26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PKS Seret Demokrat

JAKARTA-Isu pembubaran korporasi atau partai politik yang tersangkut kasus tindak pidana pencucian uang, membuat gerah Partai Keadilan Sejahtera. DPP PKS menilai, jika Komisi Pemberantasan Korupsi ingin menerapkan pasal pencabutan izin korporasi yang terkait TPPU, maka sebaiknya lembaga anti rasuah itu membubarkan Partai Demokrat terlebih dahulu.

“Soal pembubaran partai lewat TPPU, itu lihat kasus Hambalang dulu,” ujar Wasekjen DPP PKS Fahri Hamzah di kantornya, Jakarta, kemarin (12/5).
Pembubaran korporasi dilakukan melalui mekanisme pasal 7 UU nomor 8 tahun 2010 TPPU. Fahri menyatakan, dalam posisi itu, kasus Hambalang justru memiliki bukti kuat untuk diterapkan pasal tersebut. “Lihat saja persidangan dan kesaksian mereka yang membawa uang dari grup Permai, tempat saudara Nazaruddin dan kawan-kawan berkumpul,” ujarnya.

Fahri menyatakan, dalam kasus Hambalang salah satunya sudah terungkap tahapan dana sebesar Rp30 miliar dalam persidangan. Keterangan dari saksi berupa pengemudi, petugas keamanan yang membawa barang itu ke hotel, untuk kemudian dibagi-bagikan dalam Kongres Partai Demokrat. “Ada kesaksian orang yang menerima. Kalau itu sebenarnya sudah inkracht. Tinggal panggil Presiden SBY dan bubarin saja Partai Demokrat,” sindirnya.

Menurut Fahri, KPK hingga kini juga tidak menindaklanjuti perkembangan keterangan kasus Hambalang secara proporsional. Salah satu contoh, telah disebut nama Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhyono atau Ibas. Menurut Fahri, dirinya meyakini jika KPK tidak akan menindaklanjuti temuan terkait Ibas. “Pasti KPK nggak berani periksa Ibas. Padahal Ibas disebut Julianis dalam daftar penerima,” sorotnya.

Fahri menegaskan, tidak ada aliran dana kasus impor daging yang masuk ke PKS. Urusan yang menimpa mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sepenuhnya menjadi urusan pribadi yang bersangkutan. Termasuk dengan hubungan Luthfi sebagai teman bisnis tersangka kasus impor daging lainnya, Ahmad Fathanah. “Fathanah orang luar partai, orang swasta yang ditangkap tangan. Sementara Nazar adalah bendahara partai. Bendahara partai yang tertangkap tangan pasti uangnya mengalir ke dalam,” ujarnya menegaskan. KPK, menurut Fahri, tidak menyelesaikan kasus Hambalang sepenuhnya.
Sebelumnya, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun menilai bahwa partai politik seperti PKS terkategori sebagai korporasi. Jika terbukti ikut berperan dalam kasus yang menjerat Luthfi maka PKS bisa dijerat dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Pasal 6 menyebutkan bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila TPPU dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku, dan dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Sedangkan Pasal 7 mengatur hukuman pidana bagi korporasi yang terbukti terlibat TPPU. Pidana pokoknya yaitu pidana denda paling banyak Rp100 miliar. Kemudian pidana tambahan antara lain pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi, pembubaran atau pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi untuk negara, dan pengambilalihan korporasi oleh negara.

DPP PKS kemarin juga menggelar keterangan pers dipimpin langsung oleh Presiden Anis Matta. Anis menyatakan kesiapannya untuk memenuhi panggilan KPK terkait permintaan keteranagan dalam kasus yang menimpa Luthfi. “Insya Allah besok (hari ini, red) saya akan datang jam 10,” ujar Anis kepada wartawan.

Menurut Anis, dirinya tidak tahu pasti keterkaitan apa yang akan ditanyakan KPK kepada dirinya. Anis mengaku tidak tahu menahu mengenai kasus yang pencucian uang maupun kasus impor daging. Dia akan datang untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara. “Saya belum mengerti. Saya datang besok enteng saja,” ujar mantan Sekretaris Jenderal DPP PKS itu. Selain Anis, KPK akan memanggil Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin pada Selasa (14/5) esok.

