MEDAN- Darwin Napitupulu, auditor BPKP Sumut yang dihadirkan sebagai saksi ahli, mengaku audit penghitungan kerugian negara yang mereka lakukan berpedoman dalam UU Nomor 1 tahun 1995. Padahal undang-undang tersebut sudah tidak berlaku dan diganti dengan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sesuai dengan pedoman akuntansi.
“Jadi saksi ahli membuat kesimpulan berdasarkan undang-undang yang sudah tidak dipakai lagi?” tanya Baso Fakhruddin, penasehat hukum terdakwa.
Lantas saksi ahli menjawab dengan ringan. “Itu bapak yang tahu, bukan saya,” ujar saksi ahli.
Dijelaskannya, dirinya sendiri tidak ahli dalam Perbankan. Namun penghitungan kerugian negara itu dilakukan atas dasar dokumen dari jaksa penyidik. Bahkan saksi ahli mengaku tidak mengetahui apa saja jaminan yang diberikan PT BDKL di BNI SKM Medan.
“Saya tidak ahli Perbankan. Saya sudah jawab tadi, saya tidak pernah mengaudit Perbankan. Kami hanya mengacu pada dokumen yang diberikan penyidik. Pada saat PT BDKL mengajukan permohonan kredit ke BNI SKM Medan, tidak ada lampiran. Memang saya tidak tahu berapa sebenarnya jaminan yang diberikan BDKL ke BNI,” ungkapnya kembali.
Lantas, penasehat hukum terdakwa kembali mempertanyakan kepada saksi ahli apakah BPKP Sumut mengetahui cicilan setiap bulannya yang dibayarkan PT BDKL ke BNI SKM Medan? Sebab tim penasehat hukum terdakwa beranggapan, cicilan kredit sebesar Rp117,5 miliar itu dibayarkan setiap bulannya berdasarkan besarnya perjanjian kredit.
“Saudara saksi. Saya tanya sekali lagi apa perbedaan antara pembayaran kredit dengan pengembalian keuangan negara. Anda kami beri kesempatan menjawab tahu atau tidak tahu daripada terjebak dalam pendapat keliru. Karena audit yang Anda lakukan, tiga orang ini (terdakwa) ditahan penyidik,” urai Imran Nating, pengacara terdakwa.
Menjawab pertanyaan tersebut, saksi menyampaikan bahwa pembayaran kredit adalah pembayaran yang sudah dilakukan melalui tahapan sesuai dengan ketentuan dan kehati-hatian. “Kami melihat dari BAP jaksa, berdasarkan dokumen dari penyidik. Saya melakukan audit karena surat tugas, dan laporan kami sampaikan ke penyidik karena yang meminta kami adalah penyidik dan bukan BNI,” jawabnya.
Saksi ahli tampak agak terpojokkan. Pertanyaan demi pertanyaan bertubi-tubi ia terima dari kedua orang pengacara tiga terdakwa. Sementara empat orang jaksa, lebih banyak mendengarkan.
Di hadapan Ketua Majelis Hakim Erwin Mangatas Malau, saksi ahli yang bekerja di BPKP dari tahun 1985 itu juga menjelaskan, pihaknya melakukan audit setelah menerima surat dari penyidik untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Kemudian dilakukanlah ekspose antara penyidik dengan auditor.
Namun, tim BPKP Sumut tidak pernah mengonfirmasi langsung dengan pihak BNI SKM Medan. Saksi ahli beralasan, dalam melakukan audit penghitungan kerugian negara itu, memang harus berdasarkan dokumen yang diberikan jaksa penyidik.
“Prosedur yang kami lakukan harus didampingi penyidik, karena ini bukan audit investigasi. Jadi kami dilarang berhubungan langsung dengan pihak berperkara. Jadi, tim langsung menanyakan ke penyidik data atau dokumen apa saja yang ada pada mereka. Setelah ekspose itulah dilakukan audit. Kami menghitung kerugian negara pada saat uang itu keluar dari BNI,” jelasnya.
Selanjutnya, ketua majelis hakim Erwin Mangatas Malau pun memberikan pertanyaan kunci kepada saksi. Erwin yang juga ketua PN Medan menanyakan, parameter apa yang dilakukan seorang auditor untuk menentukan suatu proses pencairan dana telah sesuai prosedur atau tidak.
Menjawab pertanyaan hakim, saksi mengutarakan parameter pertama adalah hak, dan bukti uang itu sudah dikeluarkan atau tidak.
“Lalu kalau kredit di bank ukurannya seperti apa? Anda paham tidak? Anda harus bertanggung jawab atas audit yang Anda lakukan. Yang Anda lakukan pemeriksaan keluar masuk uang atau sistem perbankan?” tanya hakim.
Mendengar pernyataan hakim, saksi mengatakan dalam hal kredit yang perlu dilihat adalah proses pengajuan kredit (permohonan awal) sampai disetujuinya kredit tersebut.
Usai persidangan, Baso Fakhruddin selaku tim kuasa hukum tiga terdakwa menilai, audit yang dilakukan oleh auditor BPKP Sumut tidak memiliki penjelasan mengenai seperti apa pendekatannya dan apa dasar hukum yang dipakainya, sehingga dapat dengan cepat menyatakan ada kerugian negara.
“Dia (auditor) cuma bilang pelanggaran prosedur. Sementara baca prosedur dengan baca fakta salah. Kenapa terjadi, karena dia (auditor) sama sekali tidak melibatkan ahli perbankan,” jelasnya.
Baso juga menilai kejaksaan sebenarnya tidak harus terikat dengan audit BPKP Sumut. “Setahu saya, audit BPKP tidak mengikat kejaksaan. Silahkan konfrontir pernyataan saya ini dengan kejaksaan. Entah mengapa jaksa terlalu percaya dengan opini BPKP. Ini ’kan transaksi Perbankan. Posisi saya yakin klien saya tidak bersalah. Tetapi penentuan hukuman bebas atau lainnya itu keyakinan hakim. Tetapi fakta persidangan hari ini, ahli auditor terlihat bingung menjawab pertanyaan mengenai kode etik dan pedoman auditnya,” urainya.
Ia pun kembali mengungkapkan, sebenarnya jaksa terjebak atas audit BPKP yang tidak profesional. Harusnya ia mengaku BPKP independen, dan jangan hanya melihat BAP jaksa. “Saya yakin hakim sudah melihat fakta persidangan. Tidak ditelanjangi, kita cuma mencoba eksplor fakta hukum seperti apa tadi,” bebernya. (far)