JAKARTA-Jaksa penuntut umum kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan pada 2006 akhirnya menghadirkan Sutrisno Bachir. Sebab mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu memang disebut menerima transferan uang dari hasil fee proyek. Bachir pun mengakui namun dia menyebut hal itu bagian dari utang-piutang.
Bachir datang ke Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin (20/6) untuk menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Ratna Dewi Umar. Sebelum memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim, Bachir sempat mengklarifikasi aliran dana yang mengarah ke rekeningnya pada sejumlah wartawan.
“Kalau ada transferan itu benar, tapi saya tidak terlibat dalam kasus ini (pengadaan alkes),” ujar pria asal Pekalongan itu. Dia mengaku memang menerima transferan dana dari Nuki Syahrun, staf Pemasaran PT Heltindo Internasional. Tapi hal itu diakuinya tidak terkait dengan kasus pengadaan Alkes.
“Hal itu terkait utang-piutang. Dia (Nuki) merupakan ipar saya,” terangnya. Bachir mengatakan Nuki biasa meminjam uang di perusahaannya untuk keperluan berbisnis. Nuki juga disebut masih memiliki sejumlah utang pada perusahaan Bachir PT Selaras Inti Internasional.
“Saya tidak tahu berapa jumlah pasti utangnya. Sebab saya ini pemilik perusahaan, bukan direksi. Kalau direksi mungkin tahu detailnya,” paparnya. Nah, ketika Nuki membayar utang itulah, Bachir mengaku tidak tahu dari mana asal usul uangnya. “Saya tidak tahu fee-fee apa,” papar pria 56 tahun itu.
Saat ditanya apakah dia mengenal Ratna Dewi Umar yang duduk sebagai terdakwa, Bachir mengaku tidak kenal. Namun dia tidak menampik jika mengenal mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. “Pasti kenal. Kan sama-sama di Muhammadiyah,” katanya.
Seperti diberitakan, Nuki Syahrun saat bersaksi untuk Ratna Dewi Umar membenarkan jika dia mentransfer uang fee pengadaan alkes ke rekening Sutrisno Bachir (SB). Pernyataan Nuki itu memperkuat kesaksian Yurida Adlaini, salah seorang karyawan Sutrisno Bachir Foundation.
Dalam persidangan, Nuki membenarkan jika pernah metransfer uang sebesar Rp 222,5 juta ke rekening pribadi SB. Sementara yang ke rekening perusahaan SB, PT Selaras Inti Internasional lebih banyak yakni Rp 1,232 Miliar. Uang yang ditransfer ke SB itu diakui Nuki dari uang hasil fee pengurusan penyediaan X-ray.
Nuki yang bekerja pada perusahaan penyedia alat medis PT Heltindo Internasional dimintai tolong oleh Direktur Prasasti Mitra, Sutikno untuk mencarikan perusahaan yang memiliki mobile x-ray. Prasasti Mitra merupakan salah satu perusahaan yang menangani proyek Alkes penanggulangan virus flu burung pada Mei 2006.
Dari kerjasama mencarikan perusahaan yang memiliki mobile x-ray itulah, Nuki mendapatkan fee sebesar Rp 1,7 M. Uang itu kemudian mengalir ke sejumlah rekening. Antara lain sebanyak Rp 187,2 juta ke rekening pribadi Nuki. Ada juga uang Rp 75 juta yang ditransfer ke rekening suami Nuki. Sisanya mengalir ke rekening pribadi dan perusahaan Sutrisno Bachir. Dalam proses transfer itu, Nuki meminta bantuan Yurida.
Pengadaan Alkes ini bermasalah lantaran PT Rajawali Nusindo yang ditunjuk langsung justru tidak memiliki alat-alat kesehatan yang dimaksud. Sehingga pengadaannya dilakukan oleh lima perusahaan lain yang salah satunya merupakan PT Prasasti Mitra. (gun/jpnn)
Perkara ini masih menjerat satu tersangka. Yakni mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Kemenkes Ratna Dewi Umar. Dia didakwa korupsi pengadaan alkes pada tahun 2006 dan 2007. Kasus ini mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 50,477 miliar dari empat pengadaan. Kemarin, Direktur PT Prasasti Mitra, Sutikno juga dihadirkan dalam persidangan. Dia banyak berkelit dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP).