Arus lalu lintas di depan Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (3/9) siang sempat tersendat. Pasalnya, puluhan warga Sumut menggelar aksi unjuk rasa yang mampu menarik perhatian pengguna ruas jalan yang setiap harinya padat itu.
Ya, aksi warga Sumut itu tidak seperti aksi unjuk rasa pada umumnya.
Dengan mengenakan pakaian adat Batak, mereka berorasi menghadap Istana, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalankan aktivitas kenegaraan sehari-harin
Adalah Hasoloan Manik, Marandus Sirait, dan Wilmar E. Simanjorang dengan berpakaian adat Batak, mengarak masing-masing penghargaan Kalpataru yang diterima mereka, dan berhenti persis di depan pintu Monas yang mengarah ke Istana Negara.
Hasoloan Manik yang juga Ketua Lembaga Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (Pilihi) Sumut menerima Piala bergengsi itu pada 2010, atas kiprahnya yang dinilai sebagai aktivis penyelamat lingkungan, khususnya kawasan di sekitar Danau Toba. Sedangkan Marandus Sirait, peraih penghargaan Kalpataru asal Kabupaten Samosir tahun 2005 lalu dari Presiden, untuk kategori perintis lingkungan. Kalau Wilmar merupakan penduduk Kabupaten Toba Samosir yang meraih penghargaan Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan tahun 2011 lalu.
Nah, Piala Kalpataru itu dianggap mereka sudah tidak berguna lagi karena pemerintah selama ini dinilai tidak berupaya mengatasi kerusakan hutan di sekitar Danau Toba. “Selamatkan hutan Danau Toba. Piala Kalpataru tidak ada gunanya,” teriak massa, yang juga membentangkan sejumlah spanduk yang bertuliskan ‘Save Lake Toba’, ‘Selamatkan Hutan Danau Toba’, dan tulisan-tulisan lain yang berisi tuntutan sejenis.
Menurut Hasiholan Manik, langkah mengembalikan penghargaan sebagai bentuk protes, karena pemerintah tidak juga melakukan langkah-langkah terobosan guna mengatasi kerusakan lingkungan di sekitar kawasan Danau Toba yang kian hari makin memprihatinkan. “Karena itu kami mengembalikan penghargaan ini karena pohon di hutan kami terus ditebang. Penghargaan-penghargaan yang kami dapatkan tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat kebijakan keliru oleh pemerintah. Atas dasar tersebutlah penghargaan yang telah kami dapatkan kami kembalikan,” ujarnya.
Kerusakan hutan di antaranya terjadi di kawasan hutan Pakpak Barat yang luasnya mencapai 2.850 hektar. Ini terjadi karena begitu bebasnya pihak perusahaan melakukan penebangan. Baik dilakukan masyarakat maupun perusahaan yang mengaku memiliki izin dari pemerintah. “Kami sudah berkali-kali membuat surat ke berbagai instansi pemerintah. Kita nyatakan sangat keberatasan dengan kerusakan yang ada, tapi sampai saat ini tidak ada respon,” ujar Hasiholan Manik.
Begitu juga kata Marandus Sirait, kondisi air Danau Toba saat ini tidak saja kian menyusut. Namun telah terjadi pencemaran yang sangat mengkhawatirkan. Padahal kawasan tersebut merupakan salah satu andalan pariwisata yang sudah selayaknya memperoleh perhatian serius dari seluruh kalangan, terutama pemerintah.”Kami sudah mengadu ke bupati, ke presiden SBY, kementerian lingkungan hidup, kementerian kehutanan, Gubernur Sumatera Utara, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Kapolres Samosir. Tapi tidak ada tindakan nyata,” ujarnya.
Karena itulah sebagai bentuk tanggung jawab moral, ketiganya mengembalikan penghargaan yang diperoleh. Sempat ada upaya negosiasi pihak Istana dengan pihak demonstran. Pihak Istana mau menerima perwakilan pengunjuk rasa, yang akan ditemui di Kantor Sekretariat Negara, yang berada dalam satu kompleks Istana. Hanya saja, pihak Istana minta syarat, hanya dua orang saja yang boleh masuk ke kompleks Istana. Pihak demonstran tak sudi jika hanya dua wakilnya saja yang ditemui. Upaya nego pun buntu.
Lantas, selang beberapa saat, Piala Kalpataru dibawa pimpinan aksi, mendekat ke arah depan Istana, meski masih di luar pagar.
Di situ lah Piala berwarna keemasan yang dikemas dalam bingkai kaca itu ditaruh dan ditinggalkan begitu saja.
