MEDAN- Baso Fakhruddin SH MKn dari SIP LAW FIRM, selaku tim penasehat hukum ketiga terdakwa jaminan kredit tidak terpasang di BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan, kecewa dengan tuntutan tinggi yakni delapan tahun penjara yang dijatuhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya. Pihaknya berpendapat, tuntutan itu terlalu dipaksakan.
“Jaksa telah dibutakan hukum dan nuraninya. Fakta hukum yang disampaikan ahli BI, ahli hukum pidana maupun perdata, serta saksi-saksi yang dihadirkan semuanya tidak mendukung dakwaan jaksa. Jadi tuntutan ini menurut kami tidak masuk akal dan menjadi tanda tanya besar dalam penegakan hukum,” ujar Baso, Senin (1/4) usai persidangan.
Dirinya berpendapat, jika persidangan itu adalah demi hukum, namun poin-poin dalam tuntutan yang dijatuhkan jaksa sangat jauh dengan fakta persidangan. “Jika persidangan ini demi hukum, bukankah fakta persidangan berkata lain? Memang ini adalah hak preogratif jaksa untuk menjatuhkan tuntutan seperti apa. Tapi nanti dalam pleidoi kami jelaskan semua. Bantahan-bantahan kami dan semua bukti,” terangnya.
Bahkan dirinya mengatakan seharusnya persidangan itu tidak masuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Dengan tuntutan tersebut, pihaknya akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi) pada Selasa (9/4).
“Bukankah sudah jelas saksi-saksi yang dihadirkan serta saksi ahli yang menyatakan kalau perkara ini hanya masalah perdata? Kalau saya berpendapat, harusnya dituntut bebas. Kami meminta waktu sepekan untuk mengajukan pleidoi,” jelasnya.
Sementara itu, Radiyasto, satu dari tiga orang terdakwa perkara BNI SKM Medan tak banyak mengeluarkan jawaban. Bahkan dua rekannya masing-masing Darul Azli dan Titin langsung meninggalkan ruang persidangan. Radiyasto mengaku tuntutan jaksa tidak masuk akal. Selebihnya, Radiyasto menyarankan wartawan untuk menanyakan sepenuhnya kepada kuasa hukumnya, Baso Fakhruddin. “Tidak masuk akal. Ke pengacara saya saja. Tidak masuk akal tuntutannya,” urainya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjatuhkan tuntutan selama delapan tahun penjara terhadap tiga terdakwa jaminan kredit tidak terpasang di BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan, di antaranya Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Darul Azli selaku Pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, dan Titin Indriani selaku Relationship.
“Menyatakan terdakwa Radiyasto, Titin dan Darul Azli terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana penjara terhadap masing-masing terdakwa selama delapan tahun penjara, denda Rp500 juta serta subsider lima bulan kurungan dengan perintah penahanan,” ujar tim jaksa, di antaranya Yuni Hariaman, Hendri dan Rehulina Purba dalam Persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Jaksa menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar pasal 2 ayat 1 pasal 18 UU no 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHPidana. “Ikut serta dan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi,” ujar jaksa.
Namun jaksa membebaskan ketiga terdakwa dari dakwaan subsidair dalam pasal 3 pasal 18 UU no 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHPidana. “Membebaskan terdakwa dari dakwaan subsidair,” jelas jaksa.
Sebelum menjatuhkan tuntutan, jaksa menyatakan adapun hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa yakni tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak menyesali perbuatannya, dan merasa tidak bersalah. Sedangkan hal yang meringankan, masing-masing terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan tidak menikmati hasil dari kerugian negara.
Jaksa menyatakan bahwa dari permohonan kredit yang diajukan Boy Hermansyah selaku Dirut PT Bahari Dwikencana Lestari (BDKL) yang dianalisa oleh terdakwa Darul Azli bersama-sama dengan Titin Indriany dipertimbangkan adalah tidak benar, karena terdakwa Darul Azli bersama-sama dengan Titin Indriany dan Radiyasto telah “memanipulasi” data-data yang menjadi pertimbangan mereka.
Di mana menurut jaksa, SHGU No 102 yang dijadikan sebagai jaminan adalah jaminan kredit yang sebelumnya diajukan oleh Muhammad Abdul Karim alias M Aka pada PT BNI Tbk Sentra Kredit Menengah (SKM) Medan, yang posisinya ketika itu dalam taraf kredit macat dan kepemilikannya belum beralih kepada Boy Hermansyah.
Walaupun terdakwa Darul Azli bersama Titin Indriany dan Radiyasto mengetahui status SHGU No 102 sebagai jaminan kredit PT Atakana Company Group di PT BNI Persero Tbk, tetapi semua terdakwa tetap membuat usulan kredit pada tanggal 22 november 2010 yang dituangkan dalam ikhtisar persetujuan kredit No:MDM/2/64/PAK untuk PT Bahari Dwikencana Lestari dengan fasilitas kredit yang diusulkan sebesar Rp129 miliar.
Disebutkan jaksa, adapun rincian usulan kredit tersebut antara lain kredit modal kerja take over dari Mandiri sebesar Rp23 miliar dalam jangka waktu satu tahun, kredit investasi refinancing PKS kapasitas 60 ton TBS/jam sebesar Rp20 miliar jangka waktu 59 bulan, kredit investasi pembelian kebun PT Atakana Company sebesar Rp74,5 miliar jangka waktu 120 bulan, dan kredit investasi rehabilitasi tanaman sawit sebesar Rp11,5 miliar jangka waktu 60 bulan.
Jaksa juga menyebutkan kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan para terdakwa adalah pemberian kredit tanpa memperhatikan unsur dan metode-metode pencairan kredit yang secara profesional. Pemberian refinacing di atas Rp5 miliar harusnya wajib disertai feasibility study yang dibuat oleh konsultan Indonesia. Jual beli SHGU 102 hanya bisa dilakukan apabila ada peralihan izin hak dan kemudian ditindak lanjuti dengan jual beli. Sebelum ada akte jual beli SHGU 102 terlebih dahulu harus ada izin peralihannya. Namun terdakwa tetap memproses pencairan kredit.
Selain itu, pemberian kredit baru atau tambahan kredit sebesar Rp50 miliar ke atas harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada komisaris. Termasuk juga pemeriksaan kelengkapan dokumentasi kredit dan pengikat agunan dilakukan sebelum penandatanganan perjanjian kredit.
Boy Hermansyah sendiri hingga kini belum diketahui keberadaannya dan ditetapkan sebagai DPO. Sementara terdakwa Mohammad Samsul Hadi, Pimpinan Rekanan dan Kantor Jasa Penilaian Publik (berkas terpisah) juga sudah diadili. Proses persidangannya sudah sampai tahap mendengarkan keterangan saksi.
Disebutkan jaksa, sesuai laporan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh BPKP perwakilan Sumut No:R-4009/PWM02/5/2012 tanggal 01 Agustus 2012, akibat perbuatan mereka menimbulkan kerugian negara dalam hal ini PT BNI Tbk sebesar Rp117,5 miliar atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu. (far)