JAKARTA- Setelah tahun-tahun sebelumnya melawat ke sejumlah negara Eropa untuk berbagai studi ‘tak penting’. Tahun ini DPR bikin kejutan lagi. Dimasukkanya pasal santet dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jadi ‘jalan masuk’ para wakil rakyat itu untuk bepergian lagi ke Belanda, Inggris, Perancis, dan Rusia.
Dalam perjalanan studi sebelum periode tugas DPR habis tahun depan, Komisi III DPR yang mendalami bidang hukum DPR terbang menuju benua empat musim tersebut untuk mendalami RUU KUHP dan KUHAP, khususnya santet alias ilmu sihir yang diwacanakan menjadi bagian hukum positif Indonesia.
“Betul, memang KUHAP dan KUHP perlu melakukan studi komparatif, masukan, melihat dan mendengar secara langsung dari sumber yang menganut Eropa konstinental, kalau kita kan selama ini menganut Belanda,” kata anggota Komisi III Dimyati Natakusuma di Gedung DPR, Jumat (22/3). Anggota Komisi III, kata Dimyati, akan dibagi menjadi empat kelompok, sehingga masing-masing negara ada 15 orang berangkat. “Itu termasuk dengan sekretariat ya,” katanya.
Rencananya, mereka akan kunker selama tiga hari. Tetapi belum diketahui kapan mereka akan berangkat. “Saya sendiri nanti ke Inggris,” dia menambahkan.
Apa urgensinya? Menurut Dimyati, banyak pasal yang bisa dipelajari di empat negara tujuan itu. Misalnya saja, pasal santet, juga dapat didalami di negara itu. “Santet itu bagian dari sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. Itu (santet) subnya. Ini perlu pengaturan-pengaturan,” ujarnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III Bidang Hukum DPR RI Eva Kusuma Sundari menolak keras adanya pasal santet di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan pemerintah. Eva berencana ikut kunjungan kerja ke Belanda untuk membahas revisi KUHP ini.
Tapi, Eva memastikan dia tidak akan membahas soal pasal santet itu di Belanda. “Saya nggak mau tanya, nanti kami akan diketawain sendiri. Saya sudah bisa menduga reaksi mereka,” kata Eva di Gedung DPR, Jumat (22/3).
Jika ingin membahas pasal santet, menurutnya Indonesia lebih baik melakukan kunjungan kerja ke Arab Saudi. Sebab, negara ini masih memberlakukan undang-undang soal santet. “Banyak TKI kita yang dipancung gara-gara dikira menyantet,” katanya lagi.
Eva menuturkan dia ikut dalam kunjungan kerja ke Belanda, karena negara itu adalah akar dari KUHP Indonesia saat ini. “Saya pilih ke Belanda karena mereka negara kolonial kita. Kita tidak hanya bicara KUHP dan KUHAP tok. Ini karena asal-usulnya dari sana,” dia menguatkan.
Semnetara itu, Paranormal Ki Kusumo menantang DPR untuk bersikap objektif dalam membahas RUU Santet. Menurutnya, RUU itu sangat berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat. Ketua Umum Komando Pejuang Merah Putih (KPMP) ini menyarankan DPR untuk mengundang para pakar atau orang yang memahami permasalahan santet, seperti dirinya untuk diminta pendapat.
Ki Kusumo menilai usulan dimasukkannya Pasal Santet ke Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang kini tengah digodok DPR hanya mengada-ada. Sebab menurutnya, untuk mengesahkan Pasal Santet diperlukan dewan pakar santet atau orang yang paham soal santet.
“Usulan Pasal Santet tak bisa disahkan begitu saja oleh DPR. Soal santet perlu dewan pakar santet, sementara untuk menentukan dewan pakar ini kan tidak ada standarisasinya,”tegasnya.
Dia curiga ada sesuatu dibalik Pasal Santet. Ia menilai, jika RUU santet disahkan, maka hal itu sama saja melegitimasi fitnah. Ki Kusumo beranggapan bahwa masalah santet rawan fitnah.
“Contohnya A dan B sedang cek cok. A mengancam akan menyantet B, saking marahnya A sampai menulis di tembok pinggir jalan kalau ia akan menyantet B. Padahal setelah menulis emosinya turun dan A makan sate karena memang tak mengerti santet. Saat bersamaan B tiba-tiba meninggal karena ditabrak mobil. Apakah A akan ditangkap dengan tuduhan menyantet B? Kan tidak bisa begitu, ini yang saya katakan rawan fitnah,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika Pasal Santet disahkan, maka Indonesia seperti kembali ke jaman batu. Menurut Ki Kusumo, santet itu persoalan yang sensitif jika dimasukkan ke ranah hukum. “Sebab pembuktiannya sangat sulit, jadi jangan sampai timbul gejolak di masyarakat dengan adanya Pasal Santet,” ucapnya. (net/gil/zal/jpnn)
Habiskan Rp6,5 M
FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) berasumsi total alokasi anggaran DPR untuk perjalanan ke luar negeri dengan tujuan Prancis, Rusia Belanda, dan Inggris selama lima hari sebesar Rp 6.506.118.000.
Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi mengatakan, perjalanan ke Prancis, dengan asumsi 13 orang anggota dewan, 2 staf, dan tanpa mengikut sertakan keluarga akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1.673.226.000. “Setiap orang akan menghabiskan ongkos pesawat sebesar USD 10.724 untuk bangku eksekutif,” ujar Uchok dalam keterangan pers, Jumat (22/3).
Selanjutnya perjalanan ke luar negeri dengan tujuan Rusia, dengan asumsi 13 orang anggota dewan, 2 staf dan tanpa mengikut sertakan keluarga akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1.595.043.000.
“Setiap orang akan menghabiskan ongkos pesawat sebesar USD 9.537 untuk bangku yang paling empuk,enak, dan nyaman untuk kelas eksekutif,” ucap Uchok.
Lalu perjalanan ke luar negeri dengan tujuan negara Belanda dengan asumsi yang sama seperti sebelumnya akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1.330.695.000. Di mana, kata Uchok, setiap orang akan menghabiskan ongkos pesawat sebesar USD 8126 untuk bangku yang paling empuk, enak, dan nyaman untuk kelas eksekutif.
Terakhir kata Uchok, perjalanan ke luar negeri dengan tujuan Inggris akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1.907.154.000. “Di mana setiap orang akan menghabiskan ongkos pesawat sebesar USD 10.980 untuk bangku eksekuitif,” terang dia.
Itu sebabnya, FITRA meminta DPR membatalkan perjalanan dinas luar negeri. Menurut Uchok, untuk apa ke luar negeri kalau DPR ingin membuat aturan hukum yang berdasarkan Pancasila, budaya dan karakter bangsa sendiri, tidak lagi menggunakan atau meniru aturan hukum negara lain. “Seharus belajar dalam negeri,” ucap dia.
Uchok malah mencurigai kepergian anggota Komisi III DPR ke luar negeri, hanya mencari inspirasi dan argumentasi untuk mempreteli kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyadapan.
“Sekali lagi, ingatkan DPR, coba-coba menghapuskan pasal-pasal penyadapan yang dimiliki oleh KPK berarti DPR sedangkan melakukan pengkhianatan kepada rakyat, dan ini bisa DPR kualat sama rakyat sendiri, dan bisa berhadapan dengan rakyat sendiri,” tandasnya. (gil/jpnn)