Catatan: CHOKING SUSILO SAKEH
BUNG, galaukah anda melihat Indonesia saat ini? Negeri dimana pencitraan lebih diutamakan ketimbang kerja nyata; negeri dimana kata-kata nyaris bagaikan peluru hampa : riuh dar-derdor namun tak bermakna; negeri dimana kebohongan menjadi sebuah kewajiban; negeri dimana amanah menjadi sebuah keniscayaan? Jangan biarkan galau itu berlarut.
Mari nonton film ‘Sang Kiai’, sebuah film bagus tidak saja dari aspek sinemotografi, tetapi lebih dari itu : mampu mengusir galau kepada negeri! Sebuah film yang menghibur sekaligus mencerdaskan.
Sang Kiai, sebuah renungan untuk Indonesia Kini… Sang Kiai mengangkat sepotong kisah perjuangan KH. Hasyim Asy’ari — pendiri pesantren Tebu Ireng, Jombang dan juga pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Diawali dengan kisah tahun 1942 saat Sang Kiai ditangkap Kempetei karena menolak melakukan Sekerei (upacara menghormati matahari).
Film kemudian berakhir saat wafatnya Hadratus Syeikh tersebut pada 25 Juli 1947 di usia 72 tahun.
Beberapa konflik dimunculkan diantaranya ketika KH Hasyim Asy’ari diangkat menjadi ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dikeluarkannya Resolusi Jihad untuk menjawab permintaan Presiden Soekarno pada 14 September 1945, hingga pertempuran yang kemudian kita kenal sebagai Hari Pahlawan pada 10 November.
Film karya sutradara Roko Projanto dengan dukungan pemain kawakan seperti Ikra Negara (Sang Kiai), Christine Hakim (Isteri Sang Kiai), Agus Kuncoro (KH Wahid Hasyim), maupun pemain muda potensial semacam Adipati Dolken (Harun), Dimas Aditya (Komandan Kempetei di Jombang), Meryza Batubara, NormanAkuwen, danSuzukiNaburo, ini bercerita tentang pendudukan Jepang yang ternyata tidak lebih baik dari Belanda. Jepang melarang pengibaran Bendera Merah Putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan Sekerei.
Sebagai tokoh Islam terkemuka, KH Hasyim Asyari menolak melakukan Sekerei karena tindakan itu menyimpang dari aqidah agama Islam : umat Islam hanya boleh menyembah Allah SWT. Karena tindakannya itu, Jepang menangkap KH Hasyim Asyari.
Salah satu putra beliau, KH Wahid Hasyim, mencari jalan diplomasi untuk membebaskan KH Hasyim Asyari. Berbeda dengan Harun, salah satu santri KH Hasyim Asyari yang percaya hanya cara kekerasan yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Harun menghimpun kekuatan santri untuk melakukan demo menuntut kebebasan KH Hasyim Asyari.
Tetapi Harun salah, karena malah menambah korban berjatuhan.
Dengan cara damai KH Wahid Hasyim berhasil memenangkan diplomasi terhadap pihak Jepang dan KH Hasyim Asyari berhasil dibebaskan.
Namun perjuangan melawan Jepang tidak berakhir. Jepang menggunakan Masyumi yang diketuai KH. Hasyim Asy’ari untuk menggalakkan bercocok tanam. Bahkan seruan itu terselip di ceramah sholat Jum’at. Namun hasil tanam rakyat tersebut harus disetor ke pihak Jepang. Padahal saat itu rakyat sedang mengalami krisis beras.
Sampai kemudian Jepang kalah perang.
Sekutu pun datang. Soekarno sebagai presiden saat itu mengirim utusannya ke Tebuireng untuk meminta KH HAsyim Asyari membantu mempertahankan kemerdekaan.
KH Hasyim Asyari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi Jihad yang kemudian membentuk barisan santri. Rakyat Surabaya berduyun-duyun tanpa rasa takut melawan sekutu, Gema resolusi jihad yang didukung oleh semangat spiritual keagamaan membuat rakyat berani mati.
Sebagai film sejarah yang disajikan secara kolosal, nyaris tanpa cacat sinematografi.
Kualitas gambar, akting para pemain, setting, musik maupun komponen lainnya membuat penonton tidak merasa kelelahan menyaksikan Sang Kiai berdurasi dua jam itu.
Untuk Indonesia Kini “……… keteraturan rakyat sangat tergantung kepada kepemimpinan yang adil,” demikian lebih kurang wejangan Sang Kiai, suatu ketika.
Meski film ini bercerita tentang seorang ulama besar Indonesia, namun Sang Kiai tidak melulu berisi wejangan atau tausyiah. Kalaupun ada beberapa pemikiran maupun nasihat Sang Kiai, dilontarkan seiring tindak dan perilaku lazimnya Sang Kiai sebagai manusia tanpa kesan menggurui, apalagi mendikte.
Dengan pola sedemikian, alur cerita pun mengalir renyah. Kemudian, Sang Kiai mampu menarik dan bernilai lebih, tatkala kita membandingkannya dengan kondisi Indonesia kini.
Buat warga Medan, terutama warga Pujakesuma dan Melayu, Sang Kiai menjadi semakin menarik karena peran Dimas Aditya (putera bungsu tokoh Pujakesuma Almarhum Bapak Bintara Tahir & tokoh Mabmi Ibu Wewen) sebagai Komandan Kempetei Jombang.
Meski sebagai pemeran pendukung, anak muda kelahiran 7 Juli 1988 dan menyelesaikan S1-nya di Jepang itu, telah memperlihatkan kemampuan seni perannya yang memukau.
Bung, menonton Sang Kiai membuat Indonesia terasa jauh sangat sejuk, dibanding Indonesia kini yang tak punya tokoh panutan… (*)