Tidak lama kemudian, setelah para demonstran membubarkan diri, seorang yang diperkirakan petugas Istana, mengambil Piala Kalpataru itu. (*)
‘Buang’ Piala Kalpataru di Depan Istana
Arus lalu lintas di depan Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (3/9) siang sempat tersendat. Pasalnya, puluhan warga Sumut menggelar aksi unjuk rasa yang mampu menarik perhatian pengguna ruas jalan yang setiap harinya padat itu.
Ya, aksi warga Sumut itu tidak seperti aksi unjuk rasa pada umumnya.
Dengan mengenakan pakaian adat Batak, mereka berorasi menghadap Istana, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalankan aktivitas kenegaraan sehari-harin
Adalah Hasoloan Manik, Marandus Sirait, dan Wilmar E. Simanjorang dengan berpakaian adat Batak, mengarak masing-masing penghargaan Kalpataru yang diterima mereka, dan berhenti persis di depan pintu Monas yang mengarah ke Istana Negara.
Hasoloan Manik yang juga Ketua Lembaga Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (Pilihi) Sumut menerima Piala bergengsi itu pada 2010, atas kiprahnya yang dinilai sebagai aktivis penyelamat lingkungan, khususnya kawasan di sekitar Danau Toba. Sedangkan Marandus Sirait, peraih penghargaan Kalpataru asal Kabupaten Samosir tahun 2005 lalu dari Presiden, untuk kategori perintis lingkungan. Kalau Wilmar merupakan penduduk Kabupaten Toba Samosir yang meraih penghargaan Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan tahun 2011 lalu.
Nah, Piala Kalpataru itu dianggap mereka sudah tidak berguna lagi karena pemerintah selama ini dinilai tidak berupaya mengatasi kerusakan hutan di sekitar Danau Toba. “Selamatkan hutan Danau Toba. Piala Kalpataru tidak ada gunanya,” teriak massa, yang juga membentangkan sejumlah spanduk yang bertuliskan ‘Save Lake Toba’, ‘Selamatkan Hutan Danau Toba’, dan tulisan-tulisan lain yang berisi tuntutan sejenis.
Menurut Hasiholan Manik, langkah mengembalikan penghargaan sebagai bentuk protes, karena pemerintah tidak juga melakukan langkah-langkah terobosan guna mengatasi kerusakan lingkungan di sekitar kawasan Danau Toba yang kian hari makin memprihatinkan. “Karena itu kami mengembalikan penghargaan ini karena pohon di hutan kami terus ditebang. Penghargaan-penghargaan yang kami dapatkan tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat kebijakan keliru oleh pemerintah. Atas dasar tersebutlah penghargaan yang telah kami dapatkan kami kembalikan,” ujarnya.
Kerusakan hutan di antaranya terjadi di kawasan hutan Pakpak Barat yang luasnya mencapai 2.850 hektar. Ini terjadi karena begitu bebasnya pihak perusahaan melakukan penebangan. Baik dilakukan masyarakat maupun perusahaan yang mengaku memiliki izin dari pemerintah. “Kami sudah berkali-kali membuat surat ke berbagai instansi pemerintah. Kita nyatakan sangat keberatasan dengan kerusakan yang ada, tapi sampai saat ini tidak ada respon,” ujar Hasiholan Manik.
Begitu juga kata Marandus Sirait, kondisi air Danau Toba saat ini tidak saja kian menyusut. Namun telah terjadi pencemaran yang sangat mengkhawatirkan. Padahal kawasan tersebut merupakan salah satu andalan pariwisata yang sudah selayaknya memperoleh perhatian serius dari seluruh kalangan, terutama pemerintah.”Kami sudah mengadu ke bupati, ke presiden SBY, kementerian lingkungan hidup, kementerian kehutanan, Gubernur Sumatera Utara, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Kapolres Samosir. Tapi tidak ada tindakan nyata,” ujarnya.
Karena itulah sebagai bentuk tanggung jawab moral, ketiganya mengembalikan penghargaan yang diperoleh. Sempat ada upaya negosiasi pihak Istana dengan pihak demonstran. Pihak Istana mau menerima perwakilan pengunjuk rasa, yang akan ditemui di Kantor Sekretariat Negara, yang berada dalam satu kompleks Istana. Hanya saja, pihak Istana minta syarat, hanya dua orang saja yang boleh masuk ke kompleks Istana. Pihak demonstran tak sudi jika hanya dua wakilnya saja yang ditemui. Upaya nego pun buntu.
Lantas, selang beberapa saat, Piala Kalpataru dibawa pimpinan aksi, mendekat ke arah depan Istana, meski masih di luar pagar.
Di situ lah Piala berwarna keemasan yang dikemas dalam bingkai kaca itu ditaruh dan ditinggalkan begitu saja.
Tidak lama kemudian, setelah para demonstran membubarkan diri, seorang yang diperkirakan petugas Istana, mengambil Piala Kalpataru itu. (*)