JAKARTA-Sebanyak 94 persen kepala daerah pecah kongsi dengan wakilnya. Artinya, dari 868 pasang kepala daerah yang ada saat ini yang tidak akur 816 pasang, sedangkan yang akur hanya 52 pasang saja.
Begitu disampaikan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, dalam Dialog Kenegaraan bertema “Kepala Daerah Pecah Kongsi dan Imbas ke Pembangunan Daerah” di gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3).
Menurut dia, efek dari pecah kongsi tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan.
“Efek pecah kongsi ini terjadi penyelenggaraan negara tidak harmonis. Pembangunan, dan birokrasi terpecah, ada birokrasi yang terbelah. Ada yang loyalis kepala daerah, adapula loyalis wakil.” kata Djohermansyah Tak itu saja, dia menambahkan, kondisi itu justru sangat berbahaya bagi masyarakat di daerah. Padahal, kata dia, tujuan menjadi kepala daerah adalah pendidikan politik. Namun begitu mereka terpilih menjadi pemimpin daerah justru keduanya terbelah.
“Jika sudah pecah kongsi, maka biasanya foto di acara-acara itu hanya kepala daerah. Wakilnya tidak ada,” ujar Djohermansyah.
Dalam diskusi itu, dia menceritakan gambaran pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya. Djohermansyah mengatakan dirinya pernah didatangi salah seorang kepala daerah. Kepala daerah itu ujarnya ingin berdiskusi dengannya.
“Tapi kepala daerah itu bilang tidak bisa berlama-lama di Jakarta. Mengapa? Kepala derah itu bilang kalau dia lama di Jakarta, wakilnya bisa mengobok-obok SKPD,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Djohermansyah berharap DPR melihat realitas tersebut sehingga mencari solusi dalam UU Pilkada agar pemerintahan daerah efektifitas dan meminimalisir konflik antara kepala daerah.
“Kita usul adalah yang dipilih adalah kepala daerahnya saja. Wakilnya tidak,” demikian Djohermansyah.(dem/rm)