Anis juga angkat bicara terkait polemik penyitaan mobil oleh KPK di kantor DPP PKS. Anis menyatakan, PKS sudah berkomunikasi dengan juru bicara KPK Johan Budi SP yang menyatakan bahwa pada hari Senin atau hari ini, KPK akan datang melakukan penyitaan. “Komunikasinya tadi disampaikan oleh pak Tifatul Sembiring dan kita sudah menyampaikan mereka tinggal datang dengan prosedural yang baik. Insya Allah kita akan sambut baik-baik di sini,” ujarnya.

Dia sepenuhnya menyerahkan kepada KPK kapan waktu mereka hadir ke kantor PKS untuk melakukan penyitaan. Anis menyatakan, akan ada sambutan khusus kepada para penyidik KPK yang akan melakukan penyitaan. “Saya sudah perintahkan kepad staf untuk menyambut KPK dengan bunga,” tegasnya.

Laporkan KPK

Meski mempersilahkan KPK melakukan penyitaan, DPP PKS nampaknya sudah bulat untuk melaporkan lembaga anti rasuah itu ke Mabes Polri. Dua pihak dari KPK, Johan Budi dan para penyidik KPK dikabarkan masuk dalam laporan itu.

Terpisah, Jubir KPK Johan Budi SP kembali menegaskan kalau institusinya tidak mempermasalahkan rencana pelaporan PKS ke Mabes Polri. Seperti diberitakan sebelumnya, hari ini DPP PKS berencana melapor atas tindakan KPK yang dianggap tidak menyenangkan. “Silahkan. Itu hak mereka. KPK hanya melaksanakan kewenangan sesuai UU Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.

Dia memastikan kalau kinerja KPK tidak akan terganggu dengan pelaporan itu. Termasuk, pengusutan dugaan suap dalam pengaturan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian. Bahkan, rencana untuk kembali mengambil lima mobil yang diduga milik LHI di DPP PKS tetap dilakukan.
Namun, dia mengaku belum tahu pasti kapan kendaraan roda empat bermerk Mazda CX, Toyota Fortuner, VW Caravelle, Mitsubishi Pajero Sport dan Nissan Navara itu akan diambil. Johan mengaku belum diberi informasi kapan mobil itu disita penyidik. “Ya, akan dilakukan. Caranya, sama seperti sebelumnya,” tandas Johan.

Yang dimaksud Johan, penyidik akan mendatangi DPP PKS untuk mengambil langsung mobil-mobil yang kini sudah disegel itu. Dia juga memastikan jika pihaknya tetap melengkapi para petugas dengan tanda pengenal, hingga surat penyitaan.

Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Irawan mendukung langkah KPK untuk kembali melakukan penyitaan. Menurutnya, PKS tidak bisa menghalangi karena penyitaan memang upaya paksa. Apalagi, sebagai partai mereka sudah menegaskan untuk tidak ikut campur dalam kasus LHI. “Kalau memang itu (mobil) milik LHI, ya sudah serahkan saja,” tandasnya. Dia yakin apa yang sudah dilakukan KPK sesuai dengan prosedur. Oleh sebab itu, Iwan meminta KPK untuk tidak gentar dalam menyelesaikan kasus dan mengamankan barang bukti berupa mobil yang kini berada di DPP PKS.

Apalagi, dia yakin kalau langkah PKS melapor ke Mabes Polri bukan langkah yang tepat. Sebab, secara hukum penyitaan merupakan bagian dari upaya paksa. Jadi, selama semuanya sudah sesuai prosedur tidak perlu mengkhawatirkan ancaman PKS yang berniat mempermasalakan KPK dengan delik perbuatan tak menyenangkan.

