29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Importir Aktif Ambil SNI

Untuk Bersaing Industri Domestik

JAKARTA- Banjirnya produk asal Tiongkok tak terbendung lagi. Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri domestik malah dimanfaatkan produsen importir untuk menaikkan daya saing mereka di tanah air.

Untuk itulah Badan Standardisasi Nasional (BSN) terus melakukan edukasi dan sosialisasi penerapan SNI bagi industri tanah air.

Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN Dewi Odjar Ratna Komala mengungkapkan, saat ini penerapan SNI di Indonesia masih bersifat sukarela. Padahal, SNI tersebut bertujuan untuk meningkatkan standar mutu produk sekaligus mendongkrak efisiensi dari perusahaan untuk bersaing di perdagangan global saat ini.
Gerakan nasional penerapan SNI adalah salah satu komponen untuk meningkatkan daya saing barang dan jasa yang dikumandangkan pada 9 November 2010. “Awalnya dijadikan salah satu komponen meningkatkan daya saing barang dan jasa domestik. Namun sejak adanya deklarasi, sudah ada perwakilan dagang dari Tiongkok yang memborong dokumen SNI,” ungkapnya, kemarin.

Besarnya potensi Indonesia menjadikan pasar domestik menjadi sasaran empuk para eksporter. Tercatat ada sekitar 670 dokumen SNI yang sudah dibeli oleh industri Tiongkok untuk disematkan pada produk mereka. “Mereka masuk ke Indonesia sudah dengan SNI. Jenis produk mulai dari elektronika, bohlam lampu, kipas angin, hingga sepatu pengaman,” kata dia.

Tak hanya produk dari Tiongkok, namun sudah banyak produk impor lainnya yang menggunakan SNI. Misalnya produk bola lampu dari Swiss, korek api dari Filipina dan pupuk organik dari Amerika Serikat.  “Sementara itu di Indonesia sendiri masih banyak industri dan usaha kecil menengah (UKM) yang bahkan belum tahu manfaat dari SNI. Sehingga diperlukan keterlibatan semua stake holder mulai dari pemerintah, Kamar Dagang dan Industri, asosiasi industri, akademisi, maupun LSM untuk mendorong sosialisasi SNI ini.

Alasan lainnya mengapa industri dalam negeri belum menggunakan SNI adalah masalah investasi. Saat ini dengan kondisi infrastruktur Indonesia yang masih dan krisis bahan baku menjadikan biaya operasional produksi tinggi. Belum lagi masalah tak tersedianya bahan baku produksi di pasaran domestik, pajak, serta upah karyawan.
“Sehingga untuk menerapkan SNI mereka harus mau mengeluarkan investasi lagi. Sebab mereka harus mematuhi SNI, perlu pelatihan karyawan belum lagi bahan baku yang harus sesuai standar.”

Namun secara jangka panjang, penerapan SNI akan menguntungkan industri tersebut. Sebab dengan adanya standar, maka efisiensi produksi bisa terwujud. BSN mencatat untuk industri minyak goreng yang menerapkan SNI bisa menghemat Rp18,5 triliun, air minum dalam kemasan mencapai Rp3,4 triliun, pupuk sebesar Rp1,4 trilun, sementara garam beryodium Rp547 miliar.

“UKM yang tradisional pun sebenarnya juga bisa menerapkan SNI. Mulai dengan membuat standar prosedur operasional (SOP) secara tertulis muali dari pemilihan bahan baku hingga proses produks, hingga mengahasilan produk jadi,” saran Dewi.

Dengan demikian diharapkan SNI bisa menaikkan daya saing produk. BSN mengakui bahwa penetrasi produksi domestik yang menggunakan SNI masih kecil.  Selain itu, BSN mendorong agar pemerintah memberikan insentif bagi industri nasional terutama UKM yang sudah menerapkan SNI. Misal melalui keringanan pajak maupun keringanan bunga kredit bank.  Saat ini BSN baru merilis sekitar 6.680 SNI. Sementara di negara tetangga, jumlahnya mencapai puluhan ribu standar. (aan/jpnn)

Untuk Bersaing Industri Domestik

JAKARTA- Banjirnya produk asal Tiongkok tak terbendung lagi. Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri domestik malah dimanfaatkan produsen importir untuk menaikkan daya saing mereka di tanah air.

