26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Raih Prestasi dan Berbagi Motivasi Sesama Tuna Netra

Bagi sebahagian orang, membaca Alquran bukanlah hal yang sulit jika dimulai dengan niat yang tulus dan hati yang suci. Terutama bagi yang memiliki fisik yang sempurna, tentunya akan lebih memudahkan untuk bisa membaca Alquran.

Tunanetra sedang membaca Alquran //puput/sumut pos
Tunanetra sedang membaca Alquran //puput/sumut pos

Namun bagaimana dengan orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti kebutaan. Tentu saja bukan hal mudah untuk bisa membaca di balik keterbatasan fisiknya.

Berikut, pengalaman wartawan koran ini saat menemui langsung salahsatu penyandang tuna netra yang mampu membaca Alquran dan memenangi sejumlah lomba dari berbagai even yang telah diikutinya.

Penglihatan wartawan koran ini tertuju kepada seorang wanita pemilik nama Ernita (46). Dirinya terlihat berjalan tertatih-tatih menuju sebuah ruangan. Ruang tersebut adalah kantor milik Persatuan Tuna Netra (Pertuni) Cabang Medan. Ia duduk dengan tenang, sesekali Ernita mencoba mengusap matanya dengan sapu tangan yang diraihnya dari dalam tas. Butuh waktu untuk menemukan sapu tangan di dalam tasnya, mengingat Ernita harus meraba-raba dengan keterbatasan fisiknya itu. Ternyata ia sudah terbiasa dengan hal itu, karena indera perabanya sudah sangat lincah dibanding yang normal sekalipun.

Dibantu seseorang pengurus di Pertuni, Ernita mengawali kegiatannya dengan mengambil sebuah Alquran Braille. Alquran yang dipegang Ernita jauh lebih tebal dari Alquran pada umumnya yang hanya berisikan 2 Juz di dalamnya.

“Alquran Braille seperti ini, tidak seperti yang lain, satu Alquran isinya 30 juz. Ini isinya cuma 1 sampai 2 juz saja,” ujar Ernita sebelum memperlihatkan kepiawaian jarinya meraba Alquran Braille, Kamis (4/7).

Bagi Ernita membaca Alquran bukan hanya membuat seseorang memperoleh pengetahuan yang tak terhingga, tapi juga bernilai ibadah bagi seorang Muslim. Untuk itu dalam keterbatasannya, Ernita tetap berusaha belajar membaca serta memahami Alquran. Menurut Ernita, butuh waktu yang cukup lama, serta kesabaran yang ekstra untuk bisa mengenal  dan membaca Alquran dengan baik dan benar. Ya, di balik kerjas kerasnya, Ia  tak hanya mampu membaca Alquran, namun berkat kegigihannya juga, sudah hampir puluhan piala Ia bawa pulang dalam sederet perlombaan pembacaan Alquran Braille khusus bagi penyandang tuna netra di ajang MTQ tingkat lokal hingga provinsi.

“Saya sudah sering menang, baik antar kelurahan, kecamatan juga tingkat provinsi. Namun saya belum pernah sampai ke tingkat nasional. Sekarang saya sudah tua, tapi kalau masih diizinkan, saya ingin mencoba hingga tingkat nasional. Sebenarnya saya  tidak hanya mencari sebuah kemenangan, tapi lebih ingin mencari pengalaman serta motivasi ke teman-teman,” ujar ibu pemilik seorang anak laki-laki ini.

Ernita dalam kesempatan itu mencoba sedikit mengenang kisah dari keterbatasan fisik yang dialaminya. Menurut pengakuan Ernita, cacat fisik yang dialaminya bukan bawaan lahir, melainkan akibat penyakit campak yang dideritanya sejak balita. “Umur 2 tahun saya sudah tidak bisa melihat lagi. Saya sakit campak. Tapi saya tidak mau menyerah, saya sekolah SLB sampai SMP dan pada tahun 1989 saya lanjut ke Sekolah Kejuruan Pijat di Tebing, hingga akhirnya tinggal di Medan,” kenangnya.

Di Medan, Ernita memilih bergabung dengan Pertuni dan di lembaga inilah Ia mampu lancar membaca Alquran. “Saya selalu ikut belajar Alquran di sini. Saya latih terus, hingga akhirnya saya sering menjadi perwakilan untuk ikut perlombaan membaca Alquran Braille. Hanya saja perbedaannya terletak pada bentuk huruf dan cara membacanya,” katanya.