Asep mengatakan kalau ada penyitaan, barang yang harus diseta wajib untuk diserahkan. Apalagi, DPP PKS bisa dipermasalakan dengan UU TPPU karena dititipi mobil oleh LHI. “Mau kena juga” Kalau itu (penyitaan) demi penyidikan ya sudah serahkan. Kan lucu supir punya mobil mewah,” tandasnya.
Menanggapi soal mobil yang diatasnamakan orang lain, Kuasa Hukum LHI, Zainuddin Paru mengatakan kalau itu hal lumrah di PKS. Inventaris berupa mobil memang biasanya tidak atas nama kader karena ada beberapa alasan. Yakni, susah kalau leasing dan menjual kembali mobil jika diatasnamakan partai. “Di PKS, tidak ada mobil atas nama partai. Selain itu, menggunakan nama kader lain karena kalau tercatat punya dua mobil akan kena pajak progresif,” tandasnya. Dia juga menegaskan kalau PKS tak pernah menghalangi penyitaan mobil asal dilakukan sesuai prosedur.

Sementara itu, khusus menanggapi pernyataan Fahri Hamzah tentang wacana pembekuan partai, Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana menilai, kalau pernyataan bahwa Demokrat yang justru lebih layak untuk dibekukan adalah representasi kegalauan wasekjen PKS itu atas kondisi partainya sendiri terkini. “Dia itu lagi panik, galau, dan tertekan, jadi ngomong pun asal-asalan saja,” kata Sutan.

Semestinya, lanjut dia, Fahri berkonsentrasi saja mengurus partainya yang kini sedang dirundung masalah. “Tidak usah membawa-bawa nama partai lain, apalagi bicara tentang Demokrat,” imbuh wakil ketua Fraksi PD di parlemen itu.

Dia menambahkan, bahwa tindakan Fahri dengan menyeret-nyeret nama partainya adalah tindakan yang tidak etis. Apalagi, mengingat PKS juga masih merupakan anggota koalisi partai pemerintahan bersama dengan Demokrat. “Kurang elok jadinya sesama koalisi, tapi kita doakan saja agar PKS dapat segera keluar dari cobaan yang dihadapinya,” pungkas Sutan. (bay/dim/dyn/agm/jpnn)

JAKARTA-Isu pembubaran korporasi atau partai politik yang tersangkut kasus tindak pidana pencucian uang, membuat gerah Partai Keadilan Sejahtera. DPP PKS menilai, jika Komisi Pemberantasan Korupsi ingin menerapkan pasal pencabutan izin korporasi yang terkait TPPU, maka sebaiknya lembaga anti rasuah itu membubarkan Partai Demokrat terlebih dahulu.

“Soal pembubaran partai lewat TPPU, itu lihat kasus Hambalang dulu,” ujar Wasekjen DPP PKS Fahri Hamzah di kantornya, Jakarta, kemarin (12/5).
Pembubaran korporasi dilakukan melalui mekanisme pasal 7 UU nomor 8 tahun 2010 TPPU. Fahri menyatakan, dalam posisi itu, kasus Hambalang justru memiliki bukti kuat untuk diterapkan pasal tersebut. “Lihat saja persidangan dan kesaksian mereka yang membawa uang dari grup Permai, tempat saudara Nazaruddin dan kawan-kawan berkumpul,” ujarnya.

Fahri menyatakan, dalam kasus Hambalang salah satunya sudah terungkap tahapan dana sebesar Rp30 miliar dalam persidangan. Keterangan dari saksi berupa pengemudi, petugas keamanan yang membawa barang itu ke hotel, untuk kemudian dibagi-bagikan dalam Kongres Partai Demokrat. “Ada kesaksian orang yang menerima. Kalau itu sebenarnya sudah inkracht. Tinggal panggil Presiden SBY dan bubarin saja Partai Demokrat,” sindirnya.

Menurut Fahri, KPK hingga kini juga tidak menindaklanjuti perkembangan keterangan kasus Hambalang secara proporsional. Salah satu contoh, telah disebut nama Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhyono atau Ibas. Menurut Fahri, dirinya meyakini jika KPK tidak akan menindaklanjuti temuan terkait Ibas. “Pasti KPK nggak berani periksa Ibas. Padahal Ibas disebut Julianis dalam daftar penerima,” sorotnya.

