Seorang pedagang bersama istrinya sudah putus asa. Mobil tua mereka yang penuh barang dagangan tak bisa bergerak. Berulangkali sang suami mencoba menjalankan mobil itu. Semakin kencang roda berputar, semakin dalam lubang yang dibuatnya. Mobil tetap berada di tempatnya.
Tak jauh dari mobil mereka, sebuah truk bermuatan buah sawit juga terbenam di jalan berlumpur itu. Truk itu dibiarkan begitu saja, tidak kelihatan sopir dan kernetnya. Mobil dibiarkan melintang di tengah jalan.
Sementara itu tujuh kendaraan lain berjajar mengantri, mencoba peruntungan bisa melintasi jalan tersebut. Para sopirnya turun dan terlihat sibuk melihat jalur jalan yang mungkin bisa mereka lewati. Kaki mereka terbenam lumpur semata kaki.
“Pak, inilah jalan yang harus kami lalu setiap hari,” kata seorang ibu kepada Soekirman.
Dengan hati-hati, ibu yang mengendarai sepedamotor ini menaiki sisi lahan perkebunan, yang walau licin namun tidak berlumpur. Bersusah payah ia melintasi jalan setapak yang bergelombang dan berlubang.
Soekirman tersenyum pada sang ibu. Raut wajah Soekirman tampak serius menyaksikan sejumlah orang berupaya menyelamatkan kendaraan mereka. Untungnya rombongan Soekirman membawa sebuah mobil offroad yang segera menarik mobil pedagang dari kubangan lumpur.
Ya, perjalanan Cawagubsu Soekirman menuju lokasi transmigrasi Aliaga Ujung Batu Kecamatan Hutaraja Tinggi Kabupaten Padang Lawas (Palas), Rabu (13/2), sempat terhalang akibat buruknya jalan. Pada silaturahim dengan ribuan warga trans ini, Kepala Desa IV Hasan Basri, yang mewakili lima desa juga mengungkapkan keluhan sama: buruknya infrastruktur.
“Padahal, dari lima desa yang ada di sini, sekitar 10 miliar rupiah setiap bulan hasil bumi kami keluar. Namun tidak pernah jalan ini diperbaiki,” kata Hasan Basri.
Ia menuturkan, secara keseluruhan jumlah transmigran di wilayah Aliaga mencapai 3.572 keluarga dengan jumlah pemilih 15 ribu. Mereka setiap bulannya menghasilkan buah sawit 7.500 ton dan karet 4.000 ton per bulan yang nilainya Rp10 miliar.
Mereka adalah para transmigran asal Jawa Tengah dan Jawa Timur yang datang secara bergelombang pada medio 80-an. Lahan yang ditempati adalah bekas hutan yang bersusah payah mereka rawat hingga membuahkan hasil. Kini, desa mereka dikelilingi sejumlah perkebunan sawit swasta.
Seorang warga lainnya, Eko mengungkapkan keresahan warga trans yang tidak bisa mendapatkan kredit dari bank dengan alasan lahan yang mereka tempati adalah Register 40. “Baru belakangan ini hal itu terjadi, padahal sudah 20 tahun lebih kami tinggal di sini aman-aman saja,” katanya.
Ia tahu bahwa tidak mungkin warga trans diberi tanah bermasalah oleh pemerintah. Namun sayangnya justru bank yang mempermasalahkannya.
Keluhan serupa juga disampaikan Margono, tokoh masyarakat Trans PIR Sosa Desa Hargo Mulyo, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan provinsi Riau.
Serupa dengan trans Aliaga, jalan menuju trans PIR Sosa juga sangat buruk. Jarak dari jalan lintas Sibuhuan – Padangsidimpuan tidak sampai 30 kilometer, namun harus ditempuh 2 jam lebih. Kalau tidak memakai kendaraan gardan dua, rasanya akan sulit mencapai desa ini.
Pada dua lokasi trans ini, banyak rumah warga yang bagus-bagus, permanen dan besar. Bahkan banyak yang memiliki garasi dan berisi mobil pribadi. Ini menunjukkan bahwa kehidupan warga trans sudah cukup sejahtera. Hanya ada beberapa rumah yang masih asli, dibangun pemerintah saat pertama ditempatkan di lokasi tersebut.
Kepada Soekirman dan rombongan yang tiba di desa itu pukul 10 malam, Margono menyatakan kemuakan mereka pada politisi. Setiap kali akan pemilihan, banyak politisi yang datang dan menabur janji khususnya perbaikan jalan. Tetapi janji tinggal janji, karena jalan utama desa tetap tidak diperbaiki.
“Setiap kali ada pemilihan, baik Pemilu, Pilkada maupun Pilgubsu, harapan itu kembali muncul. Warga desa trans tidak pernah ada yang Golput, kita semua pasti datang ke TPS,” katanya.
Sebagai warganegara yang baik, mereka juga selalu taat membayar pajak. Sebab pajaklah yang akan dipakai untuk pembangunan. “Tapi kita selalu dianaktirikan, tidak pernah ada pembangunan di sini. Untuk perbaikan jalan saja kita selalu berswadaya,” ujar Margono.
Namun begitu, warga sangat menyambut baik kedatangan calon wakil gubernur Sumut, Soekirman ke desa mereka. Ini dibuktikan dengan acara yang mereka gelar sejak pukul 10 pagi yang menampilkan sejumlah kesenian rakyat seperti kuda lumping.
Produk yang dihasilkan warga lebih mudah dipasarkan ke Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau ketimbang ke Sibuhuan karena hanya berjarak 3 kilometer.
Kepada warga trans dua lokasi ini, Soekirman mengaku paham dengan kesulitan yang dialami. Perjalanannya menuju lokasi trans pasti akan tersimpan dalam ingatannya, termasuk keinginan para warga.
“Karena itu saya selalu bilang bahwa pembangunan memang harus dimulai dari belakang bukan dari muka. Ibarat rumah kita harus membangun lebih dulu dapur baru ruang tamu,” katanya.
Soekirman mengaku sudah mengunjungi beberapa daerah perbatasan dan merasakan hal serupa: selalu dianaktirikan. Padahal potensi yang dimiliki cukup besar, bahkan telah menyumbang pajak yang luar biasa.
Namun ia meminta agar tidak melakukan jual beli atau transaksi suara pada setiap pemilihan, karena hal itu tidak akan membawa perubahan yang diinginkan. Warga akan ditinggalkan begitu suara sudah dibeli sehingga sulit berharap adanya pembangunan di desa tersebut.
Menurutnya, jalan adalah modal pembangunan. Karena itu harus dibangun dengan baik sehingga tidak mudah rusak yang akibatnya akan membuat modalnya tidak boros. “Kalau setiap tahun harus memperbaiki jalan, tentu modalnya semakin besar”. (*)