Lanjut Ernita, Alquran Braille menggunakan titik-titik timbul seperti dalam huruf Latin Braille yang berjumlah enam titik pada setiap kotaknya dan cara membacanya dari kiri ke kanan. Berbeda dengan Alquran untuk yang dibaca dari kanan ke kiri. “Tapi kalau untuk menulis, baru kami menulis dari kanan ke kiri, karena harus dibalik nanti sudah selesai. Agar bisa dibaca,” katanya.

Tambah Ernita, untuk tahun 2012, Ia terakhir kali mengikuti perlombaan membaca Alquran Braille di Deliserdang dirinya meraih juara ke-2. “Sebenarnya semua bisa, saya juga masih belajar. Makanya saya gak berani mengajari orang lain, paling sama teman saling menyimak. Tiap siap salat, saya usahakan untuk membaca Alquran bersama suami saya,”tutur Ernita sembari memperkenalkan nama suaminya Hasim Siregar (46) dan anak nya, Raffi Ferdiansyah Siregar yang masih berusia 4 tahun.

Bagi Ernita, dengan kemauan yang besar maka tidak akan ada yang sulit di dunia ini. “Kalau awalnya saya sih bingung sekali. Tapi setelah dijalani dan terus diulang, dia akan dengan sendirinya bisa,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Sekretaris Pertuni Cabang Medan, Gusman mengatakan, Pertuni selalu rutin mengadakan pengajian setiap hari Kamis. “Ada 40 sampai 70 orang yang ikut belajar Alquran Braille di sini. Saat proses belajar dibagi ke dalam 3 kelompok, yakni belajar menulis alat braille, membaca dan belajar tafsir,” katanya.

Selama ini menurut Gusman, kendala yang biasa dihadapi, yakni saat mengajarakan tuna netra yang sudah dewasa. “Ada yang mulai tuna netra sejak SMA, itu memang agak susah, karena daya tangkapnya. Yah, untuk membaca Alquran Braille ini dibutuhkan fokus yang tinggi,” ujar Gusman.
Namun, apapun itu bilang Gusman, membaca Al-Quran dengan Braille yang sulit, tetap harus diajarkan agar tidak ada lagi masyarakat muslim yang buta huruf Alquran. (put)

Bagi sebahagian orang, membaca Alquran bukanlah hal yang sulit jika dimulai dengan niat yang tulus dan hati yang suci. Terutama bagi yang memiliki fisik yang sempurna, tentunya akan lebih memudahkan untuk bisa membaca Alquran.

Tunanetra sedang membaca Alquran //puput/sumut pos
Tunanetra sedang membaca Alquran //puput/sumut pos

Namun bagaimana dengan orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti kebutaan. Tentu saja bukan hal mudah untuk bisa membaca di balik keterbatasan fisiknya.

Berikut, pengalaman wartawan koran ini saat menemui langsung salahsatu penyandang tuna netra yang mampu membaca Alquran dan memenangi sejumlah lomba dari berbagai even yang telah diikutinya.

Penglihatan wartawan koran ini tertuju kepada seorang wanita pemilik nama Ernita (46). Dirinya terlihat berjalan tertatih-tatih menuju sebuah ruangan. Ruang tersebut adalah kantor milik Persatuan Tuna Netra (Pertuni) Cabang Medan. Ia duduk dengan tenang, sesekali Ernita mencoba mengusap matanya dengan sapu tangan yang diraihnya dari dalam tas. Butuh waktu untuk menemukan sapu tangan di dalam tasnya, mengingat Ernita harus meraba-raba dengan keterbatasan fisiknya itu. Ternyata ia sudah terbiasa dengan hal itu, karena indera perabanya sudah sangat lincah dibanding yang normal sekalipun.

Dibantu seseorang pengurus di Pertuni, Ernita mengawali kegiatannya dengan mengambil sebuah Alquran Braille. Alquran yang dipegang Ernita jauh lebih tebal dari Alquran pada umumnya yang hanya berisikan 2 Juz di dalamnya.

“Alquran Braille seperti ini, tidak seperti yang lain, satu Alquran isinya 30 juz. Ini isinya cuma 1 sampai 2 juz saja,” ujar Ernita sebelum memperlihatkan kepiawaian jarinya meraba Alquran Braille, Kamis (4/7).

