar seni didirikan oleh ayah seniman Butet Kartarejasa dan Jadug Feriyanto. Setelah lulus dari STSRD Taman Siswa, Winarto pulang kampung ke Medan. “Sekitar tahun 1990 saya  masuk Taman Budaya Medan ini dan diangkat menjadi PNS,” katanya.

Sudah 22 tahun diua mengabdi sebagai PNS Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Selama itu pula dia terus mengembangkan kreativitasnya di bidang seni, dan menciptakan kreasi baru dengan melukis dengan material pasir. “Awalnya saya banyak membuat properti untuk panggung teater. Saya membuat topeng patung dan bahannya  adalah pasir. Rupanya saya lihat pasir adalah material yang amat kuat merekat. Nah dari situlah ide membuat lukisan berbahan utama pasir muncul pertama kali,’’ katanya.

Dia mengaku talenta seni yang mengalir di darahnya adalah turunan dari sang kakek yang juga seniman. Bakat alami juga mengalir kepada sang ayah yang mendalami seni lukis. Hanya saja, sang ayah lebih konsentrasi bekerja di kebun ketimbang mengembangkan bakat seni lukisnya. ‘’Saya dapat bakat dari mereka,”ucapnya.

Dalam lukisan seni pasir yang dikembangkan Winarto, inspirasi utamanya bersumber dari kehidupan alam. Satu bulan dia  bisa membuat dua lukisan pasir. Kini ada banyak lukisan yang ia ciptakan. Sebut saja perahu adat, gambar tokoh-tokoh sejarah, rumah adat, hewan, abstrak, wajah orang, dan kaligrafi yang merupakan ungkapan syukur terhadap sang Khalik.

“Saya jual lukisan ini Rp5 juta per buah. Lakunya tak menentu. Kadang satu lukisan bisa sampai enam bulan tak terjual,” katanya. Winarto boleh berbangga hati.

Saat ini lukisan pasir miliknya sudah dipamerkan di sejumlah kota, bahkan hinggap di galeri luar negeri, seperti Singapura, Malaysia dan Amerika Serikat. Dia bertekad tetap mempertahankan kreasi seni lukis pasir ini dengan mengombinasikannya dengan batu-batu alam. ‘’Kalau kita kreatif, seni itu bisa tercipta dari bahan apa saja. Bahkan di tengah keterbatasan material sekalipun,” katanya berfilosofi. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/