Akankah DPR hasil pemilu 2014 mendatang memberikan harapan yang lebih baik? Berbagai kalangan menyatakan pesimistis dan skeptis atas semua itu. Mengapa?
CITRA DPR dalam periode 2009-2014 memang merosot tajam. Hal ini dikarenakan banyaknya anggota DPR yang terlibat kasus korupsi dan diketahui bolos dalam berbagai kesempatan rapat dewan.
Para analis menilai, daftar calon anggota legislatif sementara (DCS) dalam Pemilu 2014 merupakan bentuk kegagalan kaderisasi partai politik (parpol). Sebab, mayoritas para caleg incumbent kembali dicalonkan serta maraknya perekrutan dari kalangan artis oleh partai politik.
Sementara pemenuhan syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) DPR dan DPRD sangat mungkin menumbuhkan budaya nepotisme dan kroniisme.
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA), Said Salahuddin, menilai, apabila aturan itu tetap dipaksakan untuk diberlakukan, maka sangat mungkin akan menumbuhkan budaya nepotisme dan kronisme.
“Politik dinasti yang mengutamakan kepentingan iklan, famili, dan kekerabatan dalam kehidupan politik kita akan tumbuh subur,” kata Said Salahuddin kepada wartawan.
Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yudha, menilai para caleg yang didominasi anggota DPR lama serta maraknya artis membuat dirinya pesimistis untuk dapat memperbaiki citra DPR ke depan. “Kalau berharap dari nama-nama yang ada, itu agak sulit. Itu merupakan dampak dari mampetnya regenerasi kader partai,” tandas Hanta.
Mampetnya regenerasi partai terhadap seorang tokoh, ternyata tidak hanya terjadi dalam menentukan calon presiden. Tetapi juga dalam menentukan caleg untuk duduk di parlemen sebagai wakil rakyat.
“Ternyata, yang mampat tidak hanya di capres, di legislatif ada nama yang itu-itu saja. Dan ini saya khawatir, publik tidak mendapat harapan baru untuk mewakili aspirasi mereka ke depan,” kata Hanta.
Dengan demikian, wajar jika pesimisme dan skeptisme terhadap DPR mendatang menggelayuti publik. Kalu begitu, lalu siapa yang harus bertanggung jawab? (net/jpnn)