Untuk itulah Badan Standardisasi Nasional (BSN) terus melakukan edukasi dan sosialisasi penerapan SNI bagi industri tanah air.

Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN Dewi Odjar Ratna Komala mengungkapkan, saat ini penerapan SNI di Indonesia masih bersifat sukarela. Padahal, SNI tersebut bertujuan untuk meningkatkan standar mutu produk sekaligus mendongkrak efisiensi dari perusahaan untuk bersaing di perdagangan global saat ini.
Gerakan nasional penerapan SNI adalah salah satu komponen untuk meningkatkan daya saing barang dan jasa yang dikumandangkan pada 9 November 2010. “Awalnya dijadikan salah satu komponen meningkatkan daya saing barang dan jasa domestik. Namun sejak adanya deklarasi, sudah ada perwakilan dagang dari Tiongkok yang memborong dokumen SNI,” ungkapnya, kemarin.

Besarnya potensi Indonesia menjadikan pasar domestik menjadi sasaran empuk para eksporter. Tercatat ada sekitar 670 dokumen SNI yang sudah dibeli oleh industri Tiongkok untuk disematkan pada produk mereka. “Mereka masuk ke Indonesia sudah dengan SNI. Jenis produk mulai dari elektronika, bohlam lampu, kipas angin, hingga sepatu pengaman,” kata dia.

Tak hanya produk dari Tiongkok, namun sudah banyak produk impor lainnya yang menggunakan SNI. Misalnya produk bola lampu dari Swiss, korek api dari Filipina dan pupuk organik dari Amerika Serikat.  “Sementara itu di Indonesia sendiri masih banyak industri dan usaha kecil menengah (UKM) yang bahkan belum tahu manfaat dari SNI. Sehingga diperlukan keterlibatan semua stake holder mulai dari pemerintah, Kamar Dagang dan Industri, asosiasi industri, akademisi, maupun LSM untuk mendorong sosialisasi SNI ini.

Alasan lainnya mengapa industri dalam negeri belum menggunakan SNI adalah masalah investasi. Saat ini dengan kondisi infrastruktur Indonesia yang masih dan krisis bahan baku menjadikan biaya operasional produksi tinggi. Belum lagi masalah tak tersedianya bahan baku produksi di pasaran domestik, pajak, serta upah karyawan.
“Sehingga untuk menerapkan SNI mereka harus mau mengeluarkan investasi lagi. Sebab mereka harus mematuhi SNI, perlu pelatihan karyawan belum lagi bahan baku yang harus sesuai standar.”

Namun secara jangka panjang, penerapan SNI akan menguntungkan industri tersebut. Sebab dengan adanya standar, maka efisiensi produksi bisa terwujud. BSN mencatat untuk industri minyak goreng yang menerapkan SNI bisa menghemat Rp18,5 triliun, air minum dalam kemasan mencapai Rp3,4 triliun, pupuk sebesar Rp1,4 trilun, sementara garam beryodium Rp547 miliar.

“UKM yang tradisional pun sebenarnya juga bisa menerapkan SNI. Mulai dengan membuat standar prosedur operasional (SOP) secara tertulis muali dari pemilihan bahan baku hingga proses produks, hingga mengahasilan produk jadi,” saran Dewi.

Dengan demikian diharapkan SNI bisa menaikkan daya saing produk. BSN mengakui bahwa penetrasi produksi domestik yang menggunakan SNI masih kecil.  Selain itu, BSN mendorong agar pemerintah memberikan insentif bagi industri nasional terutama UKM yang sudah menerapkan SNI. Misal melalui keringanan pajak maupun keringanan bunga kredit bank.  Saat ini BSN baru merilis sekitar 6.680 SNI. Sementara di negara tetangga, jumlahnya mencapai puluhan ribu standar. (aan/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/