JAKARTA – Kasus impor daging terus menjadi perdebatan panas akibat munculnya perbedaan pandangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Partai Keadilan Sejahtera. Adanya sinyal bahwa KPK akan kembali memeriksa Presiden PKS Anis Matta, terkait aliran dana dari tersangka kasus impor daging Ahmad Fathanah, dinilai sebagai upaya politis lembaga anti rasuah itu.
”Saya punya saran saja pada KPK. KPK bukan lembaga politik. Mereka penegak hukum bekerjalah pada sunyi dan diam,” ujar Fahri Hamzah, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS di sela-sela rapat election update DPP dan DPW PKS se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin (25/5).
Fahri menyatakan, sebagai parpol, wajar jika PKS atau partai manapun menanggapi kasus hukum. KPK, menurut Fahri, tidak perlu menanggapi parpol. ”Sebab keributan adalah tugas parpol di era demokrasi. KPK harusnya bekerja senyap dengan kepala dan hati dingin untuk menegakkan keadilan,” ujarnya.
Namun, lanjut Fahri, jika KPK menukar fungsinya di dalam politik, mengintimidasi melalui pernyataan, mengancam pembubaran, hal itu adalah awal kehancuran. Fahri menyatakan, KPK adalah lembaga adhoc yang bisa dibubarkan kapanpun. ”Jika (KPK) bubar hari ini, kita tidak rugi apa-apa. Karena ada polisi, kejaksaan, ada hakim, dan pengadilan,” ujar anggota Komisi III DPR itu.
Fahri menilai, KPK saat ini membangun citra melalui individunya masing-masing. Sementara sistem yang seharusnya dikedepankan dinilai tidak berjalan atau bobrok. Hal ini karena, ada sejumlah kasus yang ditangani KPK justru tidak pernah selesai. Fahri tidak memberikan contoh, namun nampaknya hal itu merujuk pada penyelesaian kasus seperti Century dan Hambalang.
”Kasus tidak selesai, diramaikan, ditamasyakan, digoreng-goreng. Ini merugikan parpol. Inilah yang merusak prestasi,” ujarnya.
Sementara, Presiden PKS Anis Matta membantah adanya aliran dana dari Fathanah kepada dirinya. Menurut Anis, dalam pemeriksaan dirinya di KPK beberapa waktu lalu, tidak pernah disinggung aliran dana yang dimaksud. ”Penyidik justru tidak menanyakan itu,” ujar Anis secara terpisah.
Anis menyatakan bahwa dirinya tidak ingin terlalu larut untuk membahas kasus yang menimpa mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq itu. Menurut dia, konsentrasi yang terpenting bagi dirinya dan PKS saat ini adalah menyusun rencana dan strategi matang untuk pemenangan pemilu. ”Kita di sini berbicara tentang pemenangan pemilu, bukan yang lain,” tandasnya.
Di lain pihak, Wakil Ketua KPK Busyro Muqaddas buka suara terkait keraguan PKS atas kasus yang membelit mantan presiden partai mereka, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Terutama, soal tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang selama ini disebut sebagai pengalihan dari tudingan kasus korupsi.
Busyro mengatakan kalau penerapan TPPU itu mengikuti kemana saja uang mengalir. Itulah kenapa, UU tersebut memiliki tujuan untuk bisa menelusuri siapa saja. Baik korporasi maupun perorangan yang diduga menerima aliran dana. Dia lantas mencontohkan mobil milik LHI yang diatasnamakan orang lain termasuk Ahmad Zaki, sopir pribadinya.
“Orang-orang itu atas nama undang-undang TPPU harus diperiksa secara maksimalis, tidak bisa minimalis. Setengah-setengah saja enggak bisa,” tegasnya. Kalau sampai KPK minimalis, Busyro menyebut itu tidak baik karena menunjukkan inkonsistensi. Mengkhianti semangat dan karakter dari UU TPPU yang bergerak seperti air mengalir kemana pun juga.
Lebih lanjut, dia menjelaskan kalau KPK saat ini memiliki bukti kuatn
atas penerapan TPPU pada LHI. Dia memastikan hal itu karena Busyro menyebut tidak mungkin penegak hukum termasuk KPK, menerapkan dugaan tanpa punya bukti permulaan yang cukup. Nah, bukti-bukti bahwa TPPU bukan pengalihan kasus bisa dilihat saat persidangan LHI berlangsung nanti.
Itulah kenapa, Busyro mengaku heran ketika kader partai berlogo bulan sabit kembar itu masih saja tidak sepakat dengan penerapan TPPU pada LHI. Pria asal Jogjakarta itu lantas menyebut kalau protes harusnya juga dialamatkan ke DPR yang merumuskan UU tersebut. “Untuk apa TPPU itu dibuat kalau UU yang sudah sah tidak diterapkan. Mestinya didukung,” katanya.
Menurut dia, tidak pada tempatnya kalau elite parpol apalagi anggota DPR yang paham dan taat hukum memprotes penerapan TPPU. Mengenai terbukti atau tidak, Busyro menyebut bisa dibuktikan di pengadilan. Apalagi, jelas kalau tudingan KPK tidak tepat, semua barang yang disita bakal dikembalikan kepada pemiliknya.
“Jadi, saya menyayangkan tapi sekaligus menyarankan. Sudahlah, seperti kata mereka sendiri, PKS itu juga bukan partai malaikat. Artinya manusia biasa yang bisa salah,” tegasnya.
Kalau mereka masih ngotot? Busyro menyebut tidak ada kepahaman pada aspek teoritik TPPU. Dia menyebut kalau UU tersebut tidak harus berdasar atau didahului dengan terbuktinya tindak pidana korupsi terlebih dahulu. Jadi, mantan ketua KPK itu memastikan TPPU bisa langsung diterapkan pada LHI.
Dia juga menyebut ada yang bermasalah pada kaderisasi partai dakwah itu. Kewajiban para kader untuk mengklaim bahwa PKS makin solid, tetapi harus terbuka terhadap proses hukum. “Menggambarkan bahwa sistem kaderisasi partai ini memang ditengarai oleh sebagian pengamat mampu menciptakan ketaatan yang nyaris tanpa sikap kritis pada pimpinannya. Sehinga terjadi pembelaan yang massif,” jelasnya.
Busyro menyebut tidak ada gunanya PKS memusuhi KPK. Sebab, lembaga antirasuah itu sebuah lembaga negara. Kalau pembelaaan massif seperti saat ini terus dilakukan, Busyro yang mantan pengamat partai politik khawatir terjadi delegitimasi dan deparpolisasi oleh aktivisnya sendiri. “Bagaimanapun, kasus LHI telah menurunkan public trust,” ungkapnya.
Saat disinggung apakah TPPU yang juga diterapkan pada Ahmad Fathanah bisa ke partai politik, Busyro memastikan secara normative bisa. Namun, dia tidak mau berbicara banyak mengenai hal itu dan memilih menunggu fakta persidangan. Kalau benar ada, warga bisa menanggapi fakta persidangan dengan aturan hukum yang ada yaitu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“KPK atau penegak hukum seperti jaksa, kepolisian, atau hakim itu tidak bisa, kecuali hakim MK. KPK juga tidak pernah ke sana, karena memang tidak punya kewenangan. Kami fokus ke TPK (tindak pidana korupsi) sekaligus TPPUnya,” jelas pria 60 tahun itu. (dim/bay/jpnn)