29 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Riset 22 Tahun, Nyaris Mati Sembilan Kali

Berawal dari doa di depan Kakbah pada 1989, Iwan Gayo akhirnya berhasil menyelesaikan buku karyanya yang diklaim sebagai salah satu ensiklopedia Islam terlengkap di Indonesia. Dia pantang menyerah meski sampai menjual tanah ribuan meter persegi miliknya.

BAYU PUTRA-SUGENG SULAKSONO, Jakarta

Kesibukan tampak di salah satu sudut kawasan di Jalan Menjangan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Selasa (5/3) lalu, menjelang siang. Orkestra pekerja bangunan mengharmoniskan suara palu yang menghantam paku, derit mesin gerinda, gergaji kayu, sampai adukan semen di lahan seluas 2.500 meter persegi itu.

PERJUANGAN PANJANG: Iwan Gayo dan buku kebanggaannya yang siap diekspor.//Bayu Putra / JAWA POS/jpnn

Sebelumnya hanya ada satu rumah sederhana di situ, dikelilingi kolam ikan tepat di samping sungai kecil yang mengalir. Itulah rumah Iwan Gayo, penulis ‘legendaris’ Buku Pintar yang tidak lama lagi memiliki delapan tetangga.

“Sedang dibangun perumahan di sini. Saya pilih paling pojok. Tetangga saya nanti biar di bagian depan,” ucap Iwan menyambut kedatangan Jawa Pos (Sumut Pos) sambil menunjuk proyek pembangunan perumahannya yang sudah setengah jadi itu.

Calon tetangga Iwan tersebut nanti harus merogoh kocek Rp800 juta untuk harga per unit. Harga itu relatif mahal untuk rumah seluas 100 meter persegi dengan dua lantai.

“Tahun lalu ada pengusaha keturunan Arab datang ke sini dan menawar lahan saya. Harga dari saya jauh lebih murah dibanding harga di pasaran. Tetapi, hal itu sangat berarti buat saya karena dengan uang tersebut akhirnya saya bisa cetak buku ensiklopedia Islam ini,” ungkap pria kelahiran Takengon, Aceh, 7 November 1951, itu.

Iwan sekarang menempati rumah dua lantai di areal 200 meter persegi. Meski bukan lahan penghabisan karena di seberang sungai masih ada 5.000 meter persegi lahan kosong miliknya, seribu meter di antaranya sudah diwakafkan untuk pembangunan masjid desa.

Pada masa jayanya, melalui penjualan masterpiece Buku Pintar yang hingga kini terus dicetak, Iwan memang meraup materi yang sangat signifikan. “Tetapi, saya akui, saya tidak pintar mengelola uang. Uang datang, lalu habis. Kecuali yang jadi tanah ini,” ujarnya.

Penjualan tanah tersebut sejatinya merupakan opsi pemungkas untuk penerbitan buku ensiklopedia Islam-nya itu. Dia sempat mengajak kerja sama pihak-pihak tertentu untuk menerbitkan buku setebal 1.264 halaman tersebut. Tapi, tidak ada yang merespons.

“Sampai akhirnya, saya ingat Pak Dahlan (Menteri BUMN Dahlan Iskan, Red). Saya betul-betul mengidolakan beliau. Dami bukunya lalu saya bawa ke kantor BUMN agar beliau membacanya. Tetapi, beliau tidak ada. Lalu, saya titip sekuriti. Tetapi, saya yakin titipan itu tidak sampai ke tangan beliau. Mungkin sekuriti itu lupa,” ungkapnya lantas tertawa.

Maka, jalan terakhir yang ditempuh adalah menjual sebagian tanahnya. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku babon itu sangat besar. Meski demikian, Iwan mengaku bahwa penjualan tanah tersebut sepadan dengan pengorbanan selama 22 tahun perjuangannya menyusun buku itu.
Buku berjudul Encyclopedia Islam International (EII) itu semula dia bayangkan sebagai karya terakhir dalam rangka perjuangannya di jalan agama (Islam). “Bahasa kasarnya, ini buku jihad,” katanya setengah bercanda.

EII merupakan salah satu buku yang penyusunannya memakan waktu sangat lama. “Semua berawal saat saya berdoa di depan Kakbah pada 1989,” kenang kakek 13 cucu tersebut.