Fahri menegaskan, tidak ada aliran dana kasus impor daging yang masuk ke PKS. Urusan yang menimpa mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sepenuhnya menjadi urusan pribadi yang bersangkutan. Termasuk dengan hubungan Luthfi sebagai teman bisnis tersangka kasus impor daging lainnya, Ahmad Fathanah. “Fathanah orang luar partai, orang swasta yang ditangkap tangan. Sementara Nazar adalah bendahara partai. Bendahara partai yang tertangkap tangan pasti uangnya mengalir ke dalam,” ujarnya menegaskan. KPK, menurut Fahri, tidak menyelesaikan kasus Hambalang sepenuhnya.
Sebelumnya, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun menilai bahwa partai politik seperti PKS terkategori sebagai korporasi. Jika terbukti ikut berperan dalam kasus yang menjerat Luthfi maka PKS bisa dijerat dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Pasal 6 menyebutkan bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila TPPU dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku, dan dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Sedangkan Pasal 7 mengatur hukuman pidana bagi korporasi yang terbukti terlibat TPPU. Pidana pokoknya yaitu pidana denda paling banyak Rp100 miliar. Kemudian pidana tambahan antara lain pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi, pembubaran atau pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi untuk negara, dan pengambilalihan korporasi oleh negara.

DPP PKS kemarin juga menggelar keterangan pers dipimpin langsung oleh Presiden Anis Matta. Anis menyatakan kesiapannya untuk memenuhi panggilan KPK terkait permintaan keteranagan dalam kasus yang menimpa Luthfi. “Insya Allah besok (hari ini, red) saya akan datang jam 10,” ujar Anis kepada wartawan.

Menurut Anis, dirinya tidak tahu pasti keterkaitan apa yang akan ditanyakan KPK kepada dirinya. Anis mengaku tidak tahu menahu mengenai kasus yang pencucian uang maupun kasus impor daging. Dia akan datang untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara. “Saya belum mengerti. Saya datang besok enteng saja,” ujar mantan Sekretaris Jenderal DPP PKS itu. Selain Anis, KPK akan memanggil Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin pada Selasa (14/5) esok.

Anis juga angkat bicara terkait polemik penyitaan mobil oleh KPK di kantor DPP PKS. Anis menyatakan, PKS sudah berkomunikasi dengan juru bicara KPK Johan Budi SP yang menyatakan bahwa pada hari Senin atau hari ini, KPK akan datang melakukan penyitaan. “Komunikasinya tadi disampaikan oleh pak Tifatul Sembiring dan kita sudah menyampaikan mereka tinggal datang dengan prosedural yang baik. Insya Allah kita akan sambut baik-baik di sini,” ujarnya.

Dia sepenuhnya menyerahkan kepada KPK kapan waktu mereka hadir ke kantor PKS untuk melakukan penyitaan. Anis menyatakan, akan ada sambutan khusus kepada para penyidik KPK yang akan melakukan penyitaan. “Saya sudah perintahkan kepad staf untuk menyambut KPK dengan bunga,” tegasnya.

Laporkan KPK

Meski mempersilahkan KPK melakukan penyitaan, DPP PKS nampaknya sudah bulat untuk melaporkan lembaga anti rasuah itu ke Mabes Polri. Dua pihak dari KPK, Johan Budi dan para penyidik KPK dikabarkan masuk dalam laporan itu.

Terpisah, Jubir KPK Johan Budi SP kembali menegaskan kalau institusinya tidak mempermasalahkan rencana pelaporan PKS ke Mabes Polri. Seperti diberitakan sebelumnya, hari ini DPP PKS berencana melapor atas tindakan KPK yang dianggap tidak menyenangkan. “Silahkan. Itu hak mereka. KPK hanya melaksanakan kewenangan sesuai UU Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.