Bagi Ernita membaca Alquran bukan hanya membuat seseorang memperoleh pengetahuan yang tak terhingga, tapi juga bernilai ibadah bagi seorang Muslim. Untuk itu dalam keterbatasannya, Ernita tetap berusaha belajar membaca serta memahami Alquran. Menurut Ernita, butuh waktu yang cukup lama, serta kesabaran yang ekstra untuk bisa mengenal  dan membaca Alquran dengan baik dan benar. Ya, di balik kerjas kerasnya, Ia  tak hanya mampu membaca Alquran, namun berkat kegigihannya juga, sudah hampir puluhan piala Ia bawa pulang dalam sederet perlombaan pembacaan Alquran Braille khusus bagi penyandang tuna netra di ajang MTQ tingkat lokal hingga provinsi.

“Saya sudah sering menang, baik antar kelurahan, kecamatan juga tingkat provinsi. Namun saya belum pernah sampai ke tingkat nasional. Sekarang saya sudah tua, tapi kalau masih diizinkan, saya ingin mencoba hingga tingkat nasional. Sebenarnya saya  tidak hanya mencari sebuah kemenangan, tapi lebih ingin mencari pengalaman serta motivasi ke teman-teman,” ujar ibu pemilik seorang anak laki-laki ini.

Ernita dalam kesempatan itu mencoba sedikit mengenang kisah dari keterbatasan fisik yang dialaminya. Menurut pengakuan Ernita, cacat fisik yang dialaminya bukan bawaan lahir, melainkan akibat penyakit campak yang dideritanya sejak balita. “Umur 2 tahun saya sudah tidak bisa melihat lagi. Saya sakit campak. Tapi saya tidak mau menyerah, saya sekolah SLB sampai SMP dan pada tahun 1989 saya lanjut ke Sekolah Kejuruan Pijat di Tebing, hingga akhirnya tinggal di Medan,” kenangnya.

Di Medan, Ernita memilih bergabung dengan Pertuni dan di lembaga inilah Ia mampu lancar membaca Alquran. “Saya selalu ikut belajar Alquran di sini. Saya latih terus, hingga akhirnya saya sering menjadi perwakilan untuk ikut perlombaan membaca Alquran Braille. Hanya saja perbedaannya terletak pada bentuk huruf dan cara membacanya,” katanya.

Lanjut Ernita, Alquran Braille menggunakan titik-titik timbul seperti dalam huruf Latin Braille yang berjumlah enam titik pada setiap kotaknya dan cara membacanya dari kiri ke kanan. Berbeda dengan Alquran untuk yang dibaca dari kanan ke kiri. “Tapi kalau untuk menulis, baru kami menulis dari kanan ke kiri, karena harus dibalik nanti sudah selesai. Agar bisa dibaca,” katanya.

Tambah Ernita, untuk tahun 2012, Ia terakhir kali mengikuti perlombaan membaca Alquran Braille di Deliserdang dirinya meraih juara ke-2. “Sebenarnya semua bisa, saya juga masih belajar. Makanya saya gak berani mengajari orang lain, paling sama teman saling menyimak. Tiap siap salat, saya usahakan untuk membaca Alquran bersama suami saya,”tutur Ernita sembari memperkenalkan nama suaminya Hasim Siregar (46) dan anak nya, Raffi Ferdiansyah Siregar yang masih berusia 4 tahun.

Bagi Ernita, dengan kemauan yang besar maka tidak akan ada yang sulit di dunia ini. “Kalau awalnya saya sih bingung sekali. Tapi setelah dijalani dan terus diulang, dia akan dengan sendirinya bisa,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Sekretaris Pertuni Cabang Medan, Gusman mengatakan, Pertuni selalu rutin mengadakan pengajian setiap hari Kamis. “Ada 40 sampai 70 orang yang ikut belajar Alquran Braille di sini. Saat proses belajar dibagi ke dalam 3 kelompok, yakni belajar menulis alat braille, membaca dan belajar tafsir,” katanya.

Selama ini menurut Gusman, kendala yang biasa dihadapi, yakni saat mengajarakan tuna netra yang sudah dewasa. “Ada yang mulai tuna netra sejak SMA, itu memang agak susah, karena daya tangkapnya. Yah, untuk membaca Alquran Braille ini dibutuhkan fokus yang tinggi,” ujar Gusman.
Namun, apapun itu bilang Gusman, membaca Al-Quran dengan Braille yang sulit, tetap harus diajarkan agar tidak ada lagi masyarakat muslim yang buta huruf Alquran. (put)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/