Kala itu, dia berdoa meminta umur panjang agar bisa menyelesaikan buku pintar Islam. Minimal seusia Nabi Muhammad (63 tahun), pintanya. Wajar bila dia memohon itu karena merasa umurnya tidak akan panjang.

Iwan mempunyai banyak penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Setidaknya, dia telah sembilan kali naik meja operasi karena sembilan penyakit kronis yang dideritanya. Tiga di antaranya merupakan bawaan lahir: saluran ginjal terlalu panjang, usus buntu bermasalah, serta usus terlipat. “Saya ini lahir pada usia kandungan 11 bulan alias prematur,” ucapnya.

Nyaris sepanjang usia dirinya tidak luput dari penyakit. Terutama saat kecil. Dia pun sampai tiga kali ganti nama untuk ‘menolak kutukan’. “Sampai akhirnya, saat saya didaftarkan sekolah, ditanya nama lengkap saya. Ayah saya sempat bingung. Dia lalu ingat nama tepung susu asal Jerman bermerek Glaxo. Spontan nama saya ditulis Iwan Glaxo. Sedangkan Iwan Gayo itu nama keren saja. Kebetulan saya besar di Gayo,” jelasnya.

Maka, ibadah haji yang dilakukan bersama sang istri, Rohani, pada 1989, itu tidak disia-siakan. Di depan Kakbah, dia bernazar akan membuat buku pintar Islam sebagai pengabdian kepada agama seandainya diberi tambahan umur, setidaknya sampai seusia Nabi Muhammad SAW.

Kesungguhannya dalam berdoa dirasakan makbul. Tiba-tiba, bangunan Kakbah di hadapannya seolah memiliki semacam undakan setinggi satu meter yang cukup untuk berpijak. Iwan lalu naik ke undakan tersebut, memeluk dinding Kakbah dan berdoa.

Belakangan, sepulang dari Tanah Suci, dia mendapati fakta bahwa Kakbah tidak memiliki undakan untuk kaki berpijak. “Saya yakin sekali waktu itu ada karena saya bingung saat mau turun,” tuturnya. (bersambung)

Berawal dari doa di depan Kakbah pada 1989, Iwan Gayo akhirnya berhasil menyelesaikan buku karyanya yang diklaim sebagai salah satu ensiklopedia Islam terlengkap di Indonesia. Dia pantang menyerah meski sampai menjual tanah ribuan meter persegi miliknya.

BAYU PUTRA-SUGENG SULAKSONO, Jakarta

Kesibukan tampak di salah satu sudut kawasan di Jalan Menjangan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Selasa (5/3) lalu, menjelang siang. Orkestra pekerja bangunan mengharmoniskan suara palu yang menghantam paku, derit mesin gerinda, gergaji kayu, sampai adukan semen di lahan seluas 2.500 meter persegi itu.

PERJUANGAN PANJANG: Iwan Gayo dan buku kebanggaannya yang siap diekspor.//Bayu Putra / JAWA POS/jpnn

Sebelumnya hanya ada satu rumah sederhana di situ, dikelilingi kolam ikan tepat di samping sungai kecil yang mengalir. Itulah rumah Iwan Gayo, penulis ‘legendaris’ Buku Pintar yang tidak lama lagi memiliki delapan tetangga.

“Sedang dibangun perumahan di sini. Saya pilih paling pojok. Tetangga saya nanti biar di bagian depan,” ucap Iwan menyambut kedatangan Jawa Pos (Sumut Pos) sambil menunjuk proyek pembangunan perumahannya yang sudah setengah jadi itu.

Calon tetangga Iwan tersebut nanti harus merogoh kocek Rp800 juta untuk harga per unit. Harga itu relatif mahal untuk rumah seluas 100 meter persegi dengan dua lantai.

“Tahun lalu ada pengusaha keturunan Arab datang ke sini dan menawar lahan saya. Harga dari saya jauh lebih murah dibanding harga di pasaran. Tetapi, hal itu sangat berarti buat saya karena dengan uang tersebut akhirnya saya bisa cetak buku ensiklopedia Islam ini,” ungkap pria kelahiran Takengon, Aceh, 7 November 1951, itu.