Dia memastikan kalau kinerja KPK tidak akan terganggu dengan pelaporan itu. Termasuk, pengusutan dugaan suap dalam pengaturan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian. Bahkan, rencana untuk kembali mengambil lima mobil yang diduga milik LHI di DPP PKS tetap dilakukan.
Namun, dia mengaku belum tahu pasti kapan kendaraan roda empat bermerk Mazda CX, Toyota Fortuner, VW Caravelle, Mitsubishi Pajero Sport dan Nissan Navara itu akan diambil. Johan mengaku belum diberi informasi kapan mobil itu disita penyidik. “Ya, akan dilakukan. Caranya, sama seperti sebelumnya,” tandas Johan.

Yang dimaksud Johan, penyidik akan mendatangi DPP PKS untuk mengambil langsung mobil-mobil yang kini sudah disegel itu. Dia juga memastikan jika pihaknya tetap melengkapi para petugas dengan tanda pengenal, hingga surat penyitaan.

Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Irawan mendukung langkah KPK untuk kembali melakukan penyitaan. Menurutnya, PKS tidak bisa menghalangi karena penyitaan memang upaya paksa. Apalagi, sebagai partai mereka sudah menegaskan untuk tidak ikut campur dalam kasus LHI. “Kalau memang itu (mobil) milik LHI, ya sudah serahkan saja,” tandasnya. Dia yakin apa yang sudah dilakukan KPK sesuai dengan prosedur. Oleh sebab itu, Iwan meminta KPK untuk tidak gentar dalam menyelesaikan kasus dan mengamankan barang bukti berupa mobil yang kini berada di DPP PKS.

Apalagi, dia yakin kalau langkah PKS melapor ke Mabes Polri bukan langkah yang tepat. Sebab, secara hukum penyitaan merupakan bagian dari upaya paksa. Jadi, selama semuanya sudah sesuai prosedur tidak perlu mengkhawatirkan ancaman PKS yang berniat mempermasalakan KPK dengan delik perbuatan tak menyenangkan.

Asep mengatakan kalau ada penyitaan, barang yang harus diseta wajib untuk diserahkan. Apalagi, DPP PKS bisa dipermasalakan dengan UU TPPU karena dititipi mobil oleh LHI. “Mau kena juga” Kalau itu (penyitaan) demi penyidikan ya sudah serahkan. Kan lucu supir punya mobil mewah,” tandasnya.
Menanggapi soal mobil yang diatasnamakan orang lain, Kuasa Hukum LHI, Zainuddin Paru mengatakan kalau itu hal lumrah di PKS. Inventaris berupa mobil memang biasanya tidak atas nama kader karena ada beberapa alasan. Yakni, susah kalau leasing dan menjual kembali mobil jika diatasnamakan partai. “Di PKS, tidak ada mobil atas nama partai. Selain itu, menggunakan nama kader lain karena kalau tercatat punya dua mobil akan kena pajak progresif,” tandasnya. Dia juga menegaskan kalau PKS tak pernah menghalangi penyitaan mobil asal dilakukan sesuai prosedur.

Sementara itu, khusus menanggapi pernyataan Fahri Hamzah tentang wacana pembekuan partai, Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana menilai, kalau pernyataan bahwa Demokrat yang justru lebih layak untuk dibekukan adalah representasi kegalauan wasekjen PKS itu atas kondisi partainya sendiri terkini. “Dia itu lagi panik, galau, dan tertekan, jadi ngomong pun asal-asalan saja,” kata Sutan.

Semestinya, lanjut dia, Fahri berkonsentrasi saja mengurus partainya yang kini sedang dirundung masalah. “Tidak usah membawa-bawa nama partai lain, apalagi bicara tentang Demokrat,” imbuh wakil ketua Fraksi PD di parlemen itu.

Dia menambahkan, bahwa tindakan Fahri dengan menyeret-nyeret nama partainya adalah tindakan yang tidak etis. Apalagi, mengingat PKS juga masih merupakan anggota koalisi partai pemerintahan bersama dengan Demokrat. “Kurang elok jadinya sesama koalisi, tapi kita doakan saja agar PKS dapat segera keluar dari cobaan yang dihadapinya,” pungkas Sutan. (bay/dim/dyn/agm/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/