Iwan sekarang menempati rumah dua lantai di areal 200 meter persegi. Meski bukan lahan penghabisan karena di seberang sungai masih ada 5.000 meter persegi lahan kosong miliknya, seribu meter di antaranya sudah diwakafkan untuk pembangunan masjid desa.

Pada masa jayanya, melalui penjualan masterpiece Buku Pintar yang hingga kini terus dicetak, Iwan memang meraup materi yang sangat signifikan. “Tetapi, saya akui, saya tidak pintar mengelola uang. Uang datang, lalu habis. Kecuali yang jadi tanah ini,” ujarnya.

Penjualan tanah tersebut sejatinya merupakan opsi pemungkas untuk penerbitan buku ensiklopedia Islam-nya itu. Dia sempat mengajak kerja sama pihak-pihak tertentu untuk menerbitkan buku setebal 1.264 halaman tersebut. Tapi, tidak ada yang merespons.

“Sampai akhirnya, saya ingat Pak Dahlan (Menteri BUMN Dahlan Iskan, Red). Saya betul-betul mengidolakan beliau. Dami bukunya lalu saya bawa ke kantor BUMN agar beliau membacanya. Tetapi, beliau tidak ada. Lalu, saya titip sekuriti. Tetapi, saya yakin titipan itu tidak sampai ke tangan beliau. Mungkin sekuriti itu lupa,” ungkapnya lantas tertawa.

Maka, jalan terakhir yang ditempuh adalah menjual sebagian tanahnya. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku babon itu sangat besar. Meski demikian, Iwan mengaku bahwa penjualan tanah tersebut sepadan dengan pengorbanan selama 22 tahun perjuangannya menyusun buku itu.
Buku berjudul Encyclopedia Islam International (EII) itu semula dia bayangkan sebagai karya terakhir dalam rangka perjuangannya di jalan agama (Islam). “Bahasa kasarnya, ini buku jihad,” katanya setengah bercanda.

EII merupakan salah satu buku yang penyusunannya memakan waktu sangat lama. “Semua berawal saat saya berdoa di depan Kakbah pada 1989,” kenang kakek 13 cucu tersebut.

Kala itu, dia berdoa meminta umur panjang agar bisa menyelesaikan buku pintar Islam. Minimal seusia Nabi Muhammad (63 tahun), pintanya. Wajar bila dia memohon itu karena merasa umurnya tidak akan panjang.

Iwan mempunyai banyak penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Setidaknya, dia telah sembilan kali naik meja operasi karena sembilan penyakit kronis yang dideritanya. Tiga di antaranya merupakan bawaan lahir: saluran ginjal terlalu panjang, usus buntu bermasalah, serta usus terlipat. “Saya ini lahir pada usia kandungan 11 bulan alias prematur,” ucapnya.

Nyaris sepanjang usia dirinya tidak luput dari penyakit. Terutama saat kecil. Dia pun sampai tiga kali ganti nama untuk ‘menolak kutukan’. “Sampai akhirnya, saat saya didaftarkan sekolah, ditanya nama lengkap saya. Ayah saya sempat bingung. Dia lalu ingat nama tepung susu asal Jerman bermerek Glaxo. Spontan nama saya ditulis Iwan Glaxo. Sedangkan Iwan Gayo itu nama keren saja. Kebetulan saya besar di Gayo,” jelasnya.

Maka, ibadah haji yang dilakukan bersama sang istri, Rohani, pada 1989, itu tidak disia-siakan. Di depan Kakbah, dia bernazar akan membuat buku pintar Islam sebagai pengabdian kepada agama seandainya diberi tambahan umur, setidaknya sampai seusia Nabi Muhammad SAW.

Kesungguhannya dalam berdoa dirasakan makbul. Tiba-tiba, bangunan Kakbah di hadapannya seolah memiliki semacam undakan setinggi satu meter yang cukup untuk berpijak. Iwan lalu naik ke undakan tersebut, memeluk dinding Kakbah dan berdoa.

Belakangan, sepulang dari Tanah Suci, dia mendapati fakta bahwa Kakbah tidak memiliki undakan untuk kaki berpijak. “Saya yakin sekali waktu itu ada karena saya bingung saat mau turun,” tuturnya. (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/